“Apakah seorang perempuan harus menunggu izin untuk memimpin?”
Pemimpin Perempuan Bukan Pengecualian, Tapi Keniscayaan

Pertanyaan itu sering muncul di kepala saya setiap kali melihat bagaimana dunia masih memperdebatkan posisi perempuan dalam kepemimpinan.
Di beberapa tempat, paradigma lama masih melekat kuat bahwa pemimpin adalah laki-laki, sedangkan perempuan sebaiknya berada di belakang untuk mendukung dari sisi yang tak terlihat. Masih ada pandangan bahwa perempuan tidak seharusnya bersuara terlalu keras, tidak perlu mengambil keputusan besar, apalagi memimpin di tengah banyak laki-laki. Padahal, sejak dulu perempuan Bali telah menunjukkan ketangguhannya. Mereka memimpin dengan cara yang mungkin tidak selalu terlihat, tapi nyata. Ironisnya, keberanian dan keteguhan itu sering tidak disebut sebagai bentuk kepemimpinan.
Di tengah paradigma itu, saya justru dihadapkan pada pengalaman yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Yaitu terpilih menjadi Ketua Yowana Abhinaya BASAbali Wiki.
Ketika nama saya disebut, saya sempat terpaku. Bangga? Tentu saja, tapi juga muncul perasaan ragu yang tak bisa saya abaikan. Keraguan itu semakin terasa ketika beberapa orang mulai berkomentar halus, namun menusuk.
“Kan baru mulai kuliah, kok udah berani pegang tanggung jawab sebesar itu?”
“Yakin gak bakal kewalahan nanti?”
Kalimat-kalimat seperti itu mungkin tidak bermaksud menjatuhkan, tapi cukup untuk membuat saya kembali bertanya pada diri sendiri, apakah saya benar-benar pantas memimpin?

Beberapa waktu berlalu, akhirnya saya berkesempatan mengikuti kegiatan Nyapa Guru dan Siswa. Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian Wikithon Partisipasi Publik yang diinisiasi oleh BASAbali Wiki, dengan dukungan dari Fondation Botnar serta Dinas Pendidikan Kepemudaan dan Olahraga Provinsi Bali.
Meskipun saya bukan siswa lagi, saya memutuskan untuk ikut. Sekadar mendengarkan dan belajar. Dan benar saja, di sana saya menemukan banyak jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang selama ini mengganggu pikiran.
Dalam kegiatan itu, saya mendengarkan paparan Nyoman Ayu Sukma Pramestisari MA, dari Pusat Kajian Gender dan Anak Universitas Udayana, yang membawakan materi berjudul “Perempuan Berani Memimpin: Dari Gagasan hingga Aksi Nyata.”
Ia menjelaskan bagaimana budaya patriarki masih menjadi tantangan besar bagi perempuan dalam mengambil peran kepemimpinan. Laki-laki sering dianggap kuat dan rasional, sementara perempuan dicap emosional dan lemah. Padahal, kemampuan memimpin tidak pernah ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan oleh kepercayaan diri, kesempatan, dan keberanian untuk bertindak.
Yang paling membekas bagi saya adalah ketika ia menekankan bahwa perempuan tidak perlu meniru laki-laki untuk menjadi pemimpin. Perempuan memiliki kekuatan yang berbeda. Yaitu kemampuan untuk mendengar, empati dalam mengambil keputusan, dan keberanian untuk menciptakan ruang aman bagi orang lain. Ia juga menyoroti pentingnya partisipasi nyata perempuan dalam berbagai bidang, baik sebagai pelajar, pekerja, maupun pengambil kebijakan. Tanpa kehadiran perempuan di ruang-ruang publik, keadilan sosial hanya akan menjadi wacana.
Dari situ saya semakin memahami bahwa menjadi pemimpin bukan hanya tentang membuktikan diri, melainkan tentang mengajak lebih banyak perempuan untuk ikut berani percaya bahwa mereka juga bisa.
Sejak saat itu, saya merasa lebih mantap menapaki peran ini. Bukan karena saya sudah tahu segalanya, tapi karena saya yakin bahwa setiap langkah kecil perempuan Bali menuju ruang publik adalah bentuk keberanian yang patut dirayakan. Kini, saya menyadari bahwa perempuan tidak pernah kekurangan kemampuan, kami hanya sering kekurangan ruang untuk menyuarakan diri.
Saya meyakini, pada dasarnya perubahan besar selalu dimulai dari keberanian kecil untuk bersuara. Dan mungkin, suara-suara kecil itulah yang perlahan akan menuntun kita menuju Bali yang lebih setara dan berdaya.

















