[LIPSUS] Nenek di Bali Trauma Dibawa 4 Polisi: Saya Disuruh Ngaku

Ini terkait kasus kehilangan emas dan uang di Bangli

Wajah keriput Ni Nengah Pempin (66) terlihat begitu lelah dan penuh kecemasan. Langkahnya tertatih memasuki Kantor Kepolisian Resor (Polres) Bangli. Tubuh tua itu kini harus memikul beban berat. Namun dadong (Bahasa Bali untuk menyebut nenek) asal Desa Kedisan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli ini mencoba tetap tegar dan kuat untuk mencari kebenaran serta keadilan atas apa yang telah dialaminya.

Bangli, IDN Times – Selasa (2/11/2021), pukul 10.57 Wita, Ni Nengah Pempin didampingi kedua anaknya dan tim Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali Women Crisis Centre (BWCC) menuju Ruang Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) yang berada di lantai 2 Polres Bangli. Mereka menyampaikan kepada PPA, bahwa pihak Kepolisian Sektor (Polsek) Kintamani telah membawa Pempin tanpa prosedur pemanggilan yang benar untuk mengklarifikasi kasus kehilangan emas dan uang di Desa Kedisan, Senin (25/10/2021) lalu.

Pempin masuk ke dalam ruangan Kepala Urusan Pembinaan Operasional (KBO) Reserse Kriminal (Reskrim) Polres Bangli, Ipda I Nyoman Payuarta. Pempin menceritakan, dirinya dijemput dan dibawa ke Polsek Kintamani oleh empat polisi pada pukul 15.00 Wita, ketika masih di sawah. Ia merasa telah dituduh mencuri emas dan uang. Karena di tengah pandemik, ia justru mampu membangun rumah serta membeli sepeda motor untuk sang cucu. LBH BWCC menceritakan detail isi pertemuan tersebut kepada IDN Times.

1. Polisi mempertanyakan total uang yang dipakai untuk membangun rumah dan membeli sepeda motor

[LIPSUS] Nenek di Bali Trauma Dibawa 4 Polisi: Saya Disuruh NgakuNi Nengah Pempin (66) yang didampingi oleh tim Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali Women Crisis Centre (BWCC) di Kantor Polres Bangli tanggal 2 November 2021. (Dok.IDN Times/Istimewa)

“Coba ceritakan saat Ibu diambil di rumah dan dibawa ke Polsek (Kintamani). Apakah Ibu kenal mereka? Mengaku polisi atau tidak yang ngambil?” tanya Ipda I Nyoman Payuarta.

Ten kenal. Tiang jeg paksana. Nikaang tiang pang terus menjawab masalah anak cucu tiang membangun. Tuduhe tiang maling mas. Ten bange tiang menjawab. Nyen di Kintamani. Sampai melebu tiang suud numbeg (Saya tidak kenal. Saya dipaksa. Dibilang saya harus jawab masalah anak cucu saya yang membangun. Saya dituduh mencuri emas. Saya gak dikasih jawab. Nanti di Kintamani saja katanya. Kaki saya masih kotor sekali habis nyangkul di sawah),” jawab Pempin.

Pokokne tiang (Saya) harus dinaikkan. Dinaikkan, harus naik ke mobil. Mesugi gak (Tidak cuci muka) ke Kintamani,” imbuhnya.

“Sampai di Polsek, diapakan Ibu?”

Tuduhe tiang. Ade buin aukud anake nakonin. Selain empat, ade buin. ‘Terus Mek, jani sube terangang, kude memek telah anggon membangun, de memek makelidan. Pidan memek membangun, meli alat, untuk meli motor cucu memene. Nak ulian memek ngemang pis.’ Ketoange tiang. Terus sube bolak-balik ketoange tiang Pak. ‘Pokokne Meme de ngelidang. Dije Memek maan pis?’ Berarti dituduh sube tiang niki? ‘Bukan dituduh mek. Men yen sing dituduh, ngujang tiang sing bang menjawab? Ngujang tiang jemak? Pokokne oraine tiang ngaku. Ngaku nyemak mas to Pak. (Saya dituduh. Ada satu lagi yang menanyakan saya. Selain empat orang, ada lagi. ‘Jadi Bu, sekarang jelaskan. Berapa Ibu habis uang untuk membangun? Jangan Ibu berbohong. Kapan Ibu membangun, beli alat, dan untuk beli motor cucu Ibu. Kan Ibu yang memberikan mereka uang.’ Dibegitukan saya. Terus saya bolak-balik ditanya begitu. ‘Pokoknya Ibu jangan menghindar. Di mana dapat uang?’ Lalu saya bilang, berarti saya dituduh ini? ‘Bukan dituduh Bu’. Lalu kalau bukan dituduh, mengapa saya tidak dikasih menjawab? Mengapa saya diambil? Pokoknya bagaimana biar saya ngaku. Mengaku mencuri emas itu Pak.)”

“Setelah Ibu tidak mengaku, kemudian dipulangkan?”

Karena ten be tiang nyemak, kenken tiang ngaku Pak (Karena saya tidak mengambil, bagaimana saya bisa mengaku Pak).”

“Di sana Ibu tidak diapa-apakan?”

Sing. Siksane tiang ditu. Pokokne pang ngaku nyemak. Trauma tiang Pak, kedinginan. (Tidak. Disiksa saya di sana Pak. Pokoknya biar saya mengaku ngambil. Trauma saya Pak).”

“Disiksa? Dipukul?”

Ten. Pang sing pelih. Ten ade kenken kenkenange. Tuah nike sampun, bolak-balikange tiang apang ngaku keto Pak (Tidak ada [Dipukul]. Biar saya gak salah. Hanya itu saja, dibolak-balikkan saya biar mengaku Pak). Karena saya tidak ada mengambil, jelas saya tidak terima. Aji kude harga dirin tiange. Apa buin tiang ngelah panak, ngelah cucu, ngelah mantu, ngelah keturunan, ngelah keluarga (Berapa harga diri saya kalau begitu. Apalagi saya punya anak, cucu, menantu, keturunan, keluarga)?”

