Duka Transpuan di Bali: Bertahan Walau Mendapat Diskriminasi

Pulau Dewata harus menjadi ruang aman bagi transpuan

“Kalau masalah dikatain itu sudah asam garam kehidupan, setiap hari ada yang meludahi, melempar batu ke saya. Paling parah itu dengan sengaja melempar air kencing dia yang ditaruh di plastik ke kita,” tutur Yuni (bukan nama sebenarnya), transpuan asal Banyuwangi yang bekerja sebagai pekerja seks di satu sudut Kota Denpasar.

Denpasar, IDN Times - Selama 30 tahun menetap di Bali dan bekerja sebagai pekerja seks, Yuni terus merasakan diskriminasi dan tindak kekerasan karena identitas gendernya. Perlakuan itu terjadi hampir setiap hari. Tindakan kekerasan biasanya dilakukan secara bergerombol dengan pola yang sama.

“Kadang yang di depan berpura-pura panggil saya tante-tante, yang ada di belakang lempar gitu. Biasanya gak sendiri, ada tempat sepeda motor gitu untuk trek-trekan dekat saya, jadi ada tiga motor atau empat motor kan kompak sama teman-temannya. Habis lempar ya kabur, kalau kita enggak hati-hati kan kena ke kepala kita?” ungkapnya.

Menjadi transpuan di Indonesia lebih sulit, terlebih kondisi masyarakat dengan norma heteronormatif. Tidak sedikit dari transpuan di Indonesia mengalami kekerasan dan diskriminasi dari lingkungannya sejak kecil. Padahal lingkungan terdekat idealnya menjadi support system, terlebih pada saat proses penerimaan diri yang dihadapi transpuan.

Kurangnya penerimaan dari keluarga dan lingkungan, serta penolakan dari sistem pendidikan dan pekerjaan formal, menjadi faktor banyak transpuan memilih bekerja sebagai pekerja seks. Pekerjaan tersebut menjadi pilihan terakhir demi melanjutkan hidup. Diskriminasi secara struktural tersebut telah terjadi bertahun-tahun, transpuan dianggap tidak memiliki kompetensi yang setara. Bekerja sebagai pekerja seks merupakan pekerjaan yang mempertaruhkan hidup.

Bekerja sebagai pekerja seks rentan mendapatkan tindakan kejahatan, terlebih diskriminasi. Banyak yang tidak melaporkan pada pihak berwajib, sebagian merasa bahwa perlakuan tersebut merupakan risiko dari pekerjaannya. Yuni adalah termasuk transpuan yang memilih tidak membawa kasusnya ke jalur hukum. Bagi Yuni, perlakuan itu sudah biasa karena terlalu sering dialaminya.

“Pernah kalau ketangkap yang melempar ke saya, tapi kan gak sampai dibawa ke jalur hukum, cuma dikasih tahu aja jangan gini jangan gitu. Kadang ada yang masih mengulangi lagi, pelakunya kadang sama," tambah Yuni.

Lantas apakah transpuan yang bekerja sebagai pekerja seks telah mendapatkan rasa aman? Bagaimana dengan diskriminasi yang dialami selama tinggal di Bali?

Baca Juga: Derita dan Minimnya Perlindungan Pekerja Rumah Tangga Bali

Baca Juga: 5 Cara Spill Kasus Kekerasan Seksual di Medsos

Bali menjanjikan kehidupan baru bagi transpuan, rasa dapat memanusiakan manusia lebih terasa

Duka Transpuan di Bali: Bertahan Walau Mendapat DiskriminasiPotret Transpuan Pekerja Seks Daerah Denpasar (Dok.pribadi/Desimawaty Hutabarat)

Sejumlah laporan mencatat bahwa transpuan kerap mendapat diskriminasi dan persekusi. Laporan yang dirilis oleh Jaringan Gaya Warna Lentera Indonesia (GWL-INA) mencatat telah terjadi 6 kasus pembunuhan pada transpuan sepanjang tahun 2019. Kasus tersebut terjadi di Tangerang, Yogyakarta, Padang, Lubuk Linggau, Palembang dan Biak. Sedangkan di Bali sendiri sedikit berita yang menuliskan kekerasan terhadap transpuan, laporan mengenai kekerasan yang terjadi pun terhitung rendah.

Berbicara mengenai Bali tentu akan mengingat tingginya tingkat toleransi masyarakat. Tidak terbatas pada perbedaan agama, ras dan etnis, tetapi Bali terbuka dalam menerima keberagaman gender. Hal tersebut terlihat ketika banyak pemerintah daerah mewacanakan kebijakan diskriminatif, terlebih menjelang Pemilu. Arus Pelangi mencatat terdapat 45 rancangan peraturan daerah anti-LGBT sepanjang 2019. Satu daerah bahkan telah menyebut kotanya anti-LGBT, namun Bali tidak mengeluarkan peraturan serupa, menjadikannya daerah yang relatif lebih aman bagi komunitas transpuan.

Didukung oleh sektor pariwisata, banyak tempat di Bali yang menjadi surga kecil bagi transpuan untuk memperoleh uang. Di beberapa tempat akan mudah menemukan transpuan yang hidup berdampingan bersama masyarakat.

Menurut beberapa transpuan di Kota Denpasar, potensi pariwisata di Bali telah memberikan kemudahan dalam mengakses pekerjaan. Tipe masyarakat Bali yang tidak terlalu ingin tahu urusan pribadi orang dianggap sebagai keunggulan dibanding daerah lain.

“Kenapa memilih Bali? Karena kan Bali salah satu tempat wisata. Terus habis itu banyak pendatang,” jelas Risma (bukan nama sebenarnya), Ketua Komunitas Waria Cantik Kota Denpasar.

Selain potensi pariwisata yang menguntungkan, faktor penerimaan di lingkungan berpengaruh bagi transpuan. Masyarakat Bali lebih terbuka dan memiliki rasa untuk menghormati privasi orang lain yang tinggi. Aturan yang diterapkan di beberapa wilayah Indonesia tidak dipermasalahkan oleh Bali, selama tidak merugikan lingkungan.

“Habis itu kalau di Bali itu berbeda dengan aturan di Jawa. Kalau di Jawa itu contohnya laki dengan perempuan itu misalnya sampai satu rumah lewat dari jam 12.00 kan udah digerebek, sementara yang mau di Bali di kos-kosan kan welcome. Kalau di sini kan memang benar-benar aman, untuk pekerjaan masih gampang,” jelasnya lagi.

Selain dari keterbukaan masyarakatnya, di Bali sendiri sektor pekerjaan bagi transpuan lebih luas. Identitas diri transpuan tidak memengaruhi sistem perekrutan. Sektor pekerjaan dinilai berdasarkan kemampuan, sehingga transpuan mampu bersaing.

“Di pabrik-pabrik pun paling kan cuma satu dua yang diterima. Pun rata-rata aku melihat bukan secara fisik dia, body di sini mereka melihat kayak rambut pendek seperti itu, walaupun masih ngondek-ngondekan, masih diterima. Tapi kalau yang secara 100 persen aku melihatnya kalau yang untuk perempuan, yang sudah benar-benar menjadi perempuan atau trans seperti itu, di ruang publik Indonesia belum dapat diterima. Kalau di sini kan (Bali) memang benar-benar aman, untuk pekerjaan masih gampang,” lanjutnya.

Serupa dengan alasan Risma, dalam pandangan Annisa (bukan nama sebenarnya) yang pernah merantau ke ibu kota, ia memilih kembali ke Bali karena memang menjadi rumah ternyaman. Kontrakan kecil tersebut memberikan kehangatan, tidak ada yang mempermasalahkan pekerjaannya.

“Baik-baik aja tetangga di sini, mereka tahu saya kerja malam. Kadang kalau ada makanan lebih aku kasih mereka, mereka juga kasih ke aku,” kata Annisa.

Masyarakat di sekitar kontrakannya menerima identitas gender Annisa. Menurutnya dibandingkan dengan di ibu kota, Bali masih menghormati kehadiran dirinya dalam lingkup sosial, masyarakat menerima dan memperlakukan serupa dengan yang lainnya. Tetangga di sekitar tempat tinggal Annisa memberikan pengertian pada anak-anaknya untuk melihat dan memperlakukan dirinya secara sopan. Tak ada yang memberikan pandangan merendahkan saat melihat dan berbicara padanya.

Annisa dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan sosial dan diberikan kewajiban yang sama dengan masyarakat terkait administrasi kepada pihak bendesa adat. Pihak bendesa adat juga menjalin komunikasi yang baik dengan Annisa, terlebih pada saat Covid.

Belum lagi dalam memperoleh tempat tinggal. Menurut Annisa, kota sebesar Jakarta justru masih memberikan stigma dan kurang menerima keberadaannya.

“Waktu 2014 sama 2016 aku ke Jakarta, untuk nyari tempat tinggal aja udah susah. Kalau di sini masih aman dan di sini kalau masyarakatnya itu masih menghargai,” ujar Annisa transpuan asal Jawa Barat.

“Beda dengan di Jakarta, stigma kami transpuan yang bekerja di dunia malam itu kalau di sono (sana) kan kadang-kadang masyarakatnya nyindir gitu, kadang-kadang kan kita gimana gitu, kurang enaklah gitu,” tambahnya.

Masih terjadi fenomena diskriminasi pada transpuan. Kekerasan itu nyata ada dan terasa

Duka Transpuan di Bali: Bertahan Walau Mendapat Diskriminasifoto hanya ilustrasi (pexels.com/Anete Lusina)

Keterbatasan transpuan dalam mengakses pekerjaan yang layak merupakan dampak domino diskriminasi gender. Dalam masyarakat patriarkis yang membatasi gender pada pilihan laki-laki dan perempuan, transpuan masih dianggap tabu. Banyak yang sudah menerima, namun tidak juga mendukung keberadaan transpuan.

“Pada beberapa kesempatan diundang memberi materi tentang gender dan seksualitas, saya selalu menekankan bahwa akar diskriminasi terhadap kelompok gender minoritas itu karena ada pandangan heteronormatif. Masyarakat heteronormatif memiliki anggapan tidak ada variasi gender di luar maskulin dan feminin,” ungkap Angel, yang merupakan Pegiat Isu Gender dan Transpuan dari GSHR Udayana.

“Ada kultur permisif kekerasan sebagai hukuman kepada siapa saja yang menyalahi konstruksi gender yang diciptakan oleh masyarakat ini. Misalnya laki-laki berpenampilan dan bertindak feminin, atau sebaliknya, atau seseorang berpenampilan dua gender sekaligus. Ya bentuknya itu bisa pelabelan atau stigma negatif, diskriminasi, hingga kriminalisasi,” tambahnya.

Transpuan tidak hanya dikucilkan dari lingkungan sekitarnya, tetapi juga mengalami kesulitan dalam mengakses kesehatan, perbankan, sektor pekerjaan formal, dan pendidikan. 

Padahal, transpuan juga warga negara, memiliki hak mutlak dalam mendapatkan kemudahan untuk mengakses karena telah dijamin oleh negara. Tetapi banyak transpuan mengalami hambatan dalam menjalani pendidikan, seperti dikucilkan. Padahal pendidikan mampu meningkatkan kemampuan dan kualitas hidup kedepannya.

“Ada ya bully waktu sekolah, dari kelas 4 SD sampai SMP, terus waktu SMA gara-gara krisis moneter 98 akhirnya keluar. Sekarang ini yang akan aku lakukan mau kejar paket C, tapi belum. Karena masih mau menghubungi temanku. Nanti yang akan menjadi tantangan ya nama sesuai ijazah, fisik kan dulu masih laki-laki,” ujar Risma.

Bentuk fisik transpuan yang berubah menjadi penghalang untuk diterima di tengah masyarakat. Transpuan yang mengalami kesulitan dalam mengakses pendidikan, akan sulit juga dalam mengakses pekerjaan. Pilihan menjadi pekerja seks adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup yang terus bertambah. Annisa mengungkapkan keinginan untuk keluar dari pekerjaannya sebagai pekerja seks, tetapi kemampuan menjadi penghambat.

“Ada nyoba jahit tapi gak masuk, ilmunya sudah susah masuk ke otak. Belajar buat tas, tapi gak masuk dan salah terus,” ujar Annisa.

Selain Annisa, Risma, dan Yuni, banyak transpuan dari berbagai kota di Indonesia memutuskan mengadu nasib di Pulau Dewata. Banyaknya wisatawan dan pendatang yang menetap di Bali memberikan pengaruh pada besaran tarif jasa. Hal tersebut mendatangkan harapan lebih bagi transpuan untuk hidup lebih nyaman di Bali. Namun, menjadi pekerja seks nyatanya belum mampu memberikan kehidupan sesuai harapan. Transpuan pekerja seks justru mendapatkan diskriminasi.

Niat melapor untuk melindungi diri, tetapi yang didapat justru ketakutan

Duka Transpuan di Bali: Bertahan Walau Mendapat Diskriminasifoto hanya ilustrasi (pexels.com/Lucas Pezeta)

“Ada yang ngatain-ngatain aja, ada yang melempar batu. Ada juga yang lempar telur-telur bekas dipakai dari sembahyang, kadang dilempar ke kita, ada air got, air kencing mereka, bahkan tainya sapi. Gak tau gimana mereka masukin itu ya?" kata Risma.

Tindakan diskriminatif berulang itu sampai menimbulkan luka pada tubuh transpuan, terkhususnya di bagian kepala. Luka fisik tersebut dilakukan oleh anak muda yang melemparkan batu di lokasi transpuan biasanya bekerja. Banyak yang berusaha menghindari lemparan tersebut, tetapi situasi yang tiba-tiba menyebabkan transpuan menjadi target, sehingga tidak dapat menghindarinya.

“Pernah yang sampai menimbulkan luka fisik, sering sih kalau yang sampai luka berdarah begitu. Sering kena kepala ini, tapi enggak ada tanggung jawab. Ditinggal aja, kan tidak ada pakai tutup kepala. Gak ada yang datang dan minta maaf. Kalau ada kasus gitu-gitu, mau lapor lapor ke mana?” cerita Yuni dengan ekspresi wajah kecewa dan tampak marah.

Kasus lain yang pernah Risma lihat adalah peristiwa rekannya yang mangkal hingga menjelang pagi mendapat ancaman dan amarah. Padahal, menurut penuturannya, lokasi mangkal dan rumah warga tidak terlalu berdekatan. Rekannya mendapatkan lontaran kata-kata dengan ancaman “Jangan mangkal di sini mbak, tak tembak nanti kamu!” kata Risma sembari mengingat ketakutan yang dialami rekannya.

Sebagai ketua, Risma kerap dipanggil oleh pihak berwajib karena kasus yang dialami rekannya. Beberapa kasus terjadi karena pertengkaran sesama transpuan, dan antara masyarakat tertentu. Respon yang didapatkan justru mengarah pada tindakan diskriminatif, meskipun disertai oleh nasihat. Banyak kasus yang berakhir damai, sehingga Risma sendiri tidak ingin memperpanjang kasus.

“Di kantor polisi kejadiannya. Kayak 'kalian ini pendatang, tolong yang solid, memangnya kalian mau saya ciduk?'. Ada lagi kejadian dinasihati 'kalian ini lho udah laki-laki tapi dandan perempuan, udah di sini kalian sama-sama pendatang, sama-sama nyari makan. Coba kalau aku jahat udah aku ciduk kalian semua. Kalian pikir aku gak bisa nyiduk kalian? Janganlah kalian macam-macam, janganlah kalian bikin ribut-ribut, polisi aja kamu lawan',” kata Risma menirukan ucapan polisi.

Selain diskriminasi, transpuan yang bekerja di dunia prostitusi rentan menjadi korban kekerasan seksual. Pada dasarnya jenis kekerasan seksual banyak, beberapa terjadi karena adanya ketimpangan kuasa. Tidak sedikit klien merasa ketika membayar, dia telah membeli dan berhak atas diri transpuan tersebut. Kejadian serupa pernah dilihat oleh Pegiat Gender, Angel, selama mendampingi transpuan korban kekerasan seksual.

“Tahun 2021, saya dikabarkan oleh seorang rekan bahwa ada transpuan yang mengalami kekerasan seksual dan butuh bantuan pendampingan. Pekerjaannya kala itu sebagai penampil (menyanyi menari impersonate) di beberapa bar di Bali. Sebelumnya dia juga sempat bekerja sebagai pekerja seks dengan sistem open booking,” ujarnya.

“Semasa pandemi, dia kembali menjadi pekerja seks karena bar dan tempat hiburan ditutup. Pascamengalami kekerasan seksual, Wini (bukan nama sebenarnya) tidak mau melakukan visum, apalagi melaporkan kejadian itu. Menurutnya, aparat kepolisian tidak akan menanggapi dan menangani laporannya, karena dia seorang transpuan dan pekerja seks,” kenang Angel saat mengingat pengalaman advokasi yang dilakukannya.

Arti penerimaan masyarakat dan pemerintah Bali bagi transpuan

Duka Transpuan di Bali: Bertahan Walau Mendapat DiskriminasiJalanan sekitar tempat tinggal Risma dan beberapa teman transpuan di Denpasar (Dok.pribadi/Desimawaty Hutabarat)

Umumnya masyarakat Bali menerima keberadaan transpuan. Hal tersebut dapat dirasakan ketika melihat kebebasan transpuan dalam mengekspresikan dirinya. Menurut penuturan Ocha (bukan nama sebenarnya), yang merupakan masyarakat asli Bali di sekitaran kontrakan Risma, secara agama seorang transpuan sama dengan manusia lain.

“Gak selamanya transpuan itu buruk. Sedangkan kalau di Bali kan juga menganut istilah Rwa Binedha Rwa Bhineda, bahwa kehidupan tergantung pada keseimbangan antara dua unsur yang berlawanan. Jadi keadaan transpuan dan semacamnya sebenarnya tidak perlu dinilai buruk. Semuanya di dunia memang ada baik buruknya, tergantung kita menyikapinya. Misal kita mau melakukan tindakan buruk sekalipun, kita harus siap menerima konsekuensinya dan balik jadi jadi hukum karma,” jelas Ocha.

Di sisi lain, transpuan memiliki harapan ke depannya agar dapat diterima dan diperlakukan serupa dengan masyarakat. Risma tidak meminta pemerintah untuk mengasihani dirinya dan teman-temannya. Sebaliknya, mereka menginginkan hidup dengan tidak bergantung pada siapa pun.  Mereka mengharapkan penerimaan dari masyarakat dan pemerintah dengan tidak memberikan batasan dalam memperoleh kerja, pendidikan atau hal lain yang menjadi haknya.

“Pemerintah gak pernah menyentuh secara langsung, tapi harapan ke depannya pemerintah memberikan lapangan pekerjaan. Semua pabrik bisa menerima transpuan. Itu menjadi tantangan bagi kami. Gak melulu transpuan harus bekerja di salon. Kita nyebong (pekerja seks komersial) sebenarnya gak mau. Bayangin dilempari batu, bukan hinaan lagi, tapi mau gimana lagi,” ungkap Risma.

“Buat pemerintah harus lebih baik, apalagi untuk mendapatkan hak, kalau bisa hak yang sama seperti orang lain,” tambah Nabila merespon perkataan Risma.

Sebagai seorang pegiat, Angel menyadari akan adanya harapan Bali untuk dapat berbenah. Menurutnya, Bali masih menjadi rumah teraman saat ini bagi transpuan. Dengan situasi penerimaan masyarakat Bali, kolaborasi dari seluruh elemen diperlukan untuk mengikis konstruksi gender. Diperlukan juga transfer pemahaman gender pada anak muda Bali, mengingat pelaku diskriminasi adalah remaja.

“Artinya kurangnya pemahaman kelompok muda di Bali tentang wacana keberagaman gender. Sebenarnya tidak hanya kelompok muda saja, ada banyak masyarakat yang tidak paham. Tapi saya optimis bahwa teman-teman transpuan di Bali dapat berkembang dan mengupayakan kebutuhannya dengan catatan ada dukungan dari masyarakat dan pemerintah,” harap Angel.

“Masyarakat (pemerintah, aparat penegak hukum, petugas kesehatan, hingga pelajar) dan teman-teman transpuan sendiri perlu memiliki kesadaran akan perspektif gender yang beragam serta paham akan hak-haknya. Perlu juga semacam aturan tegas terhadap diskriminasi dan kriminalisasi terhadap transpuan di Bali. Terakhir tapi juga penting, antarkomunitas transpuan harus terkoneksi dan terbangun solidaritasnya, tidak terpecah belah,” katanya lagi.

Pemerintah sudah seharusnya melakukan pembenahan dan memberikan pemenuhan terhadap hak-hak yang dimiliki transpuan selayaknya masyarakat umum. Diperlukan juga kesadaran dari masyarakat Bali untuk dapat menjaga keharmonisan dalam dimensi sosial, agar transpuan secara kultural tidak merasa terasingkan maupun dirugikan akibat adanya diskriminasi disertai kekerasan.

***

Tulisan ini bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) atas dukungan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Desimawaty Hutabarat Photo Community Writer Desimawaty Hutabarat

Mahasiswa Ilmu Politik Biasa

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya