Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

6 Bentuk Perundungan Kampus Dianggap Sepele tapi Fatal

Ilustrasi Bully (IDN Times/Aditya Pratama)
Ilustrasi Bully (IDN Times/Aditya Pratama)

Tidak semua perundungan di kampus terlihat keras atau terang-terangan. Banyak yang dimulai dari hal kecil dan dianggap wajar oleh lingkungan sekitar. Ada candaan yang perlahan melukai, aturan senioritas yang merendahkan, hingga tekanan sosial yang terus dipelihara tanpa disadari.

Lingkungan kampus sering terasa seperti ruang aman, padahal dinamika di dalamnya bisa mematikan perlahan. Perilaku itu sering dianggap bagian dari proses pendewasaan atau adaptasi. Akhirnya, korban memilih diam karena mengira itu normal dan harus dijalani. Sebelum semuanya terlambat, penting untuk mengetahui bentuk perundungan yang sering diremehkan padahal bisa berujung fatal berikut ini.

1. Candaan yang mengarah ke penghinaan

Ilustrasi Bully (IDN Times/Aditya Pratama)
Ilustrasi Bully (IDN Times/Aditya Pratama)

Banyak mahasiswa mengalami ejekan dengan dalih keakraban atau humor. Komentar soal fisik, cara berpakaian, logat, atau latar belakang sering dinormalisasi sebagai bahan bercanda. Korban yang tidak nyaman biasanya memilih tertawa kecil agar tidak dianggap sensitif.

Padahal, mendengar hinaan berulang bisa mengikis rasa percaya diri secara perlahan. Tekanan psikologis ini tidak langsung terlihat, tapi dampaknya bisa mengakar dalam. Orang lain menganggapnya remeh, tapi bagi korban bisa menjadi pemicu rasa ingin menghilang.

2. Senioritas yang membebani mental

ilustrasi laki-laki menindas wanita di jalan
ilustrasi laki-laki menindas wanita di jalan (pexels.com/Keira Burton)

Hubungan antara senior dan junior kadang jadi sumber tekanan besar yang dianggap tradisi. Kegiatan pengkaderan atau perkenalan organisasi sering diselipi perintah yang merendahkan atau tidak masuk akal. Junior dipaksa mengikuti semua aturan tanpa boleh mempertanyakan.

Jika menolak, mereka dianggap tidak sopan atau tidak punya jiwa solidaritas. Banyak yang bertahan karena takut jadi bahan gosip atau dijauhi teman satu angkatan. Dari luar tampak biasa, tapi bagi yang mengalami bisa terasa seperti tekanan tanpa jalan keluar.

3. Pengucilan dalam kelompok pertemanan

ilustrasi gadis membaca buku dijauhi oleh temannya
ilustrasi gadis membaca buku dijauhi oleh temannya (pexels.com/studio cottonbro)

Tidak semua perundungan berbentuk kekerasan verbal. Ada juga pengabaian sosial yang membuat seseorang merasa tidak dihitung. Korban bisa sengaja tidak diajak diskusi tugas kelompok, dianggap tidak penting dalam obrolan, atau ditinggalkan dalam kegiatan bersama.

Mereka yang dikucilkan memilih diam agar tidak terlihat mengemis perhatian. Lama-lama perasaan terisolasi berkembang menjadi keyakinan bahwa kehadirannya tidak berarti. Kondisi ini sering dianggap masalah sepele, padahal bisa menjadi awal dari kehancuran mental.

4. Tekanan akademik yang disertai meremehkan

ilustrasi orang-orang di dalam perpustakaan
ilustrasi orang-orang di dalam perpustakaan (pexels.com/Yan Krukau)

Beban kuliah memang berat, tapi ada situasi yang memperparah kondisi psikologis seseorang. Misalnya, mahasiswa yang mengalami kesulitan justru ditertawakan atau diremehkan oleh teman sekelas. Ada juga dosen atau asisten yang melontarkan komentar kasar saat korban tidak paham materi.

Lingkungan seperti ini membuat korban merasa bodoh dan tidak layak bertahan. Apalagi jika nilai buruk menimbulkan ketakutan untuk bercerita ke keluarga. Perpaduan antara malu, takut, dan tekanan bisa membuat pikiran jadi buntu.

5. Tuntutan organisasi yang tidak manusiawi

ilustrasi siswa dibully oleh teman sekolahnya
ilustrasi siswa dibully oleh teman sekolahnya (pexels.com/studio cottonbro)

Kegiatan organisasi kampus sering dianggap tempat berkembang, tapi tidak jarang berubah menjadi sumber tekanan. Ada budaya lembur tanpa alasan jelas, tugas mendadak, hingga teguran keras jika anggota tidak aktif. Beberapa pengurus menganggap tekanan itu sebagai pembuktian loyalitas. Korban yang kelelahan tidak berani menolak karena takut kehilangan teman atau dianggap tidak komit. Tanpa dukungan yang sehat, beban ini bisa menjadi sumber kelelahan mental yang membahayakan.

6. Pembiaran terhadap kekerasan verbal di ruang digital

ilustrasi pria dan wanita menindas teman sekelas
ilustrasi pria dan wanita menindas teman sekelas (pexels.com/Keira Burton)

Media sosial dan grup percakapan sering menjadi tempat perundungan tanpa disadari. Ada pesan sindiran yang ditujukan ke individu tertentu tanpa menyebut nama. Ada pula komentar merendahkan di kolom chat yang dibiarkan begitu saja.

Korban membaca semuanya tanpa punya ruang untuk membela diri. Ketika tidak ada yang membela, perasaan terasing makin kuat. Lingkungan digital yang tidak terpantau bisa menjadi arena kekerasan yang tidak terlihat tapi sangat menyakitkan.

Tragedi tidak terjadi tiba-tiba, tapi sering diawali oleh luka kecil yang terakumulasi. Perundungan yang dianggap biasa bisa membuat korban kehilangan arah dalam diam. Kampus bukan selalu ruang aman jika tidak ada kepedulian terhadap hal-hal kecil yang membekas. Mencegahnya butuh keberanian untuk melihat lebih dalam dari sekadar permukaan. Kesadaran kolektif bisa menyelamatkan seseorang sebelum semuanya menjadi berita duka.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Topics
Editorial Team
Irma Yudistirani
EditorIrma Yudistirani
Follow Us

Latest Life Bali

See More

5 Tips Mengatasi Masalah Keuangan dengan Pasangan

16 Nov 2025, 15:00 WIBLife