Hukum dan Sejarah Punya Hubungan Rumit

Gianyar, IDN Times - Hukum dan sejarah punya hubungan rumit sekaligus unik. Hal tersebut disampaikan akademisi Prof Dr Dewa Gede Palguna S.H MHum dalam Webinar Nasional bertajuk Menulis Ulang Indonesia: Tinjauan Kritis dari Perspektif Hukum, Budaya, dan Politik.
“Hukum dan sejarah punya hubungan unik dan rumit, karena sistem hukum selalu dikembangkan berdasarkan apa yang terjadi di masa lalu atau preseden,” kata Palguna, Minggu (29/6/2025).
Akademisi Hukum Tata Negara ini menyoroti fungsi sejarah sebagai alat dalam menafsirkan pandangan hukum atau disebut dengan historical views. Meskipun acap kali menjadi sarana menafsirkan pandangan hukum, sejarah juga dapat menjadi celah pandangan yang menyesatkan. Kenapa? Ini penjelasan selengkapnya.
1. Celaka menggunakan sejarah yang menyesatkan

Hubungan antara sejarah dan hukum mencerminkan budaya hukum dalam suatu negara. Palguna mencontohkan, hukum perdata di Indonesia masih mempertahankan hukum adat, karena ada agama dan adat yang berlaku di masa lalu. Pluralisme hukum terbentuk karena saling bersinggungan dengan sejarah.
Namun, jika pandangan hukum hanya bergantung pada sejarah, Palguna berkata itu akan sangat menyesatkan. Mantan Hakim Hukum Tata Negara ini mencontohkan sejarah menyesatkan saat Putusan Mahkamah Agung Amerika, yang menyatakan orang kulit hitam bukan bagian warga negara. Sejarah yang terbentuk karena pemenang penjajah dan rasial akan menyesatkan keadaan hukum.
“Celaka jika pengacara menggunakan sejarah menyesatkan, bagaimana sejarah hanya dibuat untuk kepentingan penguasa akan rontok argumennya atau ada juga yang bisa berkelit,” ujar Palguna.
Sejarah adalah kumpulan fakta masa lalu. Maka, menurut Palguna, sejarah juga harus ditulis secara jujur meskipun fakta itu menyakitkan. Itulah fakta yang menjadi pedoman,
2. Menulis ulang sejarah bukan kesalahan, tapi...

Menurut Palguna, menulis ulang sejarah bukan kesalahan. Namun, akan menjadi salah jika menggunakan sumber yang salah atau fakta tak reliabel. Sejarah semakin kusut apabila ada definisi yang tidak disepakati dalam peristiwa itu.
Sejarah cenderung lebih banyak menuliskan kemenangan dibandingkan fakta memilukan. Ketokohan menjadi cerita "wah" yang mengagumkan, tapi proses penaklukan wilayah disimpan rapat. Contoh, Columbus menemukan Benua Amerika, tapi cerita soal genosida penduduk asli Amerika yang dilakukan Columbus tak banyak tersebar. Peran rakyat dan kelompok minoritas jarang tertulis dalam buku sejarah.
3. Masyarakat wajib bersikap kritis

Bagi Palguna, keputusan menulis sejarah ulang dengan pernyataan pejabat terkait membahas peristiwa pembunuhan dan pemerkosaan massal, patut dikritisi. Ingatan kuat tentang tragedi 1998 dan muncul pertanyaan definitif kata massal, adalah bentuk pengabaian atas hak para korban. Menjadi wajar ketika publik mengaitkan sejarah ini dengan pihak yang tengah berkuasa. Posisi pejabat masa itu dan masa kini, serta tujuan menulis ulang sejarah ini.
“Sikap kritis kita, paling tidak menuntut agar tidak mengeluarkan pernyataan nir empati terhadap keluarga korban,” ujar Palguna.