Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

5 Fakta Gangguan Psikis Pascapandemik yang Masih Menghantui

Psikolog Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wangaya Denpasar, Nena Mawar Sari. (Dok.Pribadi/Guna Sattwam)

Pascapandemik menuju endemi COVID-19 tidak serta merta membuat ekonomi masyarakat membaik. Masih banyak yang harus menghadapi sisa-sisa dampak pandemik. Kondisi itu terakumulasi dengan permasalahan perubahan kehidupan yang mesti dijalani.

Misalnya pengasuhan anak yang semula belajar di sekolah menjadi di rumah, dan banyaknya waktu luang di masa pandemik yang membuat overthinking.

Hal ini menyebabkan tekanan psikis hingga gangguan kejiwaan pada seseorang. Apa saja pemicunya? Simak pemicu dan faktanya.

1. Angka depresi tidak menurun, kecuali kecemasan

Ilustrasi depresi (Pexels.com/Tim Gouw)

Psikolog Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wangaya Denpasar, Nena Mawar Sari, menyebutkan angka depresi hingga gangguan kejiwaan belum menunjukkan penurunan. Pemicunya bukan hanya karena pandemik, tetapi juga depresi akibat masalah rumah tangga, stres karena pengasuhan anak, dan permasalahan lain akibat ekonomi.

"Jadi merambat pada gangguan mood," ungkap Nena.

Namun gangguan psikis kecemasan yang berkaitan dengan pandemik seperti pemakaian masker, sering mencuci tangan, hingga takut jika ada kerabatnya meninggal dunia sudah menurun.

2. Masyarakat menghadapi akumulasi permasalahan selama bertahun-tahun sebelumnya

Ilustrasi (ANTARA FOTO/Abriawan Abhe)

Nena mengungkapkan, gangguan kesehatan yang mulai muncul selama dua tahun terakhir ini justru berkaitan dengan masalah rumah tangga, depresi, gangguan mood, dan masalah gangguan mental.

Gangguan kesehatan tersebut timbul dari akumulasi permasalahan selama bertahun-tahun sebelumnya. Ditambah masalah ekonomi akibat dampak pandemik, menjadi pemicu besar terjadinya depresi hingga gangguan kejiwaan.

3. Banyak waktu luang menyebabkan seseorang mudah overthinking

ilustrasi overthinking (pexels.com/ekaterina-bolovtsova)

"Ya, karena di masa pandemik banyak waktu luang. Sehingga masyarakat punya banyak waktu untuk overthinking. Kemudian ditambah finansial yang bermasalah, hingga pengasuhan anak juga menjadi sumber depresinya," ungkap Nena.

Banyaknya waktu luang juga menyebabkan pasangan sering bertemu di rumah. Sehingga konflik di dalam rumah tangga kerap terjadi.

"Konflik yang terjadi di rumah akan saling bergesekan, yang sebelum pandemik salah satunya bisa keluar untuk bekerja, sehingga gesekan yang terjadi bisa diminimalisir. Dengan lebih banyak bertemu di rumah, semakin menambah gesekan," bebernya.

4. Sulit beradaptasi terhadap perubahan

Foto hanya ilustrasi. (Pexels.com/olly)

Sulit beradaptasi terhadap perubahan membuat seseorang mudah depresi. Apalagi selama dan pascapandemik banyak perubahan yang terjadi. Dari sejak dua tahun lalu sampai sekarang Selain kondisi psikis, juga ada perubahan jenis pekerjaan, tren virus, hingga kebijakan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) selama dua tahun terakhir.

Untuk itu, Nena berharap masyarakat cepat beradaptasi terhadap perubahan untuk menghindari kecemasan berlebihan. Orang yang mudah beradaptasi dengan perubahan tersebut adalah orang yang sehat mental. Karena perubahan bisa saja terjadi setiap hari.

"Dari belajar dan bekerja secara luring, berubah menjadi belajar dan bekerja secara daring, menurunkan ekspektasi belanja yang banyak, menjaga kesehatan, hingga penurunan pendapatan," ujarnya.

Kondisi yang cepat berubah tersebut perlu disikapi dengan kemampuan beradaptasi yang fleksibel. Memang setiap orang memiliki kemampuan beradaptasi yang berbeda-beda. Namun yang memengaruhi perubahan itu adalah mindset seseorang.

Jika adaptasi dianggap sebagai sesuatu yang berat, maka orang tersebut bisa menjadi denial, dan sulit beradaptasi. Kemampuan beradaptasi juga bergantung dari pengalaman hidup, pola asuh, karakteristik, dan cara pandang seseorang terhadap perubahan.

5. Faktor pendidikan tak berpengaruh secara signifikan

Psikolog Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wangaya Denpasar, Nena Mawar Sari. (Dok.Pribadi/Guna Sattwam)

Menurut Nena, pendidikan justru berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan beradaptasi seseorang.

"Yang paling berpengaruh besar adalah pola asuh di rumah dan karakteristik norma-norma yang dia anut," jelasnya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Balidailynews
EditorBalidailynews
Follow Us