Resah RUU Minol, Perajin Arak Bali: Ini Mata Pencaharian Kami

Mereka meminta para pengoplos yang perlu ditindak tegas

Klungkung, IDN Times - Rancangan Undang-Undang (RUU) yang mengatur peredaran minuman beralkohol atau RUU Larangan Minuman Beralkohol (RUU Minol), telah memicu keresahan para perajin minuman tradisional jenis arak di Kabupaten Klungkung. Mereka justru berharap pemerintah bisa meninjau lagi usulan rancangan RUU tersebut karena dapat membunuh perekonomian warga yang sudah berpuluhan tahun bergantung pada pembuatan arak Bali.

Baca Juga: 5 Nasib Pulau Bali Apabila RUU Larangan Minuman Beralkohol Disahkan

1. Kami hidup dari minuman alkohol tradisional

Resah RUU Minol, Perajin Arak Bali: Ini Mata Pencaharian KamiIDN Times/Wayan Antara

RUU Minol yang digodok di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tersebut membuat para perajin arak di Desa Besan mengaku resah. Pasalnya mereka sudah berpuluhan tahun menggantungkam hidup pada pembuatan minuman tradisional beralkohol.

"Padahal penjualan arak mulai bagus ketika Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali melegalkan arak untuk bisa dijual bebas. Tapi sekarang terkesan akan dijegal lagi dengan RUU Minol. Kami tentu sangat tidak setuju. Ini mata pencaharian kami berpuluh-puluh tahun," ungkap seorang perajin arak asal Desa Besan, Kadek Anggreni, Selasa (18/11/2020).

Ia tidak mau kembali 'kucing-kucingan' dengan kepolisian jika RUU itu akhirnya disahkan sebagai UU.

"Pokoknya kami menolak. Apalagi berdasarkan informasi yang saya dapatkan, yang minum pun dikenakan denda jika RUU ini disahkan. Padahal kami hidup dari minuman ini."

Baca Juga: Cerita 2 Remaja OTG di Bali, Sembuh Karena Terapi Arak Bali dan Madu

2. Perajin arak meminta Gubernur dan DPRD Bali menentukan sikap

Resah RUU Minol, Perajin Arak Bali: Ini Mata Pencaharian KamiGubernur Bali, I Wayan Koster. (IDN Times/Rehuel ​Willy Aditama)

Anggreni meminta Gubernur Bali, I Wayan Koster, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali menentukan sikapnya terkait RUU Minol ke pusat, dan memperjuangkan nasib para perajin minuman beralkohol tradisional di Bali.

"Gubernur dan DPRD Bali juga harus berani bersuara. Perjuangkan nasib kami, yang baru saja mulai bisa bebas menjual arak," jelas Anggreni.

Menurutnya, yang perlu ditertibkan justru minuman beralkohol oplosan, karena sangat berbahaya jika diminum. Bukannya memberangus dengan melarang semua minuman beralkohol dijual bebas.

"Yang harus ditindak itu yang mengoplos, bukannya melarang semua minuman beralkohol. Apalagi kalau miras tradisional itu sama sekali tidak berbahaya jika diminum secara bijak. Karena ini dibuatnya juga dengan cara alami."

3. Ada warga yang pekerjaannya hanya menyadap nira kelapa

Resah RUU Minol, Perajin Arak Bali: Ini Mata Pencaharian KamiPixabay.com/pastel100

Sementara Kepala Dusun Kanginan, Desa Besan, I Wayan Suardanayasa, mengungkapkan sebagian besar dari 330 Kepala Keluarga (KK) di wilayahnya menggantungkan hidup pada produksi arak.

"Selain itu ada juga yang pekerjaannya hanya menyadap nira kelapa. Lalu nira itu dijual ke warga yang membuat arak," ungkapnya.

Pembuatan arak di Desa Besan ini pun masih dikerjakan secara tradisional. Sehingga kualitasnya dinilai terjaga dan sangat aman dikonsumsi.

"Beberapa waktu lalu, ada rencana pemerintah akan membantu mengemas dan memasarkan arak Besan Ini sehingga nilai ekonomisnya meningkat," ungkapnya.

4. Bali telah memproduksi arak selama bertahun-tahun sebelum Negara Indonesia ada

Resah RUU Minol, Perajin Arak Bali: Ini Mata Pencaharian KamiYouTube.com/parlemen channel

I Ketut Kariyasa Adnyana, Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), mengaku sepakat apabila urgensi minuman beralkohol harus dikendalikan. Namun ia juga tidak menyalahkan beberapa daerah di Indonesia yang memproduksi minuman beralkohol secara tradisional ikut resah. Sebut saja Provinsi Bali, yang telah memproduksi arak selama bertahun-tahun sebelum Negara Indonesia ada.

"Kalau kami di Bali namanya arak, Papua namanya tuak, di NTT (Nusa Tenggara Timur), ada juga di Ambon, Batak lagi. Mungkin sebelum negara ini ada, itu sudah ada diproduksi dan selama ini berjalan dengan sangat baik sekali. Kalau kita lihat secara ekonomi dulu. Bahwa pariwisata di Bali itu, semua kabupaten pendapatannya dari pajak hotel dan restoran. Nomor satu. Makanya semua daerah itu mengusung yang namanya pariwisata budaya. Tentu ini sekarang tidak menyalahkan sehingga terjadi keresahan dari masing-masing provinsi, kabupaten/kota. baru baca judul saja, tapi mereka sudah ngeri juga. Apakah tidak terancam?" kata Kariyasa ketika Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mengadakan Rapat Harmonisasi RUU Tentang Larangan Minuman Beralkohol, pada Selasa (17/11/2020).

Sebelum ada pandemik, pertumbuhan ekonomi di Bali dulunya sebesar enam sampai tujuh persen di atas rata-rata nasional. Namun sekarang minus di atas 12 persen setelah pandemik.

"Bayangkan kalau sampai ini nanti dibebani hal-hal seperti ini (RUU Larangan Minol), tentu ini akan membikin resah seluruh bukan kami di Bali saja, tapi daerah-daerah lain juga yang sama."

5. Sanksi Pasal 20 akan menjadi celah bagi kepentingan pribadi maupun golongan

Resah RUU Minol, Perajin Arak Bali: Ini Mata Pencaharian KamiArak tradisional Sulawesi Selatan bernama Ballo, saat dihidangkan dan ditampung dalam jeriken. (Dok. Istimewa/SuluhTani.com)

Menurut Kariyasa, minuman beralkohol sebenarnya hasil dari fermentasi buah. Misalnya wine dari fermentasi buah anggur, brem dari ferementasi salak dan manggis. Jika tidak diolah menjadi minuman fermentasi, buah-buahan tersebut akan busuk.

"Itu semua minuman beralkohol hasil fermentasi. Kita sepakat, kalau dikonsumsi secara berlebihan akan menimbulkan efek kesehatan. Makanan apapun kalau dikonsumsi secara berlebihan akan menimbulkan penyakit," ungkapnya.

Namun kesepakatan itu jangan sampai merusak tatanan yang sudah ada. Ambil contoh konsep upacara di Bali yang tidak lepas dari arak dan brem. Sebab itu bagian dari keseimbangan alam, yaitu konsep Tri Hita Karana.

"Masyarakat adat melakukan itu sudah ada sebelum Indonesia berdiri."

Kariyasa juga menyinggung soal pengenaan sanksi pada Pasal 20 RUU Tentang Larangan Minuman Beralkohol:

Setiap orang yang mengkonsumsi Minuman Beralkohol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling sedikit (3) tiga bulan dan paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling sedikit Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta) dan paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Ia menyontohkan UMKM yang memproduksi minuman fermentasi (Destilasi) khas daerah. Dalam proses pengolahan, mereka pasti akan menyicipi bahan baku tersebut, yang secara otomatis juga meminumnya. Maka, pengenaan sanksi dalam Pasal 20 itu sangat berat juga bagi mereka, karena ikut meminum alkohol.

"Apakah kita bisa mengontrol seperti itu? Ini pasti akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Maka dari itu kami menyuarakan dari Bali, yang kebetulan bergerak di sektor pariwisata yang sangat parah sekali akibat pandemik ini mohon jangan dulu untuk dibahas. Cukup diatur oleh peraturan internal, tidak seperti UU. Ini untuk mengurangi akibat dari gejolak yang sudah cukup capek kita di DPR ini, di baleg ini, setelah UU Cipta Kerja."

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya