Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Kenapa Kamu Harus Lapor Jika Anak Jadi Korban Kekerasan?

Foto hanya ilustrasi. (pexels.com/Kindel Media)

Denpasar, IDN Times - Individualitas masyarakat terkadang membuat kita tak peduli dengan apa yang terjadi di sekitar. Namun, guyubnya suatu komunitas belum tentu menciptakan ruang aman untuk anak-anak, karena ada nilai-nilai konservatif yang masih dijunjung. Dugaan menyembunyikan kekerasan anak kerap terjadi di wilayah skala keluarga hingga desa.

Sebanyak 361 kekerasan terhadap anak di Bali bisa jadi sebuah fenomena gunung es. Pasal 78 Undang Undang Perlindungan Anak telah mengatur bahwa setiap orang yang membiarkan kekerasan terhadap anak padahal mengetahuinya, akan dipidana selama 5 tahun, serta denda maksimal Rp100 juta.

Ketua Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Provinsi Bali, Ni Luh Gede Yastini, membagikan sejumlah langkah jika kita melihat, dan mendengar adanya kasus kekerasan terhadap anak. Ini informasi selengkapnya.

1. Berani melaporkan ke pihak berwenang maupun lembaga layanan teknis

Ketua Komisi Perlindungan Anak (KPAD) Provinsi Bali, Ni Luh Gede Yastini. (IDN Times/Yuko Utami)
Ketua Komisi Perlindungan Anak (KPAD) Provinsi Bali, Ni Luh Gede Yastini. (IDN Times/Yuko Utami)

Meskipun reputasi pihak kepolisian sedang terombang-ambing, tetapi jika kamu mendengar atau melihat anak jadi korban kekerasan, langkah pertama kamu adalah melaporkan ke pihak kepolisian. Namun, jika kamu masih ragu, bisa melapor ke lembaga layanan teknis daerah seperti Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

“Kedua, kalau ragu dan ingin di-support (dukung), bisa melapor ke lembaga teknis daerah UPTD PPPA untuk anak yang jadi korban, termasuk penanganan dan pendampingan,” ujar Yastini.

Yastini juga menyebutkan opsi lainnya, yaitu dapat menghubungi pihak lembaga bantuan hukum (LBH) di sekitar wilayahmu. Ada juga yang disebut dengan layanan SAPA 129. Layanan ini akan menghubungkan kamu dengan lembaga layanan teknis di daerah pelaporan kasus. Syaratnya, identitas pelapor harus jelas ya.

“Identitas yang melaporkan harus jelas dan kronologi, kalau punya bukti bagus sehingga bisa ditindaklanjuti,” lanjut Yastini.

2. Keberanian untuk melapor harus ditumbuhkan

ilustrasi percaya diri (freepik.com/benzoix)

Ketersediaan berbagai layanan pelaporan kasus kekerasan terhadap anak, bagi Yastini seharusnya dapat menumbuhkan keberanian seseorang untuk melapor. Namun, keberanian melapor yang timbul dan tenggelam, menurut Yastini terjadi karena sejumlah kekhawatiran pelapor. Misalnya, takut keamanannya terancam, atau ada juga yang menganggap suatu kejadian sebagai aib.

“Harus dibangun kesadaran masyarakat untuk berani melapor supaya kekerasan terhadap anak ini berhenti, semakin minim-lah. Karena kita ngomong soal generasi emas 2045. Kalau generasi emas harusnya anak-anak tidak menjadi korban,” tegasnya.

3. Tetap optimis meski terkadang pesimis terhadap penegakan hukum di Indonesia

ilustrasi hukum (pexels.com/KATRIN BOLOVTSOVA)

Yastini juga berpendapat, masyarakat enggan melapor karena pesimis akan penegakan hukum di Indonesia. Ini jadi pekerjaan rumah besar bagi aparat penegak hukum.

“Penegakan hukum juga membuat masyarakat kadang mikir, ngapain melapor karena tidak dihukum. Jangan ruwet dengan pembuktian kasus kekerasan seksual, apalagi korbannya anak. UU TPKS ada, kebiri ada, penindakannya yang penting sekarang,” lanjutnya.

Yastini meyakini, upaya preventif telah dilakukan oleh lembaga layanan teknis melalui serangkaian sosialisasi. Bagi Yastini, paradigma lama bahwa anak adalah properti yang dapat dilakukan semaunya, harus disudahi.

“Paradigma ini harus berubah karena kekerasan terhadap anak itu sesuatu yang terselubung dan tertutup oleh tembok-tembok rumah dan sekolah,” kata dia.

Share
Topics
Editorial Team
Irma Yudistirani
EditorIrma Yudistirani
Follow Us