Bahaya Laten Dispensasi Kawin dan Perkawinan Anak di Bali

Denpasar, IDN Times - Pengajuan dispensasi kawin ke pengadilan negeri dan agama di Bali mengalami kenaikan. Pada tahun 2023, ada 335 dispensasi yang diajukan, sementara tahun 2024 pengajuan yang masuk sebanyak 368 dispensasi.
Buleleng jadi kabupaten dengan ajuan dispensasi kawin tertinggi se-Bali. Dispensasi kawin dapat diberikan pengadilan apabila ada kondisi mendesak, dan mengharuskan perkawinan sebagai solusi terakhir.
Lantas bagaimana bahaya laten dispensasi kawin berkorelasi terhadap perkawinan anak di Bali? Baca selengkapnya.
1. Berpotensi menjadi dalih pelaku perkosaan anak

Ketua Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Provinsi Bali, Ni Luh Gede Yastini, menjelaskan data meningkatnya pengajuan dispensasi kawin belum tentu berbanding lurus dengan kasus perkawinan anak. Meskipun demikian, Yastini berharap pengadilan negeri maupun agama lebih waspada terhadap berkas dispensasi kawin yang diajukan orang dewasa.
“Saya khawatir dispensasi kawin diajukan untuk lepas dari tindak pidana terhadap persetubuhan anak. Itu harus dikritisi dan diperketat lagi permohonan izin dispensasi agar tidak sekadar diterima,” ujar Yastini dalam webinar bertajuk Perkawinan Anak di Bali: Apakah Dispensasi Sebuah Solusi?, pada Senin (30/12/2024).
Yastini menambahkan, pengadilan dapat menolak pengajuan dispensasi kawin ketika anak tidak siap, sebab dalam kondisi dipaksa kawin karena diperkosa dan psikologis terganggu.
2. Advokasi berjalan secara preventif dan represif

Upaya advokasi menekan kasus perkawinan anak selain dengan pengawasan dispensasi kawin, juga dilakukan sinergi dengan berbagai pihak. Yastini memaparkan, memberantas perkawinan anak adalah kerja multisektor. Satu di antaranya keterlibatan desa adat dalam menyusun dan memberlakukan pararem (peraturan adat) perlindungan anak.
Belajar dari kasus di Desa Jehem, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli pada tahun 2014, adanya seorang anak di bawah umur yang dikawinkan dengan laki-laki berusia 34 tahun yang menghamilinya. Namun, kasus itu terungkap dan seluruh saksi nikah dimintai keterangannya. Laki-laki itu dilaporkan atas pidana perkosaan terhadap anak.
Pihak desa akhirnya bersepakat menyusun pararem perlindungan anak dengan dasar hukum Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dasar hukum itu, menurut Yustini butuh penyesuaian terbaru dengan aturan nasional seperti UU Tindak Pidana Kasus Kekerasan Seksual (TPKS).
3. Pararem perlindungan anak harus aplikatif

Nayaka Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali, Prof Anak Agung Istri Ari Atu Dewi, menjelaskan pararem perlindungan anak ini harus aplikatif.
“Tidak hanya awang-awang saja tetapi aplikatif harus dibuatkan pararem, salah satunya pararem pengele yang secara khusus mengatur anak-anak di desanya,” ujar perempuan yang karib disapa Gung Atu.
Sebagai akademisi, Gung Atu mengamati adanya sejumlah tantangan dalam memberantas perkawinan anak di Bali. Tantangan itu meliputi budaya patriarki yang tertanam pada masyarakat adat; stigma kehamilan di luar perkawinan "Sing beling sing nganten (tidak hamil, tidak nikah)"; keterbatasan pemahaman tentang konsekuensi perkawinan anak; dispensasi adat dan dispensasi hukum nasional yang masih tumpang tindih; serta pemahaman perangkat desa adat dalam perlindungan anak masih minim.
Ia juga memaparkan sejumlah upaya untuk mengatasi tantangan di atas seperti harmonisasi hukum adat maupun nasional; edukasi dan kampanye kesadaran perlindungan anak; peningkatan kapasitas MDA dan perangkat desa adat; pemberdayaan ekonomi di desa, agar menekan dorongan mengawinkan anak; serta kolaborasi antar lembaga.
Menurut Gung Atu, antara satu desa adat dengan yang lainnya dapat menggali kebutuhan masing-masing melalui pararem.
“Jangan membuat pararem yang isinya sama antara satu desa adat dengan yang lain. Itu yang berusaha kami dorong bahwa upaya konstruktifnya adalah membuat pararem perlindungan anak dari sudut pandang dan kebutuhan desa masing-masing,” kata dia.
Ia berharap desa adat di Bali tidak hanya lembaga yang menerima masukan saja, tetapi sebagai agen perubahan.
“Memiliki pemikiran kreatif dalam rangka tujuan penghapusan perkawinan anak," kata Gung Atu.