Mengenal Sagung Ayu Wah, Pahlawan Perempuan Asal Tabanan

- Perjuangan Sagung Wah dimulai sejak kematian kakak kandungnya, Raja Singasana XXI
- Sagung Wah luput dari penangkapan Belanda dan memimpin pasukan melawan mereka
- Kekalahan Sagung Wah dalam pertempuran melawan Belanda dan vonis pembuangannya ke Lombok
Tabanan, IDN Times-Tabanan memiliki tokoh pejuang perempuan yang sangat disegani bernama Sagung Ayu Wah atau dikenal juga dengan nama Sagung Wah. Bahkan, untuk menghormatinya, Pemerintah Kabupaten Tabanan membuat patung serta gedung dengan namanya.
Ya, namanya digunakan untuk menamai Museum yang berlokasi di area Taman Bung Karno. Patungnya berdiri di persimpangan jalan tepat di jantung kota Tabanan.
Meski dikenal secara umum, namun detail perjuangan Sagung Wah saat melawan Belanda tidak banyak yang tahu. Ketua Pesemetonan Puri Dangin Tabanan, I Gusti Ngurah Gde Nugraha mengisahkan, perjuangan Sagung Ayu Wah bermula dari perang Puputan Badung.
1. Perjuangan Sagung Wah dimulai sejak kematian kakak kandungnya, Raja Singasana XXI

Gde Nugraha mengatakan, Sagung Wah adalah anak bungsu dari Raja Singasana XX. Kakak kandungnya, I Gusti Ngurah Rai Perang menjadi Raja Singasana XXI. Sebagai anak bungsu dan perempuan, Sagung Wah kecil dikenal dengan sifat dan watak keras.
Kisah perjuangan Sagung Wah dimulai ketika adanya Perang Puputan Badung pada 20 September 1906, antara Kerajaan Badung melawan Belanda. Perang itu hampir menewaskan seluruh keluarga Kerajaan Badung. Di sisi lain, Kerajaan Tabanan memiliki ikatan persaudaraan dengan Kerajaan Badung dan ada perjanjian pertahanan bersama antara dua kerajaan.
Kalahnya Kerajaan Badung membuat Kerajaan Tabanan harus menerima kenyataan Kerajaan Badung telah tunduk kepada Belanda. "Belanda kala itu tidak langsung menyerang Kerajaan Tabanan. Pada 27 September 1906, Raja Singasana XXI ke Pos Beringkit yang didirikan Belanda untuk berdiskusi mengenai tindakan selanjutnya setelah Kerajaan Badung dikalahkan Belanda," ujar Gde Nugraha.
Sesampainya di Pos Beringkit, Raja Singasana XXI dibawa Belanda ke Denpasar dengan alasan membicarakan semua permasalahannya di sana. Namun, bukannya mendiskusikan masalah, Raja Singasana XXI justru menjadi tahanan rumah. Merasa tidak dihargai, Raja Singasana melakukan aksi bunuh diri di Puri Denpasar.
Belanda kemudian mengasingkan seluruh keturunan Raja SIngasana XXI ke Lombok dan kemudian menguasai Kerajaan Tabanan.
2. Sagung Wah luput dari penangkapan Belanda

Pada saat Belanda menangkap keluarga terdekat Raja Singasana XXI, adik bungsunya, Sagung Wah justru terluput. Dengan susah payah Sagung Wah yang kala itu berusia sekitar 17 tahun, melarikan diri ke Desa Wongaya Gde.
Sagung Wah kemudian mendapatkan simpati dari warga desa dan keluarga para Kebayan yang merupakan pengemong pokok dari para penyungsung Pura Luhur Batukaru. Sagung Wah dan masyarakat Desa Wongaya Gde kemudian berhasil mengumpulkan 450 pasukan dengan 45 laskar inti.
Persenjataan yang dipakai oleh pasukan laskar inti hampir semuanya berasal dari senjata pusaka di Pura Luhur Batukaru. Senjata-senjata tersebut diyakini bertuah dan dianggap mampu memberikan kekuatan tambahan dan kekebalan bagi yang memakainya.
Perang antara pasukan Sagung Wah melawan Belanda dimulai pada 28 November 1906, di mana Sagung Wah berada di barisan paling depan dengan kedua tangannya menghunus keris. Tangan kanan memegang keris Gedebong Belus dan tangan kiri memegang keris Ki Tenjak Lesung.
Di belakang Sagung Wah ada laskar inti yang membawa senjata pusaka Tombak Canggah Lima, senjata yang dianggap paling bertuah. Senjata ini selalu diarahkan menuju musuh.
3. Kekalahan Sagung Wah

Serangan pasukan Sagung Wah berhasil mendesak pasukan Belanda yang menghadang di sebelah utara Tuakilang. Kemenangan itu dipercaya tidak lepas dari senjata yang dibawa pasukan Sagung Wah, terutama Tombak Canggah Lima, yang menyebabkan senjata yang dibawa Belanda macet serta tidak bisa meletus.
Untuk mengatasi keadaan itu, Belanda mencari cara, yaitu dengan mengambil senjata di Puri Kaleran yang bernama Ki Tulup Empet. Senjata itu diyakini mampu meredam kesaktian senjata pusaka Pura Luhur Batukaru. Senjata Belanda yang kembali berfungsi normal membuat kondisi tidak seimbang.
Melihat kondisi yang tidak menguntungkan, Sagung Wah meminta pasukannya mundur dan ia sendiri bersama beberapa laksar inti ditangkap Belanda. Penangkapan Sagung Wah ini dikenal dengan Pebalikan Wongaya.
Berdasarkan vonis Raad Kerta Tabanan tanggal 12 Desember 1906, Sagung Wah dibuang ke Lombok. Ia didugameninggal di sana tahun 1945. "Beliau diyakini telah moksa. Jasadnya tidak pernah terlihat. Begitu juga tidak ada makam. Peninggalannya berupa keris kembali ke Bali sekitar tahun 1993," ujar Gde Nugraha.
4. Perjuangan gelar Pahlawan Nasional bagi Sagung Wah

Atas perjuangannya melawan Belanda pada tahun 2003, Pemerintah Provinsi Bali memberikan penghargaan Nari Kusuma kepada Sagung Wah. Namanya menjadi nama Museum di Tabanan serta patungnya juga berdiri di jantung kota Tabanan.
"Dulu pernah ada usulan agar Sagung Wah menjadi Pahlawan Nasional. Namun hingga sekarang belum terealisasi," ujar Gde Nugraha.

