“Waktu sebelum diambil, pernah ada surat?”

Sing (Tidak), dadakan (Dijemput secara mendadak).”

Keberatan tiang Pak. Ane ken adane keberatan? Jiwan tiange kan sampun tua. Tiang be ten kuat Pak. Ane pikir tiang, tiang ten ade nyemak ape, tiang dituduh. Nike yang tiang malu, pang sing tiang nepukin timpal nyanan, ne be ane ngemaling mas e. Aji kude nama tiang Pak? (Saya keberatan Pak. Keberatan seperti apa? Jiwa saya sudah tua. Saya sudah tidak kuat. Yang saya pikirkan adalah saya tidak ada mengambil. Saya dituduh. Itu yang saya malu. Biar tidak nanti saya ketemu orang di desa dan mereka menunjuk, oh ini dah si pencuri emas. Bagaimana dengan nama baik saya Pak?).”

Mendengar penjelasan Pempin, Ipda I Nyoman Payuarta berjanji akan meminta klarifikasi kepada pihak Polsek Kintamani, mengapa dan apa sesungguhnya yang tengah terjadi.

2. Uang untuk membangun rumah dan membeli sepeda motor berasal dari mantan menantunya

[LIPSUS] Nenek di Bali Trauma Dibawa 4 Polisi: Saya Disuruh NgakuFoto hanya ilustrasi. (IDN Times/Helmi Shemi)

Ni Nengah Pempin yang sehari-hari bekerja sebagai petani dan pedagang berulang kali menyampaikan, dirinya benar-benar merasa dituduh mencuri. Ia terkejut ketika polisi yang membawanya mengaku sudah menghubungi anak-cucunya. Menurut polisi itu, anak dan cucunya mengatakan tidak pernah memberikan uang kepada Pempin untuk membangun rumah maupun membeli sepeda motor. Padahal Pempin sudah menjelaskan kepada polisi, bahwa mantan menantunyalah yang memberikan semua uang itu.

Pada Jumat (12/11/2021), IDN Times kembali menemui Pempin bersama anak-anaknya, I Komang Wardiana dan I Ketut Antara Putra, di Kabupaten Bangli. Pempin menceritakan, dalam perjalanan naik mobil ke Polsek Kintamani, ia dalam posisi duduk di kursi bagian tengah dan diapit oleh dua orang polisi.

Dini polisi, dini polisi, di mukak polisi. Terus tiang mendoa. Yen tiang ten ade ape, Bhatara Surya saksinin tiang. (Di sini polisi, di sini polisi, di depan polisi. Saya terus berdoa. Saya tidak ada berbuat, biar Dewa Surya yang menjadi saksi).”

Pada saat dibawa, Pempin tanpa didampingi suaminya, I Made Melah (64). Menurut Pempin, pihak kepolisian tidak mengizinkan suaminya untuk ikut. Sang suami langsung pergi menemui sang anak, I Komang Wardiana, begitu istrinya dibawa ke Polsek Kintamani.

Bape tas mulih, mapeluh, gadang muane. Makesyab. Meme ajake ke Kintamani. Jemak polisi kone. (Ayah saya pulang ke rumah. Keringatan. Wajahnya pucat. Terkejut sekali dia. Katanya Ibu dibawa polisi ke Kintamani),” jelas anak ketiga Pempin, I Komang Wardiana.

Wardiana kemudian menyusul ke Polsek Kintamani mengendarai sepeda motor. Berhubung dalam perjalanan itu melewati rumah Bhayangkara Pembina dan Keamanan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) Desa Kedisan Polres Bangli, Aiptu I Wayan Cutet, ia memutuskan berhenti di sana. Kata Wardiana, Cutet mengetahui kalau Ibunya dibawa ke kantor polisi, namun tidak memberitahukan hal itu kepada keluarga Pempin. Cutet juga sudah mendengar isu ini sejak tiga hari sebelumnya.

Setibanya di Polsek Kintamani sekitar pukul 17.00 Wita, Wardiana tidak melihat Ibunya. Pada saat itu Pempin masih diperiksa di ruangan lain. Wardiana juga ditanya oleh polisi soal sumber dana untuk membangun rumah dan membeli sepeda motor. Wardiana menjawab pembangunan rumah dilakukan selama 1,5 bulan mulai Oktober hingga November 2021 dengan biaya sekitar Rp115 juta. Sementara biaya untuk membeli sepeda motor sekitar Rp40 juta.

Di sela-sela menanyai Wardiana, Kanit Reskrim Polsek Kintamani, Iptu I Nyoman Somaada, menerima telepon dari seseorang. Wardiana mendengarkan percakapan di telepon itu.

“Bos, bagaimana ini? Kok saya dengar ada masyarakat saya diambil?” kata Wardiana menirukan suara di telepon.

“Ya, dimintai keterangan sebagai saksi,” jawab Iptu I Nyoman Somaada.

“Kok gak ada surat? Kan bisa diselesaikan di desa?”

Ah, mesin ketiknya besar,” jelas Wardiana yang menirukan jawaban Somaada.

“Begitu alasannya. Begitu yang saya dengar, lalu telepon terputus. Saya tanya ke Pak Kanit, itu seperti suara Pak Mekel (Kepala Desa) Kedisan? Lalu dijawab, ‘Iya benar itu Pak Mekel yang menelepon’,” kata Wardiana.

Belakangan, Wardiana baru mengetahui bahwa Kepala Desa tidak mendapat informasi tentang rencana penjemputan Pempin. Kepala Desa mengetahui setelah suami Pempin mengabarinya.

