Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Peneliti Muda Unud Bedah Fenomena Sing Beling, Sing Nganten di Bali

PKM RSH.png
Para peneliti muda Unud membedah fenomena sing beling sing nganten (mengenakan jas almamater Unud). (Dok.Tim PKM Riset Sosial Humaniora Unud)

Denpasar, IDN Times - Fenomena sing beling, sing nganten adalah stigma toksik yang terus bergulir di Bali. Jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, sing beling, sing nganten artinya tidak hamil, tidak menikah. Konteksnya, perempuan di Bali tidak dinikahi oleh laki-laki pasangannya jika belum hamil. Normalisasi seksualitas pranikah di Bali yang mengkhawatirkan, membuat tim peneliti muda dari Universitas Udayana (Unud) membedah fenomena ini.

Para peneliti ini menelaah dari sisi konstruksi sosial budaya dengan perspektif feminist legal theory. Proses riset tersebut sebagai tahapan mengikuti kompetisi Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Republik Indonesia.

Peneliti muda tersebut berasal dari jurusan dan fakultas berbeda. Mereka di antaranya Firmansyah Krisna Maulana (Fakultas Hukum, 2022 sebagai ketua tim) dengan anggota Ni Kadek Dinda Prameswari (Fakultas Kedokteran, 2023); Ni Putu Essa Pradevi (Fakultas Hukum, 2024); I Kadek Sri Pradnyani Iswari Dewi (Fakultas Ilmu Budaya, 2024); dengan Bima Kumara Dwi Atmaja SH MH sebagai dosen pembimbing dari Fakultas Hukum Unud. Bagaimana temuan para peneliti? Baca selengkapnya di bawah ini.

1. Para peneliti menyelenggarakan diskusi kelompok terfokus, melibatkan peserta dari berbagai bidang

pkm rsh 2.png
Sesi FGD riset fenomena sing beling sing nganten di Fakultas Hukum Unud. (Dok.Tim PKM RSH Unud)

Para peneliti berfokus dalam kampanye #SahDuluYuk menggelar diskusi kelompok terfokus (FD) bertajuk Sing Beling, Sing Nganten: Mendobrak Normalisasi Seksualitas Pranikah di Bali melalui Konstruksi Sosial Budaya dalam Perspektif Feminist Legal Theory. FGD yang terselenggara pada Selasa lalu, 14 Oktober 2025 ini mengajak 15 peserta dari berbagai bidang. Terdiri atas 8 narasumber dari unsur pemerintahan, akademisi, dan praktisi isu gender, serta 7 mahasiswa lintas disiplin dari Fakultas Hukum, Kedokteran, dan Ilmu Budaya.

Menurut tim peneliti, alasan mengangkat topik sing beling, sing nganten sebagai respon terhadap fenomena yang banyak dijumpai di tengah warga Bali. Yaitu praktik hubungan seksual pranikah yang dinormalisasi. Pernikahan baru terjadi setelah perempuan hamil, dan ini sering dijadikan solusi sosial.

Tidak hamil, tidak menikah bukan sekadar ungkapan populer, melainkan cerminan nilai sosial yang memuat tekanan moral, gender, dan budaya terhadap perempuan. Melalui perspektif Feminist Legal Theory, para peneliti mengkaji cara konstruksi sosial dan hukum adat berperan dalam menumpas normalisasi ketimpangan gender dalam isu seksualitas pranikah pada fenomena tersebut.

2. Pendidikan dan pendampingan sejak skala keluarga menjadi krusial

ilustrasi keluarga (pexels.com/August de Richelieu)
ilustrasi keluarga (pexels.com/August de Richelieu)

Para narasumber dari berbagai bidang semakin menambah dinamika dan daya kritis selama FGD. Mereka menyoroti pengaruh akar budaya dan sistem hukum adat. Pengaruh itu, bertaut dengan ketimpangan gender yang menjerat perempuan Bali dalam isu seksualitas pranikah.

Perwakilan Dinas Sosial Perlindungan Perempuan dan Anak, Ni Luh Ayu Cahya Saraswati, menekankan pentingnya pendidikan dan pendampingan keluarga agar perempuan tidak menjadi sasaran stigma di tengah warga.

