Remaja Fomo Coba Makanan Lewat Konten Medsos Memicu Food Waste

Denpasar, IDN Times - Berbagai konten video pendek lalu lalang mengisi eksplor media sosial (medsos). Konten yang cukup masif tersebar bertopik ulasan makanan dan minuman kekinian. Konten media sosial sebagai sarana komunikasi digital memengaruhi perilaku konsumsi remaja yang memicu peningkatan food waste atau limbah makanan. Pernyataan tersebut disampaikan Akademisi Fakultas Pertanian, Sains dan Teknologi (FPST) Universitas Warmadewa (Unwar), Dr I Nengah Muliarta SSi MSi.
Melalui webinar bertajuk “Menguatkan Ketahanan Pangan Nasional Melalui Pertanian Berkelanjutan dan Konsep Zero Waste” di Kota Denpasar pada Sabtu (26/7/2025), Muliarta menyampaikan berbagai data.
“Secara global, diperkirakan 33 persen dari seluruh makanan yang diproduksi untuk konsumsi manusia hilang atau terbuang di berbagai tahapan rantai pasok, mulai dari pertanian hingga rumah tangga,” kata Muliarta.
Program Studi Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, FPST-Unwar menyelenggarakan webinar ini berkolaborasi lintas universitas, dengan pembicara dari Universitas Andalas, yaitu Prof Ir Irawati Chaniago RurSc PhD.
Seperti apa temuan para akademisi terkait fenomena limbah makanan? Baca selengkapnya di bawah ini.
Promosi makanan agresif di media sosial mendorong pembelian makanan berlebih

Muliarta menjelaskan, adanya promosi makanan agresif di media sosial dan tren gaya hidup instan mendorong pembelian makanan berlebihan pada remaja. Lalu lintas informasi dalam konten media sosial begitu cepat berdampak pada fenomena fomo (fear of missing out) terhadap makanan. Kurangnya pengetahuan tentang dampak pemborosan makanan serta pengaruh teman sebaya juga turut memengaruhi perilaku konsumsi mereka.
Dampak limbah makanan dari sisi sosial dan ekonomi menyebabkan hilangnya nutrisi penting yang seharusnya dapat memenuhi kebutuhan gizi jutaan orang. Limbah pangan memperparah ketimpangan pangan, menciptakan kesenjangan antara kelompok yang berkecukupan dan yang kelaparan.
Food waste adalah makanan siap konsumsi yang memenuhi gizi seimbang namun terbuang sia-sia, atau makanan yang seharusnya dapat dimakan manusia tetapi dibuang, hilang, rusak, atau dikonsumsi hewan, termasuk bagian yang tidak dimakan.
Berbeda dengan food loss yang terjadi di tahap awal rantai pasok karena masalah infrastruktur, hama, atau cuaca ekstrem, food waste terjadi pada tahap ritel dan konsumsi akhir, seringkali akibat keputusan konsumen atau toko seperti pembelian berlebih atau sisa makanan dari piring.
Dampak lingkungan dari konsumsi berlebih dan limbah makanan

Muliarta mengungkapkan dari segi lingkungan, limbah makanan yang kaya bahan organik akan terurai dalam kondisi tanpa oksigen, menghasilkan gas metana (CH4) dan karbondioksida (CO2). Gas metana memiliki potensi pemanasan global 25-28 kali lebih besar dibandingkan karbon dioksida. Secara keseluruhan, food waste berkontribusi sekitar 3,3 gigaton CO2 per tahun terhadap emisi gas rumah kaca, serta menyebabkan pemborosan air, lahan, dan sumber daya alam lainnya.
“Masalah food waste ini bukan hanya tentang produksi, melainkan juga distribusi. Meskipun pasokan makanan di dunia cukup untuk semua orang, akses dan distribusinya masih belum merata,” ujar lelaki kelahiran Kabupaten Klungkung itu.
Padahal pangan terbuang dapat dialihkan untuk mengurangi kelaparan melalui redistribusi pangan layak konsumsi, misalnya melalui bank makanan.
Muliarta menjelaskan dalam sebuah studi kasus di kawasan Saridewi, Kota Denpasar tahun 2021 menunjukkan, bahwa frekuensi makan penduduk sangat memengaruhi jumlah limbah makanan yang dihasilkan keluarga. Potensi sampah di Saridewi mencapai 486,425 kilogram per hari atau 7,85 kilogram per rumah tangga per hari, dengan jumlah sisa makanan per orang mencapai 0,14 kilogram per hari.
Volume limbah makanan yang sampai ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS) di kecamatan-kecamatan Kota Denpasar berkisar antara 115 kg hingga 184,67 kg per hari. Faktor sosiodemografi, praktik belanja, persiapan, kebiasaan memasak dan konsumsi, serta sikap terhadap sisa makanan secara langsung memengaruhi penurunan atau peningkatan sisa makanan.
Saling silang tantangan lingkungan dan pangan

Bagi Muliarta, mengatasi masalah food waste ada berbagai pemanfaatan yang dapat dilakukan, seperti pengomposan untuk pupuk organik, biokonversi menggunakan serangga seperti maggot untuk pakan ternak dan sumber protein, serta inovasi daur ulang untuk menciptakan produk bernilai tinggi seperti energi terbarukan. Konsep ekonomi sirkular juga didorong untuk meminimalkan limbah dan memaksimalkan penggunaan kembali sumber daya.
Sementara akademisi dari Universitas Andalah, Prof Ir Irawati Chaniago RurSc PhD memprediksikan pada 2050, dunia membutuhkan 70 persen kalori lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan pangan 9,6 miliar orang. Tantangan menjaga produktivitas dan kelestarian lingkungan dengan memperbaiki cara produksi dan konsumsi pangan, membutuhkan peningkatan 32 produktivitas pangan.
“Tantangan lainnya mengurangi limbah pangan yang mencapai 1,3 milyar ton per tahun, dengan nilai kerugian ekonomis $1 triliyun,” kata Irawati.
Menurutnya, produksi pangan dalam upaya menuju ketahanan pangan juga menghadapi tantangan terkait konversi lahan. Ini karena konversi lahan turut berkontribusi terhadap pemanasan global.
Kolaborasi lintas generasi mengatasi limbah makanan

Dekan Fakultas Pertanian, Sains dan Teknologi Universitas Warmadewa, Prof Dr Ir Luh Suriati MSi, menegaskan di era pertanian berkelanjutan tidak hanya berfokus pada peningkatan hasil, tetapi juga pada pelestarian lingkungan dan sumber daya alam untuk generasi mendatang. Konsep zero waste menjadi kian penting dalam konteks pertanian.
“Dengan meminimalkan limbah dan memaksimalkan penggunaan sumber daya, kita dapat menciptakan sistem pertanian yang lebih efisien dan ramah lingkungan. Melalui inovasi dan kolaborasi, kita bisa mencapai tujuan ketahanan pangan yang berkelanjutan,” ujar Suriati.
Melalui webinar ini, Sunarti berharap agar mahasiswa berkolaborasi dan berpartisipasi dalam diskusi yang lebih mendalam tentang isu-isu yang relevan, meningkatkan kemampuan berpikir analitis dan kritis mereka.
"Mari kita bersama-sama menemukan solusi yang dapat diterapkan dalam praktik pertanian kita sehari-hari,” kata dia.