Saksi dan 21 Korban TPPO di Pelabuhan Benoa Ajukan Perlindungan LPSK

- Tim TANGKAP akan merujuk korban ke psikolog dalam waktu dekat
- TPPO adalah kejahatan luar biasa, kuasa hukum ajukan perlindungan korban ke LPSK
- Total kerugian materiel dan imateriel secara rinci masih dalam tahap penghitungan
Denpasar, IDN Times - Tim Advokasi Perlindungan Pekerja Perikanan (TANGKAP) mengupayakan perlindungan hukum maupun psikologis korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Pelabuhan Benoa, Kota Denpasar. Kuasa Hukum Korban dari TANGKAP, Siti Wahyatun, mengatakan serangkaian tindakan eksploitatif yang dialami korban berdampak pada fisik, sosial, ekonomi, hingga psikis.
“Dampak kepada korban secara fisik, psikis, sosial maupun ekonomi. Beberapa korban kami lihat sudah terlihat ada gejala-gejala bahwa dia mentalnya terganggu akibat dari peristiwa itu,” kata Siti di Kantor LBH Bali, pada Senin (8/9/2025).
Siti melanjutkan, modus kejahatan TPPO melalui program rekrutmen calon anak buah kapal (ABK) ini bukan metode baru. Ini adalah cara lama yang kerap ditemui dari pendampingan Tim TANGKAP sebelumnya. Lalu bagaimana penanganan korban saat ini? Berikut informasi selengkapnya.
1. Tim TANGKAP akan merujuk korban ke psikolog dalam waktu dekat

Siti menyebutkan, pihaknya melihat eksploitasi pekerja dalam lingkaran korporasi besar. Ia menegaskan TPPO merupakan kejahatan serius yang melanggar hak asasi manusia (HAM). TPPO merupakan satu bentuk perbudakan modern yang bertentangan dengan martabat kemanusiaan.
Dari 21 orang korban, beberapa mengalami gangguan psikologis pascakejadian itu. Sehingga, sebagai pendamping dan kuasa hukum, Tim TANGKAP akan merujuk korban ke psikolog.
“Dalam waktu dekat pun kami akan merujuk mereka ke psikolog, juga untuk beberapa yang membutuhkan,” tutur Siti.
2. TPPO adalah kejahatan luar biasa, kuasa hukum ajukan perlindungan korban ke LPSK

Sementara, kuasa hukum lainnya bagian dari Tim TANGKAP, I Gede Andi Winaba, menyampaikan total ada 21 orang korban berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 14 Agustus 2025. Puluhan korban itu menguasakan kepada satu pelapor untuk memperkuat eksistensi dari laporan kepolisian.
Andi mengamati, kasus TPPO ini termasuk dalam kejahatan luar biasa atau extraordinary crime.
“Kejahatan yang sangat berat, apalagi lawannya juga berat gitu. Maka posisi pekerja perikanan dalam kasus TPPO jadi sangat rentan,” kata dia.
Mencegah potensi serangan terhadap korban, pihak Tim TANGKAP memutuskan memulangkan korban dan mengajukan permohonan perlindungan kepada saksi beserta korban ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Andi menegaskan permohonan itu turut menjadi kewajiban negara dalam melindungi korban TPPO.
3. Total kerugian materiel dan imateriel secara rinci masih dalam tahap penghitungan

Sementara, total kerugian materiel dan imateriel secara rinci yang dialami korban masih dalam penghitungan Tim TANGKAP. Namun, Andi menjelaskan kerugian tersebut dapat terlihat dari sejumlah unsur, seperti proses perekrutan hingga waktu para korban dieksploitasi.
“Kemudian terkait dengan waktu si pekerja di sini itu untuk bekerja. Bukan untuk berdiam diri dan menunggu. Maka untuk kerugian waktu juga menjadi penghitungan restitusi,” jelas Andi.
Kerugian unsur imateriel terlihat pada ancaman-ancaman yang menyebabkan pekerja tidak bisa melaksanakan aktivitas seperti biasanya. Sebelumnya 21 orang korban ini adalah mereka yang bersedia bercerita dan melaporkan eksploitasi serta penipuan yang dialami.
Sejatinya ada lebih dari 21 orang, tapi sisanya menolak bercerita dan melanjutkan aduan perkara ini. Mereka diimingi kerja di wilayah Muara Baru, Jakarta tapi perjanjian kerja laut (PKL) justru beroperasi di Merauke Timur.