***

Selama pemeriksaan, Pempin teringat ada seorang polisi yang menunjukkan kepadanya bundelan kuitansi bukti-bukti pengeluaran untuk membangun rumah. Selain itu, Pempin juga diminta untuk menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Namun karena tidak bisa membaca dan menulis, Pempin hanya membubuhkan cap jempol.

“Walaupun tiang (Saya) buta huruf, ten (Tidak) sekolah, tapi menghina sajan (Sekali),” kata Pempin.

Pukul 17.53 Wita, handphone Pempin berdering. Istri dari I Ketut Antara Putra menelepon dengan maksud ingin mengabarkan bahwa dia (Istri I Ketut Antara Putra) akan pulang ke kampung. Dari cerita Ketut Antara, Ibunya mengatakan sedang ada di kantor polisi. Setelah itu, polisi berbicara kepada istri Ketut Antara.

"Ibuknya di kantor polisi cuma diperiksa saja. Tadi pas saya jemput Ibuknya, cuma ada Bapak sama Ibunya saja. Gak ada yang nganter ke Polsek. Jadi saya yang ngajak Ibuknya. Saya sudah izin sama mekel (Perbekel atau Kepala Desa) dan kelihan (Kepala adat). Nanti kalau Ibuknya gak ada yang jemput ke sini, saya yang nganter pulang lagi," kata Ketut Antara menirukan perkataan polisi.

Barulah Ketut Antara dan istri mengetahui, bahwa Pempin berada di Polsek Kintamani.

3. Kepala Desa menyebut beredar informasi di masyarakat bahwa nenek Pempin dikatakan sebagai pelaku

[LIPSUS] Nenek di Bali Trauma Dibawa 4 Polisi: Saya Disuruh Ngaku(IDN Times/Sukma Shakti)

IDN Times telah menelepon Perbekel Desa Kedisan, I Nyoman Gamayama, untuk mengonfirmasi kronologi ini, Senin (23/11/2021). Menurutnya, awalnya korban (Pelapor) tidak pernah melapor ke Kantor Desa atas kehilangan emas dan barang lainnya. Pada hari penjemputan tanggal 25 Oktober 2021 lalu, sebuah informasi sudah beredar di masyarakat bahwa Pempin dikatakan sebagai pelaku.

"Karena dianggap, ketika dia mampu melaksanakan sebuah bangunan rumah itu dipandang kebetulan ada orang yang kehilangan (Emas dan lainnya). Dianggapnya si nenek Pempin yang mencuri. Nah, terjadi seperti itu. Akhirnya dari pihak kepolisian turun tangan untuk menjaga kegiatan fisik di masyarakat (Desa) Kedisan, jika terjadi sebuah ketersinggungan akan menjadi masalah besar. Nah, akhirnya ketika ada dari pihak kepolisian mendengar seperti itu, turun ke lapangan hanya ingin menanyakan. Ditanya untuk mengklarifikasi sebuah permasalahan. Ya, namanya polisi sebagai pelindung, pengayom masyarakat, ya menurut tiang (Saya) itu adalah sebuah kebenaran," kata Gamayama.

Menurut Gamayana, ketika petugas melakukan klarifikasi, masyarakat akan diajak ke kantor polisi agar tidak ada kerumunan masyarakat.

"Kalau polisi nanya di jalan kan nggak etis lho. Pasti diajak ke kantor. Kalau tanya di rumahnya, nanti tetangganya malah ke luar. Saya pun seperti itu, ketika saya mengajak masyarakat, saya panggil, saya ajak di kantor," ungkapnya. 

Gamayama menilai peristiwa ini sebuah keberuntungan bagi keluarga Pempin.

"Kenapa saya bilang keberuntungan? Di mana selama ini nenek Pempin itu dituduh oleh masyarakat. Nah, ketika sudah ditanya oleh polisi ternyata tidak ada bukti, itu kan membuat lega sebenarnya bagi keluarganya. Berarti masyarakat akan mengetahui bahwa pelakunya bukan nenek Pempin. Kan seperti itu sebenarnya." 

Ia juga kembali menegaskan, peristiwa yang dihadapi oleh Pempin adalah untuk klarifikasi, bukan penangkapan. Gamayama juga mengakui bahwa suami Pempin menemuinya setelah Pempin diajak ke Polsek Kintamani.

"Melaporkan bahwa istrinya itu ditangkap polisi. Lho kok ditangkap polisi Pak? Masalahnya apa? Memangnya polisi itu punya barang bukti apa menangkap? Saya gituin," imbuh Gamayana. 

Terkait prosedur, Gamayana memberi contoh bagaimana proses pemanggilan yang selama ini pernah terjadi di desanya.

"Kalau menurut prosedur ya, ketika saya punya masyarakat sudah terbukti bersalah, lalu ditangkap oleh polisi, Pak Polisi itu turun dulu menghadap tiang (Saya). Tiang sebagai pemegang wilayah, Kepala Desa. 'Pak Mekel, Pak Mekel punya masyarakat masalah seperti ini. Ini sebagai tersangka bahwa ada sebuah pencurian, bahwa seperti ini sudah terbukti. Bahwa ada saksi, barangnya sudah dipegang oleh pihak kepolisian. Sekarang kami dari kepolisian mendapatkan surat perintah untuk penangkapan. Tolong bantuannya Pak Mekel'. Seperti itu yang sudah terjadi," tegasnya. 

