Perselisihan Jadi Penyebab Utama 848 Perceraian di Bali

- Orangtua harus bertanggung jawab, mendidik dan menafkahi anak lahir batin
- Pada 2024, ada 848 perceraian di Bali yang disebabkan oleh perselisihan dan pertengkaran terus menerus
- Urgensi pengawasan dampak konflik orangtua sebelum, saat, dan setelah bercerai
Denpasar, IDN Times - Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali mencatat ada 1.041 kasus perceraian di Bali pada 2024. Data tersebut dihimpun dari Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) dan Mahkamah Agung RI. Lalu, sepanjang 2024, Pengadilan Negeri (PN) Denpasar menangani 1.155 kasus perceraian.
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Udayana (FH Unud), Prof Anak Agung Istri Ari Atu Dewi, mengatakan perceraian berdampak pada kondisi anak. “Apalagi disampaikan banyak terjadi perceraian, karena saya juga sebagai advokat, ya sering mendampingi. Dampaknya adalah kepada anak-anak ya,” kata Ari Atu.
Bagaimana dampak pra dan pascaperceraian terhadap anak? Berikut informasi selengkapnya.
1. Orangtua tetap bertanggung jawab mendidik dan menafkahi anak lahir batin

Ari Atu melanjutkan, proses perceraian dapat berdampak dua hal kepada anak, namun tergantung dari kondisi di rumah tangga. Sebelum bercerai, jika rumah tangga sudah rapuh dan penuh kekerasan, perceraian dapat menjadi pembebasan dan solusi bagi anak. Sedangkan bagi keluarga dalam kondisi harmonis tapi rapuh, perceraian dapat menjadi luka mendalam bagi anak. Ia menekankan, perpisahan orangtua tidak dapat melepas tanggung jawab untuk merawat dan mendidik anak.
“Jadi kembali seperti tadi tingkat pendidikan, pola asuh keluarga gitu ya. Saya melihat pendidikan sebagai faktor penting yang mesti diperhatikan sekaligus juga pendidikan keluarga,” kata dia.
2. Pada 2024, ada 848 perceraian di Bali yang disebabkan oleh perselisihan dan pertengkaran terus menerus

Sementara itu, berdasarkan rangkuman data BPS Provinsi Bali tahun 2024, ada 848 perceraian di Bali karena faktor perselisihan dan pertengkaran terus-menerus. Faktor perceraian kedua terbanyak yakni karena meninggalkan satu pihak sebanyak 85 kasus. Ketiga, ada faktor kekerasan dalam rumah tangga dengan 65 kasus perceraian.
Fenomena perceraian di Bali, bagi Ari Atu adalah muara dari multi dampak, mulai dari budaya, sosial, pendidikan, hingga ekonomi. Bali dengan sistem kekeluargaan patrilineal, membuat perempuan dalam posisi subordinat. Pandangan konservatif itu merugikan perempuan, sehingga kerap mendapat stigma setelah bercerai. Ia menekankan, harus ada regulasi dan implementasi yang serius perlindungan terhadap perempuan dan anak sejak skala desa adat.
3. Urgensi pengawasan dampak konflik orangtua sebelum, saat, dan setelah bercerai

Ketua Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Provinsi Bali, Ni Luh Gede Yastini, menyampaikan pihaknya berupaya melakukan pengawasan terhadap dampak konflik orangtua sebelum perceraian, saat proses perceraian, dan pascaperceraian. Melalui pengawasan itu, KPAD Bali menerima banyak laporan anak korban konflik yaitu perebutan hak asuh anak. Sehingga pihaknya mengupayakan mediasi sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak.
“Terlepas dari siapa pun yang memiliki hak asuh, anak tetap berhak untuk bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua orangtuanya,” kata Yastini kepada IDN Times, Rabu (29/10/2025).
Yastini menyebutkan, anak berhak mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk tumbuh kembang dari kedua orangtuanya. Termasuk memperoleh pembiayaan hidup dari kedua orangtua dan hak anak lainnya.


















