Situs Suci di Bali Rata dengan Tanah di Tangan Generasi Sendiri
Ngiring semeton lestarikan warisan leluhur
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Denpasar, IDN Times – Pengurus Majelis Desa Adat Provinsi Bali Bidang Tempat dan Kawasan Suci, I Made Bakti Wiyasa menceritakan kesaksiannya mengunjungi sejumlah situs budaya kuno di Bali yang kini sudah rata dengan tanah. Dari catatan kecilnya yang ia bagikan kepada IDN Times, terungkap bahwa sejumlah situs sempat hampir hilang sebelum akhirnya berhasil diselamatkan.
Hanya saja ia tidak berkenan menyebutkan daftar situs-situs tersebut. Namun menurutnya, Bali sejak beberapa waktu lalu bahkan masih hingga kini cukup sibuk menghancurkan situs-situs leluhurnya sendiri. Artinya, menghancurkan diri sendiri atas nama perbaikan.
“Cukup riskan menyebutkannya karena sebuah kesadaran dan keyakinan bisa masuk pada titik bias nantinya. Keberadaan situs ini ada di pinggir sungai, hutan desa, di desa, juga di persawahan, pinggiran danau, dan laut,” tegas Bakti yang juga perupa ini pada Sabtu (15/8/2020).
1. Situs luar biasa di Bali telah hilang
Bakti Wiyasa merasa sedih saat menyimak langsung sebuah situs suci yang metaksu yang kini telah rata dengan tanah. “Situs yang luar biasa, keberadaan istimewa yang mesti saya dampingi untuk diselamatkan akhirnya suatu hari saya dapati telah rata dengan tanah, tetap dilanggar dengan diam-diam,” jelasnya.
Kini ia berupaya menyusun Peraturan Gubernur terkait dengan perlindungan Pura, Pretima, dan Simbol Keagamaan. Tahun 2020 ini ia juga sedang menyusun tim inventarisasi untuk pendataan situs-situs kuno di Bali yang lebih banyak berupa pura.
Ia mengatakan memang menyesakkan mengetahui sebuah situs suci yang istimewa di sebuah desa yang sarat nilai-nilai luhur, kesucian, kawisesan (kecerdasan) dan situs tersebut telah melewati proses sakral dengan ritus suci dalam bentangan zaman ke zaman, kini telah rata.
“Jika ini terjadi, istilahnya kitalah sejatinya penghancur terbaik dari kebudayaan kita sendiri. Sampai di sini semoga dipahami jika sebuah desa, masyarakat, bisa gagal merawat titipan leluhur dan dihancurkannya sendiri sebelum generasi yang masih anak-anak di sebuah desa mampu menyimak dan mengases tattwa pada situs,” jelasnya.
Baca Juga: Pemedal Agung Klungkung Bali, Tidak Ada yang Berani Membuka Pintunya