4. Polsek Kintamani sudah membawa Surat Undangan Klarifikasi tertanggal 25 Oktober 2021, namun diterbangkan oleh angin di lokasi penjemputan Pempin

[LIPSUS] Nenek di Bali Trauma Dibawa 4 Polisi: Saya Disuruh NgakuProses Ni Nengah Pempin (66) yang hendak dibawa ke Kantor Polsek Kintamani tanggal 25 Oktober 2021. (Dok.IDN Times/Istimewa)

Pada Jumat (12/11/2021) sore, IDN Times juga langsung menuju ke Polsek Kintamani. Jarak tempuhnya 53 kilometer atau sekitar 1,5 sampai 2 jam berkendara mobil dari Kota Denpasar. Sementara perjalanan dari Desa Kedisan menuju ke Polsek Kintamani memakan waktu 30 menit. Sepanjang perjalanan itu sedang berkabut tebal sampai menutupi hampir semua bagian gunung dan pemandangan di sekitar. Sangat terasa dinginnya cuaca sebagaimana yang diceritakan Pempin. Masyarakat di sekitar pun menggunakan jaket yang cukup tebal.

IDN Times tiba pukul 16.30 Wita dan bertemu Kanit Reskrim Polsek Kintamani, Iptu I Nyoman Somaada, di ruangannya. Somaada memperlihatkan sebuah map yang di dalamnya terdapat berkas-berkas terkait dugaan kasus pencurian itu. Pada lembar pertama yang ditunjukkan, terbaca pelapor yang kehilangan tersebut bernama I Ketut Gedah pada 17 Mei 2021.

Disebutkan bahwa pada Senin 17 Mei 2021, pukul 09.00 Wita, pelapor pulang ke rumah dan menginap di rumah anaknya daerah Banjar Kedisan. Namun ketika pelapor masuk ke dalam kamar di rumahnya, ia melihat pintu dalam keadaan terbuka dan pakaiannya berantakan. Perhiasan di dalam tas kulit juga hilang, dengan total nilai kerugian sekitar Rp85 juta.

Masing-masing barang yang hilang di antaranya uang Rp4 juta, 1 kalung emas motif rantai dengan mainan uang logam emas seberat 50 gram, 2 buah gelang emas seberat 40 gram, 1 buah kancing emas seberat 7 gram, 5 buah cincin emas dengan permata biru seberat masing-masing 10 gram, dan 2 emas lainnya.

Setelah menunjukkan dokumen itu, Somaada menjelaskan, ia bersama tiga anggotanya tiba di Desa Kedisan pukul 15.00 Wita.

“Kami ngobrol karena kami juga tidak bawa peralatan saat itu. ‘Bisa tidak Bu minta klarifikasinya?’ Biar sekalian nanti, biar saya tidak turun lagi untuk membawa hasil interogasinya. Biasanya kan kami tulis tangan. Di sini ketik, bawa turun lagi. Saya mintai klarifikasi dulu. Saya juga ngomong nanti kalau sudah selesai, saya ajak dia pulang,” jelasnya.

Ketika menemui Pempin, Somaada mengaku membawa Surat Undangan Klarifikasi, dan sudah diperlihatkan kepada suami yang bersangkutan.

“Dikasih suratnya pada saat itu. Karena kami kasih, kebetulan ditaruh di atas meja. Ada fotonya. Diterbangkanlah sama angin, kami ambil lagi. Di meja, dibawa waktu ketemu sama Ibunya. Surat undangan klarifikasi,” ungkapnya.

IDN Times kemudian ditunjukkan isi Surat Undangan Klarifikasi tersebut. Surat itu tertanggal 25 Oktober 2021, ditujukan kepada Men Suarnaya. Suarnaya adalah nama anak kedua dari Pempin. Sedangkan men adalah sebutan Bahasa Bali yang artinya Ibu dari. Jadi, Men Suarnaya berarti Ibu dari Suarnaya.

Isi suratnya perihal permintaan untuk memberikan klarifikasi ke Polsek Kintamani tanggal 25 Oktober 2021, pukul 15.00 Wita. Tetapi tidak menyebutkan secara jelas status Men Suarnaya di surat tersebut sebagai apa. 

“Klarifikasinya sebagai saksi itu. Kami masih klarifikasi. Tidak ada yang melakukan penangkapan. Penangkapan itu beda. Itu pun harus sudah dalam tahap penyidikan. Kategori penangkapan itu, kami harus memberikan surat penangkapan. Menunjukkan, kan gitu. Kemudian kami mencari Kadus (Kepala Dusun). Kemudian harus kami mencari keluarga dulu,” kata Somaada.

Ia menekankan, pihak kepolisian tidak ada yang menuduh Pempin telah mencuri. Menurutnya, tidak hanya satu orang saja yang diperiksa, namun ada beberapa saksi lain yang dimintai keterangan.

“Siapa tahu ya, mungkin ada melihat orang masuk sana (Rumah pelapor), kan? Beliau ini kan dekat rumahnya. Siapa tahu saja melihat orang yang mencurigakan saat itu. Kan mungkin saja,” katanya.

Sekadar diketahui, jarak antara rumah Pempin dan pelapor sekitar 50 meter. IDN Times kembali memastikan kepada Pempin, suami, anak-anaknya, dan para pendamping hukum terkait surat undangan tersebut, pada Rabu (17/11/2021). Mereka menyatakan tidak ada yang menerima surat undangan klarifikasi. Pempin dan suaminya juga menegaskan tidak menerima surat apa pun, dan tidak melihat ada surat yang diterbangkan oleh angin ketika para polisi datang dan membawanya.

***

IDN Times lalu menanyakan bagaimana prosedur meminta klarifikasi terhadap saksi-saksi lainnya, apakah seperti yang dialami oleh Ni Nengah Pempin? Somaada menjawab caranya berbeda-beda. Namun ia menekankan, apa yang dilakukan terhadap Pempin bukanlah upaya paksa dan meminta klarifikasi adalah sah-sah saja. Menanggapi pernyataan Pempin yang merasa dicurigai dan dituduh, Somaada menjelaskan pihak kepolisian menerima laporan informasi dari masyarakat.

