Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Titik Buta Sistem Ngayah Audit Keuangan LPD di Bali

Ilustrasi pengelolaan keuangan LPD di Bali. (IDN Times/Yuko Utami)
Ilustrasi pengelolaan keuangan LPD di Bali. (IDN Times/Yuko Utami)
Intinya sih...
  • LPD di Bali mengalami masalah tata kelola dan integritas pengurus yang buruk
  • Korban kesulitan melaporkan kecurangan LPD ke aparat penegak hukum karena tekanan adat
  • Kejahatan LPD terungkap dari pengamatan warga desa adat, namun sistem audit sukarela menyulitkan penindakan
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Denpasar, IDN Times - Lembaga Perkreditan Desa (LPD) sebagai organisasi untuk pemenuhan gerakan ekonomi warga desa adat, mengalami berbagai masalah. Tata kelola dan integritas pengurus yang buruk kerap menimbulkan kerugian bagi warga desa adat yang mempercayakan dana tabungannya. LPD terbilang lembaga keuangan yang unik, karena tak diatur dalam regulasi keuangan makro. Sehingga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak berhak mengawasi LPD.

LPD punya pengawas dan badan pembinaannya sendiri, melalui Badan Kerja Sama LPD (BKS LPD) dan Lembaga Pemberdayaan LPD (LP LPD). Namun, kedua lembaga ini punya keterbatasan. Mereka tak dapat menjatuhkan sanksi pada LPD yang terbukti bermasalah. Sehingga, peluang pelaku kabur dari hukuman dan perkara berlarut-larut semakin besar. Lalu apa tantangan yang dihadapi LPD masa kini? Baca selengkapnya di bawah ini.

1. Korban yang melapor ke polisi dapat tekanan agar menyelesaikannya secara adat dulu

ilustrasi tekanan sosial (pexels.com/Antoni Shkraba)
ilustrasi tekanan sosial (pexels.com/Antoni Shkraba)

Akademisi Akuntansi Universitas Mahasaraswati, Putu Wenny Saitri, menyampaikan pengamatan atas risetnya dalam bidang akuntansi dan psikologi. Satu subjek risetnya adalah tata kelola LPD, yang membuatnya menemukan sejumlah masalah. Warga yang mempercayakan uangnya di LPD dan menemukan dugaan kecurangan, tak mudah melaporkan ke aparat penegak hukum (APH).

“Ada warga yang melapor ke polisi, tapi warga dapat tekanan untuk menyelesaikan di adat dulu,” kata Wenny pada Sabtu, 11 Oktober 2025.

Tekanan tersebut, menurut Wenny, karena ada norma-norma adat yang sulit berubah, misalnya menyelesaikan perkara dengan diskusi kekeluargaan. Sehingga, proses audit tidak menjadi efektif karena penyelesaian perkara secara adat tak seberat sanksi hukum nasional.

Masalah lainnya, warga adat takut melapor karena desa adat belum menyediakan mekanisme perlindungan bagi whistleblower di tingkat adat Bali. Perdebatan paling dasar tentang golongan perkara terhadap kasus yang terjadi pada tubuh LPD, masih terjadi. Misalnya mempersoalkan apakah kecurangan di LPD masuk ranah kerugian negara atau tidak.

2. Kejahatan LPD awalnya terungkap karena pengamatan warga desa adat

ilustrasi Bali (unsplash.com/Ruben Hutabarat)
ilustrasi Bali (unsplash.com/Ruben Hutabarat)

Wenny menyampaikan dari hasil temuannya, tindak kecurangan dalam LPD di Bali kerap terungkap karena pengamatan warga desa adat. Mereka mengamati kecurangan adanya kesalahan pada tata kelola (governance).

“Memang sering kali terungkap karena warga melihat kesalahan dalam governance atau pengelolaan LPD. Warga kesulitan menarik tabungan,” ujar Wenny.

Tak hanya sulit menarik tabungan, warga desa adat juga mengamati gaya hidup pengurus yang berubah. Misalnya, dapat membangun vila mewah dalam sekejap, membeli mobil mewah, hingga menguliahkan anak ke luar negeri.

“Paling mencolok kepala LPD yang jadi tersangka ada perubahan gaya hidup. Misal, tiba-tiba bangun vila dan menyekolahkan anak ke luar negeri. Itu jadi indikasi ada yang salah dengan pengelolaan LPD,” kata dia.

Melalui pengamatan itu, warga mencocokkan dengan fenomena tata kelola yang tak beres, seperti banyak kredit tanpa jaminan proses 5C layaknya perbankan, yakni Character (Karakter), Capacity (Kapasitas), Capital (Modal), Collateral (Agunan), dan Condition (Kondisi). Proses 5C itu jadi penting untuk analisis kelayakan kredit calon debitur, serta mencegah munculnya berbagai kredit fiktif.

3. Sistem audit di LPD secara sukarela, bukti kejahatan tak terkumpul utuh

Ilustrasi audit (unsplash.com/@homajob)
Ilustrasi audit (unsplash.com/@homajob)

Temuan warga itu biasanya diungkapkan saat rapat LPD di desa adat. Jika terbukti, warga biasanya akan mengusulkan pelaporan ke pihak kepolisian. Namun, masalah lain muncul. LPD tak memiliki lembaga audit eksternal yang tetap. Auditor LPD bersifat ngayah atau sukarela, bahkan ada yang tak menerima gaji. Sehingga hasil audit tak dapat diandalkan sepenuhnya. 

“Ada keunikan dan kesulitan sendiri masuk ke LPD, auditnya voluntary (sukarela). Tahap pengadilan dan pengembalian kerugian masih sulit dilakukan, masuk lagi isu kerugian negara atau tidak, masuk ke tipikor atau pengadilan biasa,” ujarnya.

Sementara itu, Guru Besar Akuntansi Forensik Universitas Trunojoyo Madura, Prof Tarjo, menyampaikan golongan perkara yang masuk dalam korupsi atau bukan, itu dapat dilihat dari sumber dana kerugiannya.

“Penindakan korupsi sangkaan tentang itu, pertama bila dananya itu berasal dari APBD dan APBN, BUMD atau BUMN. Ketiga adalah yayasan. Fraud di yayasan bisa diperkarakan ke korupsi,” jelasnya.

Jika tak ada dalam kategori itu, maka kasus akan masuk ke ranah tindak pidana penggelapan yang berkaitan pada persoalan penggelapan dana di suatu entitas, misalnya LPD.

Share
Topics
Editorial Team
Irma Yudistirani
EditorIrma Yudistirani
Follow Us

Latest News Bali

See More

Tim SAR Evakuasi 5 Pendaki Kelelahan Saat Menuruni Gunung Batukaru

12 Okt 2025, 14:09 WIBNews