TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Komunikasi COVID-19 Satu Pintu di Bali Banyak Kurangnya, Imbauan Terus

Ini bukan pendapat mimin ya, tapi dosen Fisip Unud

Ilustrasi petugas pemakaman jenazah pasien Covid-19 di pemakaman terpadu Nenang, PPU (IDN Times/Ervan)

Denpasar, IDN Times – Sistem komunikasi satu pintu diakui memang sangat penting di masa pandemik wabah, krisis, bencana, dan kritis. Tujuannya agar informasi yang disampaikan tidak simpang siur, dan tidak menimbulkan kebingungan di masyarakat. Namun, yang terjadi ketika wabah COVID-19, masyarakat justru memiliki persepsinya sendiri atas apa yang sedang dilakukan dan tidak dilakukan oleh pemerintah.

Hal ini ditegaskan oleh Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana, Dr Ni Made Ras Amanda Gelgel, saat dimintai pendapatnya oleh IDN Times pada Senin (5/10/2020). Kondisi itu terjadi karena tidak adanya faktor media atau saluran dalam proses komunikasi yang berjalan saat ini.

“Sistem komunikasi itu kan teorinya ada sumber, ada medianya, salurannya apa, ada pesannya, dan ada khalayaknya. Kalau yang kita lihat ini, sistem komunikasinya saja salurannya yang nggak ada. Jadi bagaimana, misalnya pemerintah mengomunikasikan pesan. Pesannya pun akhirnya tidak sampai. Jadi ini pesan tidak sampai, saluran tidak ada,” paparnya melalui sambungan telepon.

Kondisi ini juga dirasakan di Provinsi Bali. Yakni ada gap atau jarak terkait informasi COVID-19. Sehingga akhirnya masyarakat mendapatkan informasi dari sumber lain. Khawatirnya adalah jika sumber lain yang dipakai oleh masyarakat itu berasal dari media sosial (Medsos) yang tidak memverifikasi informasinya. Maka, pesan yang tersampaikan akan menjadi beragam.

Baca Juga: Pakar Virologi Unud Prediksi Desember Kasus COVID-19 di Bali Meningkat

Baca Juga: Kisah Mantan Pasien COVID-19 di Bali, Sempat Stres dan Susah Makan

1. Satgas COVID-19 tidak boleh vulgar menyampaikan informasi

PKM di Desa Dangri Kelod, Kecamatan Denpasar Timur fokus kepada pengawasan penduduk pendatang (Dok.IDN Times/Humas Pemkot Denpasar)

Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (Kalaksa BPBD) Provinsi Bali, I Made Rentin sekaligus Sekretaris Satuan Tugas Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Daerah Bali, menyampaikan bahwa ada mekanisme yang tidak boleh dilanggar. Yaitu pola pengelolaan informasi satu pintu melalui ketua harian.

“Ketika ada dalam konteks tertentu, ada pendelegasian ke saya. Ini teman-teman media untuk mohon dipahami. Tidak ujug-ujug, serta-merta seorang sekretaris Satgas boleh secara vulgar memberikan statement kaitannya dengan penanganan sebelum mendapatkan, pertama, pendelegasian. Yang kedua, penugasan untuk berbicara tentang sebuah materi berkaitan dengan penanganan,” ungkapnya dalam virtual meeting dengan topik Prakiraan Musim Hujan Provinsi Bali Tahun 2020/2021, Senin (5/10/2020).

Baca Juga: Perjalanan Kasus dan Isi Surat Jerinx, Minum Satu Gelas Ramai-ramai

2. Pihak media yang ingin mengundang satgas untuk berbicara atau berdiskusi termasuk tanya jawab, minimal harus ada permakluman kepada pimpinan, dalam hal ini Sekretaris Daerah dan utamanya Gubernur Bali

IDN Times/Wira Sanjiwani

Rentin mengakui, kalau ada beberapa pihak media yang mengundangnya untuk berbicara atau berdiskusi termasuk tanya jawab, minimal ada permakluman kepada pimpinan, dalam hal ini Sekretaris Daerah dan utamanya Gubernur Bali.

“Ada permakluman kepada pimpinan, lebih-lebih dari Pak Gubernur. Belum lagi yang berkaitan dengan yang urgent. Nah, kalau konteksnya sudah terpublish, ada rilis resmi. Sekda selaku ketua harian menugaskan atau memerintahkan kalaksa (Kepala pelaksana) menyiapkan 10 hotel karantina, ya itu sudah otomatis. Rilis resmi sudah ada. Saya, pada kesempatan berikutnya, kalau sudah berbicara hotel karantina dengan teman-teman (Media), kalaksa kami sudah ready,” katanya.

Ia menyebutkan setidaknya ada 13 hotel di Bali yang dijadikan sebagai tempat karantina bagi Orang Tanpa Gejala dan Gejala Ringan (OTG GR), serta mengakomodir tenaga kesehatan (Nakes) dokter.

“Harapannya, mereka selesai tugas, yang nakes tidak langsung pulang bergabung dengan keluarganya. Tetapi sementara waktu mengarantina diri di hotel karantina. Demikian,” ungkap Rentin.

Baca Juga: Bikin Baper, Kumpulan Kartu Cinta Gubernur Bali untuk Sang Istri

3. Masyarakat justru diminta untuk membaca sendiri, dan menginterpretasikan sendiri data tersebut

Suasana lab PCR Tabanan (Dok.IDN Times/Istimewa)

Amanda mencontohkan, komunikasi satu pintu selama pandemik ini dipenuhi oleh noise (Gangguan). Awalnya informasi kasus COVID-19 di Provinsi Bali disiarkan secara live setiap sore hari. Kemudian model komunikasi seperti itu dihentikan. Pemerintah tiba-tiba hanya menggunakan rilis dan tabel.

“Bagaimana mengartikan dari tabel tersebut, dari angka-angka tersebut. Kan kita tidak pernah diberitahukan. Jadi informasi yang sampai, walaupun satu pintu, tetapi informasi yang sampai tidak penuh. Adanya feedback-feedback (Umpan balik) itu juga nggak sampai. Jadi komunikasi yang baik itu dua arah ya,” ungkap Amanda.

“Dalam kondisi pandemik ini nggak apa-apa memang harus satu pintu. Tapi harus konsisten, akurat, dan tetap membuka saluran-saluran untuk mempertanyakan lebih jauh gitu. Nah, ini kan enggak.”

Ia menilai, kekurangan dari komunikasi satu pintu selama pandemik di Bali adalah informasi yang menyodorkan angka-angka (Angka kasus COVID-19) tidak sampai kepada masyarakat. Jadi, awareness (Kesadaran) masyarakat juga tidak ada karena informasi yang disajikan tidak lengkap. Masyarakat justru diminta untuk membaca sendiri, dan menginterpretasikan sendiri data tersebut.

“Kayaknya masyarakat juga capek baca rilisnya itu. Rilisnya itu nggak pernah di-update gitu lho. Imbauannya jadi itu-itu saja. Kayaknya masyarakat juga melihat apakah ini hanya formalitas doang. Tetap mengimbau bla bla bla. Gitu saja. Nggak pernah berubah dari awal. Nggak ada yang baru. Jadikan sebuah berita dan informasi itu kan seharusnya mengandung kebaruan. Nah, ini tidak mengandung kebaruan.”

Berita Terkini Lainnya