“Fenomena sing beling sing nganten sering kali membuat perempuan jadi sasaran stigma. Padahal, yang perlu diperkuat adalah kesiapan mental, pengawasan keluarga, dan pendidikan reproduksi, bukan sekadar melabeli,” kata Saraswati.

Sementara itu, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Bali, Diah Pradnya Maharani, menyampaikan pentingnya reformasi nilai adat.

“Solusi ada di adat, bagaimana nilai perlindungan perempuan dan anak disisipkan dalam awig-awig (aturan di desa adat Bali), karena selama ini isu perempuan belum menjadi prioritas di desa adat,” ujarnya.

3. Aspek kesehatan menjadi perhatian khusus dalam fenomena sing beling sing nganten

ilustrasi mental health (pexels.com/Polina Zimmerman)
ilustrasi mental health (pexels.com/Polina Zimmerman)

Akademisi keperawatan FK Unud, I Gusti Ayu Pramitaresthi SKep MKep, menyoroti risiko medis dan psikologis yang dihadapi perempuan muda akibat normalisasi seksualitas pranikah. Ia menyoroti fenomena ini berpengaruh terhadap kondisi kesehatan reproduksi dan psikologis perempuan.

“Fenomena ini tidak hanya soal moralitas, tapi juga kesehatan reproduksi dan psikologis perempuan. Banyak yang mengalami baby blues, depresi, bahkan tindakan bunuh diri,” jelas Pramitaresthi. 

AA Ayu Wahyu Primaningrum SKM MSi dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali, mempertegas keterangan sebelumnya. Melalui giat di lapangan, pihaknya menemukan peningkatan tajam kehamilan pada remaja di bawah 19 tahun.

“Angka kehamilan remaja di bawah usia 19 tahun meningkat tajam di beberapa kabupaten, menunjukkan korelasi erat antara pendidikan, sosial, dan budaya,” kata dia.

Pada aspek hukum adat, Dosen Hukum Adat FH Unud, Dr I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari SH MKn, menyampaikan bahwa dalam perspektif Feminist Legal Theory, keadilan dan kesetaraan gender dalam fenomena ini masih menjadi persoalan utama.

“Jika kita lihat dari hukum adat, sistem patrilineal yang mengakar di Bali masih menempatkan perempuan dalam posisi subordinat,” kata Gung Mas.

2. Tim peneliti mengungkap 85 persen responden setuju bahwa pihak perempuan paling dirugikan atas fenomena sing beling sing nganten

ilustrasi perempuan hamil (pexels.com/Leahnewhouse)
ilustrasi perempuan hamil (pexels.com/Leahnewhouse)

Ketua Tim Riset #SahDuluYuk, Firmansyah Krisna Maulana, menyampaikan bahwa penelitian ini diharapkan mampu membuka ruang diskusi akademik dan advokasi sosial tentang pentingnya kesetaraan dalam memahami isu seksualitas di Bali. Melalui pendekatan Feminist Legal Theory, tim peneliti mengurai fenomena yang dapat berpotensi menghilangkan nilai luhur dari perempuan Bali.

“Dari data yang kami kumpulkan melalui kuesioner mendapatkan hasil, bahwa 85 persen responden setuju bahwa perempuanlah yang menjadi pihak paling dirugikan atas fenomena ini,” ujar Firmansyah.

Firmansyah menegaskan, adanya pemikiran lintas disiplin dari hukum, kedokteran, sosial, dan budaya, riset ini tidak hanya mengurai fenomena sosial, tetapi juga menawarkan solusi berbasis data dan pendekatan interdisipliner. 

“Diskursus sing beling, sing nganten bukan sekadar membicarakan perilaku, tetapi menyentuh akar persoalan sistemik: bagaimana budaya patriarki, norma adat, dan kurangnya pendidikan seksualitas memperkuat ketimpangan gender di Bali,” kata dia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Irma Yudistirani
EditorIrma Yudistirani
Follow Us

Latest News Bali

See More

Peneliti Muda Unud Bedah Fenomena Sing Beling, Sing Nganten di Bali

19 Okt 2025, 14:31 WIBNews