“Sebenarnya kami membantu mengklarifikasi di bawah (di Desa Kedisan), biar ndak (Tidak) masyarakat yang memvonis dia. Dengan cara polisi melakukan penyelidikan. Secara otomatis nanti nama ibuknya kan bagus. Kan gitu. Makanya saya pun meminta keterangan keluarganya. Dalam rangka itu sih. Men-clear-kan riak-riak kecil di bawah.”

Sebelum membawa Pempin ke Polsek Kintamani, pihaknya mengaku sudah menghubungi Bhabinkamtibmas Desa Kedisan Polres Bangli, Aiptu I Wayan Cutet. Hanya saja belum melapor kepada Kepala Desa Kedisan, I Nyoman Gamayana.

Ketika dihubungi IDN Times pada Sabtu (13/11/2021), Aiptu I Wayan Cutet membenarkan telah dihubungi oleh Kanit Reskrim Polsek Kintamani tanggal 25 Oktober 2021 sore.

Hingga Jumat (12/11/2021), Somaada mengatakan belum menetapkan tersangka atau orang yang diduga sebagai pencuri emas tersebut, karena masih dalam proses penyelidikan. Ia juga mengakui belum mengantongi barang bukti apa pun.

5. Tiga orang polisi mendatangi rumah mantan menantu Pempin untuk memastikan sumber uangnya. Bukti-bukti transfernya pun sudah diserahkan ke Polsek Kintamani

[LIPSUS] Nenek di Bali Trauma Dibawa 4 Polisi: Saya Disuruh NgakuFoto hanya ilustrasi. (Pixabay.com/jarmoluk)

Pada saat Ni Nengah Pempin diperiksa tanggal 25 Oktober 2021, tiga orang polisi juga mendatangi kediaman mantan menantu (Mantan istri anak ketiga Ni Nengah Pempin, I Komang Wardiana), Ni Luh Muliani, di Toya Bungkah, Kabupaten Bangli.

“Saya mau tanya dan pertanyaan saya harus dijawab, dan jangan tanya balik ke saya apa masalahnya. Jangan bilang dengan teman-teman di sini apa yang saya bicarakan dengan Ibu,” ucap Muliani menirukan perkataan polisi.

Muliani mengaku dimintai keterangan sekitar satu jam, perihal apakah benar dia yang bertanggung jawab membelikan sepeda motor untuk anaknya (Cucu Pempin), apakah benar dia yang memberikan uang untuk membangun rumah, bagaimana cara memberikan uang, dan berapa jumlahnya. Muliani yang pernah bekerja di Turki tidak ditanya lagi setelah menyatakan memiliki bukti semua pengiriman uangnya.

“Tolong ngih (Ya) Bu, ngih. Bukti transfernya itu saya minta biar gak orang di kampung nanti mengira-ngira Ibu ini kerja apa di luar sana. Di mana dapat uang kok bisa membangun atau beli motor. Kalau sudah ada buktinya, kan saya bicara dengan orang kampung bahwa anak ibu dapat uangnya dari Ibu dan ini buktinya,” kata Muliani kembali menirukannya.

IDN Times telah menghubungi anak Muliani (Cucu Pempin) berinisial NPAZQ, pada Senin (15/11/2021). Ia mengatakan, dirinya telah dihubungi oleh pihak kepolisian pada tanggal 25 Oktober 2021. Polisi menanyakan jumlah nominal untuk membeli sepeda motor dan apakah benar ibunya yang membelikan.

“Saya bilang kalau itu Ibu yang belikan,” jawabnya.

***

Anak keempat Pempin, I Ketut Antara Putra, menyerahkan bukti-bukti pengiriman uang ke Polsek Kintamani sehari setelah penjemputan Pempin, tepatnya pada Selasa (26/11/2021). Ia bertemu seorang polisi yang membawa Ni Nengah Pempin.

“Sebenarnya Ibuknya sudah selesai masalahnya. Cuma dimintai keterangan. Apalagi dengan adanya bukti (Transfer) ini. Sudah kok. Apa pun yang kita lakukan, kita informasikan ke pihak pelapor bahwa Ibuknya sudah diambil. Ibuknya tidak bersalah,” kata Antara Putra menirukan perkataan polisi itu.

Pada saat itu pula Antara Putra meminta saran, bagaimana agar nama Ibunya kembali dipulihkan di desa.

“Nanti kan saya telepon Bhabinnya dan mengatakan Ibunya tidak bersalah. Saya juga siap jadi saksi untuk memberikan klarifikasi di desa,” kata Antara Putra kembali menirukan perkataan polisi.

Meskipun pihak kepolisian belum menetapkan tersangka dan mengantongi barang bukti, namun kejadian penjemputan Pempin yang secara tiba-tiba dibawa ke Polsek Kintamani itu, membawa dampak besar. Menurut keponakan Pempin yang juga Kepala Pecalang, I Wayan Suarembawa, masih banyak masyarakat di desa yang membicarakan peristiwa tersebut, terutama ketika Hari Raya Galungan (10 November 2021). Sejak diperiksa, Pempin diketahui tidak berani ke luar dan terus menangis.

“Ramai di kampung, orang nanya. Bagaimana kelanjutannya, bagaimana kelanjutannya. Yang saya tahu, orang di Kintamani, banyak yang diambil polisi. Dia tidak bersalah, tapi mentalnya down. Gak salah mereka. Banyak yang saya temukan begitu. Kena curiga, masyarakat itu membuat mental mereka down,” ucapnya.

Keputusan untuk meminta bantuan hukum kepada LBH baru dilakukan setelah kakak Pempin, Jro Nyarikan Debel, mengetahui kejadian ini dari seseorang, atau tiga hari setelah penjemputan.

“Berita di masyarakat yang kami terima, ini dia sudah dianggap betul-betul adalah seorang pencuri. Nah, bagi yang bertindak memproses ini, saya lihat arogan. Satu, tidak ada prosedur yang betul-betul untuk mengambil orang. Tidak ada surat perintah. Kedua, tidak ada pemberitahuan sebelumnya kepada keluarga. Tiga, berani-beraninya dia mengambil. Di desa, kan ada petugas kepolisian atau termasuk Kepala Desa, mengapa itu mengatakan semua tidak tahu?” lanjut Jro Nyarikan Debel.

Pendamping Hukum Pempin dari LBH Bali WCC, Ni Nengah Budawati, menekankan peristiwa ini harus segera dipastikan kejelasannya.

“Edukasi ke masyarakat bahwa jika diperlakukan seperti ini, wajib untuk melaporkan. Jangan pernah takut, jangan pernah gentar. Agar masyarakat tahu, bahwa mereka punya hak untuk menyampaikan kebenaran, harus mendapat keadilan. Syukur sekali Ibu ini tetap kuat menjalani prosesnya. Seandainya kasus ini berjalan, kami siap menghadapinya. Kalau sampai di persidangan, biar itu menjadi keputusan hakim, apakah bersalah atau tidak bersalah. Jadi ini tanpa pemanggilan secara patut," tegasnya.

LBH Bali WCC juga menginginkan kasus ini segera diusut tuntas agar jelas siapa pelakunya.

"Jadi biar pasti ini bagaimana akhir dari kasusnya. Nanti juga Ibu Pempin agar kuat sampai menghadapi semua prosesnya, bahkan sampai di persidangan. Ini akan menjadi pembelajaran besar untuk semuanya."

6. Dilihat dari sisi kriminologis, pemanggilan saksi perlu lebih manusiawi

[LIPSUS] Nenek di Bali Trauma Dibawa 4 Polisi: Saya Disuruh Ngaku(IDN Times/Sukma Shakti)

IDN Times meminta pendapat Ahli Hukum Pidana dan Kriminolog Universitas Udayana (Unud), Dr Gde Made Swardhana SH MH, terkait peristiwa ini di ruangan Fakultas Hukum Unud lantai 3, pada Kamis (18/11/2021).

Berdasarkan dari kronologi, menurutnya harus dilihat dulu "Siapa yang melaporkan." Kalau pelaporannya sudah jelas mengenai barang-barang apa saja yang hilang dan lainnya, berikutnya adalah siapa yang diduga. Proses ini seharusnya tetap menggunakan prosedur tetap (Protap) seperti yang tertuang dalam Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009 (Perkap 12/2009) Tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, atau dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

"Dengan demikian para penyidik, baik sebelum atau setelah adanya Dumas (Pengaduan Masyarakat), mereka kan harus mengecek kebenarannya. Mengecek kebenarannya berarti meminta klarifikasi tentang seseorang yang diduga sebagai saksi dulu. Ya sebagai saksi semua. Berapa orang saksinya, dan semua dimintai keterangan. Nah, setelah keterangan diperoleh, dikumpulkan hasil dari Dumas itu. Nanti kalau sudah menunjukkan gejala, bahwa ada seseorang sebagai pelaku, maka ini ditingkatkan menjadi laporan (Laporan Polisi/LP). Bukan lagi pengaduan. Ditetapkan jadi laporan. Dari laporan itu diadakan penyelidikan juga, siapa sebagai pelaku-pelakunya. Secara resmi saksinya dipanggil untuk meminta keterangan lebih jauh," kata Swardhana.

Untuk meminta keterangan tersebut, tentu ada cara untuk memanggil saksi-saksi. Pertama, apabila memanggil saksi kepada orang yang bisa membaca, tentu Surat Pemanggilan akan langsung diteruskan kepada yang bersangkutan. Kedua, kalau saksi tersebut tidak dapat membaca, tahap pemanggilannya bisa melalui kepala desa atau pejabat setempat untuk diminta memanggilkan orang tersebut.

"Tapi kalau tadi kronologis yang disampaikan, bahwa saksi nenek itu yang diambil/ ditemukan/ diketahui sedang mengerjakan sawah atau mungkin di ladang dan tiba-tiba diajak ke kantor polisi, ya ini dari sisi kriminologis, kami melihat bahwa perlu humanity-lah, lebih manusiawi gitu. Apalagi umur nenek berapa sih, ditambah dengan penjelasan apa yang mereka dapatkan, terus apa yang mereka tuduhkan. Apalagi ketika sampai di kantor kepolisian, siapa saja juga bila masuk ke kantor polisi dengan dugaan yang macam-macam, tentu pasti akan mengalami shock. Mengalami trauma dalam hal ini," lanjutnya.

Oleh karenanya, kata Swardhana, tentu sekarang aparat penyidik maupun penyelidik juga harus lebih berhati-hati. Tidak sekadar menangkap atau mengajak seseorang saja.

"Ajaklah mereka secara baik-baik berbicara. Kalau pun memang ada tugas, mereka tunjukkan dengan surat tugas. Nah, kalau nggak ada surat tugas, ya sampaikan saja bahwa kami sedang meminta keterangan untuk ini, ini."

7. Perbedaan Dumas dan Laporan Polisi:

[LIPSUS] Nenek di Bali Trauma Dibawa 4 Polisi: Saya Disuruh NgakuFoto hanya ilustrasi. (Unsplash.com/Andrew Neel)

Swardhana menjelaskan, Pengaduan Masyarakat (Dumas) dan Laporan Polisi (LP) adalah dua hal yang berbeda. Kalau LP, berarti sudah mulai ada penyelidikan. Penyelidikan itu sudah masuk ke ranah menetapkan siapa tersangkanya. Tujuannya adalah agar jelas dari pemanggilan para saksi tersebut. Berdasarkan laporan tersebut, apakah ini patut diduga orang tersebut yang melakukan tindak pidananya.

"Kalau tidak bisa dibuktikan, bahwa dia yang mengambil, siapa yang mengambil, bisa saja orang lain yang mengambil. Tapi karena dia tetangga, akhirnya 'Ah nggak jauh kok yang ngambil. Pasti tetangga yang ngambil.' Ini juga kan berat, harus dibuktikan. Walaupun misalnya dengan cara ya sidik jarikah, atau mungkin kecurigaan-kecurigaan. Kalau itu sudah ditemukan, kan harus ada klarifikasi juga. Atau harus ada penjelasan dari pihak korban. Korban kira-kira apa saja barang yang hilang. Misalnya barang ini ditengarai seharga Rp85 juta. Tetangga kok bisa membangun? Dari mana dapat uang? Nah, ini kan perlu juga dicurigai gitu. Dapat uang dari mana? Kalau benar uang itu dari hasil curian, ya bisa saja ya. Sekarang kan istilahnya diklarifikasi si pelaku yang istilahnya diduga, dan juga saksi tadi kan sudah menjelaskan bahwa uang ini ada kuitansi pembelian. Uang ini diperoleh dari hasil anak menantu atau orang lain yang ngasih. Selesai sudah sebenarnya," ujarnya.

Sedangkan Dumas, itu biasanya masih mencari informasi atau keterangan dulu dari pihak si A, B, dan lainnya. Setelah mengumpulkan keterangan-keterangan tersebut, nanti ditingkatkan ke LP.

"Kira-kira antara pengadu, terus yang diadukan ini, ada nggak yang kira-kira kita curigai. Prosesnya itu. Nanti ditingkatkan Dumas jadi Laporan (LP). Ditingkatkan dia. Laporan ini baru nanti ada lidik. Lidik itu penyelidikan. Kalau sudah ditemukan, baru nanti ditingkatkan menjadi sidik (Penyidikan). Kalau sudah penyidikan, berarti tersangkanya sudah ditemukan," katanya.

Wardhana menilai, kasus di Bangli masuk Dumas. Ia juga mengatakan, kalau seseorang menerima Surat Undangan Klarifikasi, dia boleh datang atau boleh tidak datang.

"Kan undangan klarifikasi. Lain kalau misalnya sudah ditetapkan, sudah mulai masuk ke lidik, ke sidik ya, itu sudah harus. Wajib itu sebenarnya. Kalau undangan, boleh saja tidak datang. Kan saya diundang."

8. Seseorang yang dipanggil untuk meminta klarifikasi akan mengalami shock traumatic apabila dibawa ke kantor polisi ketika masih di sawah

[LIPSUS] Nenek di Bali Trauma Dibawa 4 Polisi: Saya Disuruh NgakuAhli Hukum Pidana dan Kriminolog Universitas Udayana (Unud), Dr Gde Made Swardhana SH MH. (IDN Times//Irma Yudistirani)

Saksi, menurut Pasal 1 Angka 26 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 kemudian memperluasnya menjadi saksi tidak hanya orang yang mendengar, melihat, atau mengalaminya sendiri saja. Tetapi juga setiap orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.

Penyidik yang memanggil seseorang sebagai saksi pun harus dilakukan secara sah. Apabila saksi tidak bersedia hadir, maka penyidik akan memanggil sekali lagi dengan perintah kepada petugas untuk membawa saksi tersebut ke kantor kepolisian. Hal ini tercantum dalam Pasal 112 KUHAP:

  1. Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memerhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut.
  2. Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.

Apabila saksi secara sengaja tidak memenuhi pemanggilan secara berturut-turut, maka akan dikenakan hukuman pidana penjara sembilan bulan. Hal ini tertuang dalam Pasal 224 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):

Barangsiapa dipanggil sebagai saksi, ahli, atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam:

  1. Dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;
  2. Dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.

Berdasarkan aturan Pasal 112 Ayat 1 KUHAP, pemanggilan saksi secara sah harus memerhatikan tenggang waktu yang wajar, antara diterimanya panggilan tersebut, dan hari seseorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut. Kalau melihat kasus di Bangli, Pempin dibawa ke Polsek Kintamani pada saat masih di sawah tanggal 25 Oktober 2021. Ia juga tidak sempat untuk berganti pakaian dan membersihkan diri. Baik suami dan istri, juga mengaku sama-sama tidak melihat ada surat yang disodorkan oleh polisi kepadanya. Selain itu Kanit Reskrim Polsek Kintamani, Iptu I Nyoman Somaada, menyatakan ia sudah memberikan Surat Undangan Klarifikasi tertanggal 25 Oktober 2021, kepada Pempin dan suaminya. Tetapi surat itu diterbangkan oleh angin.

Inilah yang disoroti oleh Swardhana dalam kasus ini. Yaitu cara-cara polisi mendatangi dan membawa Pempin ketika masih di sawah. Sebaiknya mereka bertemu secara baik-baik di sawah, kapan mau dimintai keterangan, dan lainnya. Kalau orang yang mau dipanggil tersebut tidak dapat membaca, maka harus ada orang lain yang bisa meneruskan maksud dan tujuannya.

"Buat catatan, dibuat panggilan ke sini jam sekian, tanggal sekian, lalu datang ke kantor. Begitu. Tapi kalau dia dijemput dalam tanda kutip 'dijemput' di tempat kerja atau dengan pakaian yang masih lusuh atau mungkin keringatan atau kotor lalu dibawa ke suatu tempat yang boleh dikatakan di kantor kepolisian, ya pasti tentu mereka akan kebingungan. Mereka mengalami shock traumatic. Nah, ini cara-cara yang sebenarnya tidak perlu dilakukan oleh seorang penyidik (Polisi) yang memahami betul tentang kegiatan-kegiatan memanggil seseorang," ungkapnya.

Menurutnya, paling tidak tiga hari surat panggilan itu dibuat sebelum seseorang itu dipanggil.

"Ya itu. Sekarang buat surat, sekarang itu juga manggil orang. Harus ada ketentuanlah. Kan gak begitu. Sekarang kirim surat tanggal yang sama, memanggil orang di hari yang sama. Paling tidak tiga hari surat panggilan itu. Kan gitu. Administrasi sudah salah itu. Berarti masih dia (Polisi) menggunakan zaman-zaman dulu yang ingin mencoba menerapkan mungkin pertimbangan kekuasaan (Abuse of Power), bisa jadi. Mestinya prosedur-prosedur begitu beda dengan di kota. Kota nggak perlu minta izin perbekel dulu atau lurah, nggak perlu. Begitu alamatnya sudah jelas, dipanggil sudah. Nanti baru dia sampaikan nanti. Karena ini warga (Warga di desa), ya kan tidak semuanya bisa baca tulis," kata Swardhana.

Dalam Pasal 112 Ayat 2 KUHAP, orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik. Apabila ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya. Lantas apakah penjemputan Pempin sudah sesuai prosedur?

"Ya, kalau dari sisi penjemputan sebetulnya benar begitu, kalau dia (Polisi) menduga. Tapi kalau prosedurnya adalah memanggil satu kali saksi ini, memanggil dua kali, tiga kali ndak (Tidak) ada, ya dijemput. Kan begitu. Jemput tujuannya untuk klarifikasi.

Kita kan melihat manusiawilah. Toh polisi di lingkungan di sana juga tahu, bagaimana Binmas (Pembinaan Masyarakat) pasti tahu. Ada penjelasan kenapa saya dipanggil, kenapa saya begini. Ini perlu nanti minta klarifikasi kepada para petugas yang telah melakukan tindakan semacam itu ya. Artinya, dia bisa menyampaikan kepada publik bahwa apa yang dia lakukan terjadi kekeliruan. Ataukah yang dia lakukan protapnya begitu. Tapi yang jelas, kalau pemanggilan saksi tidak sampai begitu. Karena kita lihat ya, perkara-perkara yang demikian itu katakanlah pencurian, masih bisa diajak (Mengobrol untuk klarifikasi). Tapi jangan terlalu men-justice dulu bahwa apa yang dia lakukan itu sudah pasti ini pelakunya. Jangan sampai men-justice itu. Ini pelaporannya bisa ke pusat, bisa polsek, polres, polda gitu."

Baca Juga: [LIPSUS] Kami Diperdaya, Dilecehkan, dan Dipaksa Bungkam!

9. Setelah peristiwa itu terjadi, upaya apa yang harus dilakukan oleh Pempin, dan polisi yang melakukan penjemputan?

[LIPSUS] Nenek di Bali Trauma Dibawa 4 Polisi: Saya Disuruh NgakuIDN Times/Sukma Shakti

Swardhana menyarankan, Pempin sebaiknya bertemu dengan keluarganya, lurah, atau perbekel untuk menyampaikan bahwa pertama dia tidak pernah berbuat apa pun. Termasuk menjelaskan dari mana sumber uang untuk pembangunan rumah dan membeli sepeda motor. Tujuannya supaya tidak terjadi kesalahpahaman.

"Kecuali nanti kalau terbukti (Mencuri), itu lain ya. Sampaikan sekarang kalau memang betul-betul (Tidak mencuri). Kalau dia betul-betul tidak melakukan, jadi harus lapor sama Pak Mekel (Perbekel), tidak melakukan apa-apa, saya bisa membangun uangnya dari ini, ini, ini. Saya beli motor dapat dari ini, ini, ini. Kedua, saya dipanggil, diperiksa, tidak boleh ngomong. Saya diperiksa apanya, saya tidak boleh ngomong. Sampaikan supaya tidak terjadi kesalahpahaman apa-apa. Biar nanti lurah nanti yang menyampaikan," sarannya.

Sementara dari perspektif polisi, hendaknya protap pemanggilan saksi tetap dijalankan. Karena terjadi di desa, maka perbekel yang akan memanggilnya terlebih dahulu ke rapat desa untuk menyampaikan ada kejadian kehilangan, dan lainnya. Kalau informasi yang diperlukan itu dirasa kurang, sampaikan akan diajak ke kantor polisi dengan didampingi oleh keluarga, dan perbekel.

"Kalau menangani persoalan-persoalan yang begini, ya okelah persuasif kalau memang sudah tahu ada pelakunya. Sampaikan. Ini di desa, bukan di kota. Sampaikan bahwa terjadi begini, begini, begini. Kan mekelnya yang akan manggil dulu. Kan bisa di rapat desa dulu. Kalau tidak, pinjam dia dulu diajak ke kantor polisi dengan didampingi keluarga, pak lurah. Karena dia nggak bisa baca dan sudah tua gitu, misalnya. Artinya, ini prosedurnya yang perlu diperbaiki. Kalau dia (Polisi) mengatakan ini SOP-nya sudah benar, ya tindakannya yang salah. Bisa tindakannya yang salah."

Mungkinkah banyak orang yang mengalami peristiwa seperti Ni Nengah Pempin di daerah lainnya? Akankah kejadian ini terulang kembali? Ketegaran dan perjuangan Pempin mencari keadilan diharapkan dapat menginspirasi masyarakat lainnya.

Tim Penulis: Ni Ketut Sudiani, Ayu Afria Ulita Ermalia, Irma Yudistirani

https://www.youtube.com/embed/tD2Dlnghc1M

Topik:

  • Irma Yudistirani
  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya