5 Hal Soal Wacana Penundaan Pemilu 2024, Berpotensi Abuse of Power? 

Begini analisis ahli dari Universitas Udayana

Penulis: Ufiya Amirah

Wacana penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) Indonesia dilontarkan oleh Menteri/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, pada Januari 2022 lalu. Tak lama kemudian, disepakati oleh Ketua Umum Partai Amanan Nasional (PAN) Zulkifli Hasan, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Muhaimin Iskandar, dan Partai Golkar Airlangga Hartanto.

Para politisi tersebut mendukung ditangguhkannya waktu Pemilu 2024. Ada apakah di balik dukungan itu? Berikut 5 hal yang perlu kamu ketahui tentang wacana penundaan Pemilu 2024:

Baca Juga: Praktik Kekerasan Berbasis Gender di Indonesia, dari Aceh hingga Papua

1. Wacana penundaan Pemilu melangkahi konstitusi negara dan keputusan KPU

5 Hal Soal Wacana Penundaan Pemilu 2024, Berpotensi Abuse of Power? Ilustrasi Pemilu (IDN Times/Arief Rahmat)

Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan Pemilu diselenggarakan pada 14 Februari 2024 melalui Keputusan KPU No.21 Tahun 2021. Selain melanggar Keputusan KPU, gagasan menunda Pemilu juga melangkahi konstitusi negara yang telah diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama dan hanya untuk satu kali jabatan saja.

Tak hanya posisi eksekutif, penundaan Pemilu juga berisiko pada perpanjangan masa jabatan legislatif yang secara hukum telah melanggar UU MD3 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD. Dalam aturan tersebut, keempat lembaga hanya diperkenankan menjabat selama lima tahun.

2. Penundaan Pemilu bermakna memperpanjang masa jabatan pemerintahan

5 Hal Soal Wacana Penundaan Pemilu 2024, Berpotensi Abuse of Power? Ilustrasi Pemilu (IDN Times/Mardya Shakti)

Esensi wacana penundaan Pemilu memiliki kesamaan dengan gagasan tiga periode di akhir 2021, yakni memperpanjang periode kekuasaan presiden. Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa 70 persen responden menolak penundaan Pemilu. Ketidak setujuan ini tidak terlepas dari perpanjangan masa jabatan pemerintah jika gagasan penundaan Pemilu direalisasikan.

Elsan Yudhistira, dalam Pembatasan Masa Jabatan Presiden Sebagai Upaya Menghindari Terjadinya Abuse of Power (2020), menyampaikan bahwa penundaan Pemilu sama saja dengan perpanjangan masa jabatan dan hal tersebut dapat menyebabkan penyalahgunaan kesewenang-wenangan dan otoritariansime pemerintahan.

3. Alasan wacana penundaan Pemilu tak memiliki dasar

5 Hal Soal Wacana Penundaan Pemilu 2024, Berpotensi Abuse of Power? Ilustrasi Pemilu (IDN Times/Arief Rahmat)

Pandemik dan kondisi ekonomi Indonesia dinilai sebagai pertimbangan yang mendasari wacana penundaan Pemilu 2024. Ketum PKB, Gus Imin, mengamini pertimbangan wacana penundaan tersebut. Bahkan, Ketum PAN, Zulhas, juga menyepakati pernyataan Gus Imin.

Menurut Direktur Cirus Surveyors Group sekaligus Dosen Ilmu Politik Universitas Udayana, Kadek Dwita Apriani, apabila pandemik dan kondisi ekonomi jadi pertimbangan penundaan Pemilu, lalu mengapa pada tahun 2020 Pemilu tetap berlangsung?

"Jika kita bicara mengenai pemilu dan pandemik, mungkin kita dapat berkaca pada Pilkada serentak 2020. Pilkada ketika itu tetap dijalankan dalam situasi yang sama-sama kita ketahui di 2020," jelas Kadek Dwita, Sabtu (12/3/2022).

4. Kepentingan elite dalam wacana penundaan Pemilu

5 Hal Soal Wacana Penundaan Pemilu 2024, Berpotensi Abuse of Power? Ilustrasi kepala daerah. (IDN Times/Mardya Shakti)

Elite adalah the rulling of class yang berkuasa dan memiliki tingkatan kelas dalam strata sosial masyarakat. Elite memiliki kapasitas untuk memonopoli suara-suara rakyat berdasarkan kepentingan politik tertentu. Dalam konteks elite partai politik, ketua partai mencoba melakukan konsolidasi suara di lingkaran pimpinan parpol perihal wacana penundaan Pemilu.

Kadek Dwita beranggapan bahwa isu gagasan penundaan Pemilu dipelopori oleh para elite sehingga gencar diperbincangkan oleh publik.

"Pada wacana penundaan ini yang berbicara adalah ketua-ketua partai, sehingga isunya menjadi lebih nyaring. Beberapa elite politik yang mewacanakan penundaan ini menyebutkan beberapa alasan, di antaranya keinginan rakyat. Klaim elite yang mengatasnamakan keinginan rakyat sebagai alasan penundaan pemilu perlu dipertanyakan validitasnya," jelasnya. 

5. Pemilu berindikasi pada kemunduran demokrasi

5 Hal Soal Wacana Penundaan Pemilu 2024, Berpotensi Abuse of Power? (Ilustrasi) ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Sejarah telah mencatat kekuasaan otoritarian di Indonesia. Soeharto telah berkuasa selama hampir 32 tahun. Selama rezim Orba, kebijakan negara lebih berpihak pada elite dan para kapitalis. Gerakan rakyat dan suara masyarakat dibungkam sehingga terjadi degradasi demokrasi.

Kadek Dwita mengungkapkan wacana penundaan Pemilu dapat berindikasi pada pelanggaran konstitusi dan demokrasi. Dan hal tersebut dapat menghambat sirkulasi elite dan abuse of power.

"Perlu digarisbawahi bahwa ini baru wacana penundaan pemilu. Posisi saya atas wacana tersebut adalah tidak setuju. Konstitusi dan demokrasi menjadi alasan utama. Pembatasan masa jabatan tersebut di muat dalam konstitusi, dan ini harus dihormati oleh warga negara.

Di negara demokrasi terdapat enam ciri yang harus dipenuhi, salah satunya adalah pergantian pemimpin secara berkala. Tujuannya agar terjadi sirkulasi elite dan menghindari abuse of power," tegas Kadek Dwita.

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya