TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pemancing di Denpasar Akui Ikan di Tukad Badung Tak Seenak Dulu

Sungai-sungai sudah tercemar mikroplastik

IDN Times/Irma Yudistirani

Denpasar, IDN Times – Mikroplastik memiliki efek pada kesehatan manusia karena menyerap polutan di air seperti khlorin dan phospat. Ya, mikroplastik merupakan serpihan atau remahan plastik dengan ukuran lebih kecil dari 5 milimeter yang berasal dari pecahan plastik ukuran besar. 

Nah bagaimana jika mikroplastik tertelan pada ikan? Tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) mengungkapkan bahwa apabila mikroplastik tertelan oleh ikan, maka polutan tersebut akan merusak sistem reproduksi dan pertumbuhan ikan. Selain itu berdampak pula pada kualitas daging ikan karena dapat mengganggu hormon.

Ilustrasi sampah mikroplastik (oceanbites.org)

Berikut data parameter khlorin dan phospat dalam air di beberapa lokasi sungai di Bali:

  • Sungai Ayung: phospat 0,7 ppm dan khlorin 0,25 ppm
  • Tukad Badung: phospat 1,1 ppm, dan khlorin 0,26 ppm

Dalam penelitian tersebut terungkap bahwa angka temuan khlorin dan phospat jauh di atas baku mutu PP 22/2021, yakni khlorin 0,03 ppm, dan phospat 0,3 ppm. Sebagaimana diketahui, limbah khlorin berasal dari bahan pemutih, misalnya pembersih lantai, pembunuh kuman, dan bahan pestisida dalam pertanian. Sedangkan phospat berasal dari limbah domestik detergen atau sabun.

Baca Juga: Walhi: Dampak Alih Fungsi Lahan Mulai Dirasakan Warga Bali

1. Warga kapok memancing di sungai area Denpasar

Ilustrasi pemancing.(IDN Times/Daruwaskita)

Pemancing asal Kota Denpasar, Bayu, mengungkapkan bahwa memancing di sungai wilayah Denpasar tidak seenak dulu. Kualitas ikan yang didapat jauh berbeda. Namun ia tidak tahu apa yang menyebabkan perbedaan rasa ikan tersebut saat dikonsumsi.

“Ikan yang dimakan sekarang gak seenak ikan yang dulu kita pancing. Entah itu tercemar airnya, kita gak tahu. Ada industri apa yang buang limbah di sungai? Saya juga gak tahu,” ungkapnya, Jumat (3/2/2023).

Rasa ikan yang berbeda ini membuatnya berhenti memancing di sungai. Padahal dulu setiap malam ia pergi memancing di sungai area Denpasar.

“Paling kalau mau, mancingnya ke laut,” ungkapnya.

2. Sungai di Denpasar berbau, tidak sesegar di desa

Ilustrasi pemancing. (Pexels.com/Nur Andi Ravsanjani Gusma)

Bayu juga membandingkan tata kelola sungai di Kota Denpasar yang seharusnya bisa mencontoh Desa Senganan, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Di desa tersebut, menurut Bayu, memang ada aliran sungai yang penuh ikan sehingga wisatawan suka jalan-jalan di pinggir sungai. Ditambah lagi udara yang segar dan pepohonan yang rindang.

“Sungai-sungai di Denpasar beda, pohon-pohonan gak ada, panas di bantaran sungainya, kering kerontang kalau musim kemarau. Gak ada pohon-pohon apapun sama sekali, terus bau sungai juga gak enak. Sampahnya banyak, pokoknya gak sedaplah, harusnya di kota kan bersih,” ungkapnya.

Diakuinya memang ada jogging track yang saat ini menjadi bagian fasilitas umum di bantaran sungai di Denpasar. Akan tetapi menurutnya tidak ramah dan tidak asri bagi pengunjung sungai.

“Baunya kurang sedap. Ikannya juga gak ada,” jelasnya.

Berita Terkini Lainnya