Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

BVA Mendukung Penertiban Vila Ilegal di Bali

ilustrasi Pantai Batu Belig (pexels.com/Sara)

Badung, IDN Times - Penasihat Bali Villa Association (BVA), Gede Ricky Sukarta, menanggapi maraknya dugaan vila atau properti tanpa izin resmi di Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Sukarta menilai penting untuk memberikan klasifikasi yang jelas atas vila, yang ramai dengan istilah “vila bodong” ini.

Menurutnya, sebelum memberikan penilaian, penting untuk memiliki data valid dan definisi yang jelas terkait istilah vila bodong. Ada kategori properti yang tidak memiliki izin usaha sama sekali, ada pula warga lokal dengan rumah tinggal menyewakannya secara musiman lewat platform digital.

“Ini perlu dibedakan agar tidak terjadi generalisasi yang menyesatkan,” kata Sukarta saat dihubungi IDN Times, pada Senin (26/5/2025).

1. Mendukung penertiban usaha akomodasi ilegal

ilustrasi dokumen digital (unsplash.com/SumUp)

Alih-alih istilah vila bodong, Sukarta menggunakan istilah akomodasi ilegal. Sukarta mendukung adanya penertiban akomodasi ilegal di beberapa pantai wilayah Badung. Menurutnya, penertiban ini adalah keadilan untuk wisatawan dan pelaku usaha resmi yang telah menaati regulasi. 

“Kami sangat mendukung upaya pemerintah dalam menata dan menertibkan usaha akomodasi ilegal demi menjaga citra pariwisata Bali, kenyamanan tamu, serta keadilan bagi para pelaku usaha resmi yang taat regulasi,” ungkap lelaki yang juga menjadi Dewan Pembina Dewan Perwakilan Daerah The Indonesian Hotel General Manager Association (IHGMA DPD Bali).

2. Kelayakan administrasi akomodasi di Bali

ilustrasi dokumen (unsplash.com/Wesley Tingey)

Sukarta memaparkan, semua akomodasi yang beroperasi di Bali, baik dalam bentuk vila, guest house, hingga rumah tinggal yang disewakan, minimal harus memiliki NIB (Nomor Induk Berusaha) dan KLBI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia). Pelaku usaha juga harus bersedia memenuhi kewajiban pajak.

“Prinsipnya bukan untuk mematikan usaha masyarakat lokal, tapi untuk membangun ekosistem pariwisata yang sehat, berkelanjutan, dan memberikan manfaat bersama,” ujar Sukarta.

Ekosistem pariwisata yang sehat ini juga agar pemerintah daerah, pelaku usaha, maupun masyarakat lokal dapat memperoleh manfaatnya.

3. Kembali pada perencanaan tata ruang

Ilustrasi palu hakim. (IDN Times/Rinda Faradilla)

Sementara, Akademisi Arsitektur Tradisional Bali dan Pegiat Tata Ruang, Prof Putu Rumawan Salain, mengatakan pembangunan akomodasi wisata di Bali sudah saatnya kembali pada prinsip tata ruang. Ia mencontohkan, dalam membangun tidak boleh mengacak-acak tebing dan bukit.

Ketentuan dalam Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan menjelaskan definisi sempadan jurang sebagai daratan di tepian jurang yang memiliki kemiringan lereng paling sedikit 45 persen, kedalaman paling sedikit 5 meter, dan daerah datar bagian atas paling sedikit 11 meter. 

Regulasi itu juga menuliskan sempadan jurang adalah daratan dengan lebar paling sedikit dua kali kedalaman jurang, dan tidak kurang dari 11 meter dihitung dari tepi jurang ke arah bidang datar.

“Sekarang ini sudah gak ada yang perhatikan itu. Kayaknya dibobol semua di sisi selatan itu ya. Jadi kita tinggal tunggu saja. Alam mau marah apa gak?” kata Rumawan.

Kasus vila tak berizin di Bali, bukan kali pertama terungkap tahun ini. Sukarta mewakili BVA berharap ada sinergi lintas sektor antara pemerintah, asosiasi, pelaku usaha, dan media dalam menyampaikan informasi edukatif dan solutif dalam pengelolaan akomodasi taat regulasi.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ni Komang Yuko Utami
Irma Yudistirani
Ni Komang Yuko Utami
EditorNi Komang Yuko Utami
Follow Us