Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

5 Kesetaraan Jarang Didapatkan Pria dalam Hubungan Cinta

ilustrasi pasangan suami istri (pexels.com/Katerina Holmes
ilustrasi pasangan suami istri (pexels.com/Katerina Holmes

Diksi emansipasi seolah menempatkan perempuan di posisi yang tak seimbang dengan laki-laki (pria). Tak jarang, kata emansipasi perempuan dilontarkan supaya bisa mendapatkan kesetaraan hak dan kewajiban dalam berbagai dimensi kehidupan. Sayangnya, tak jarang justru pria yang tak mendapatkan kesetaraan itu, lho. Khususnya, dalam hal ini urusan hubungan cinta.

Dengan emansipasi yang tepat, hubungan asmara yang terjalin itu harus ideal. Tak harus pria yang selalu memulai, memimpin, memberi, melindungi, semua tergantung pada situasi dan kondisinya. Sayangnya, hal tersebut terasa jarang bahkan sering diabadikan. Berikut sederet ulasan emansipasi yang seharusnya didapatkan pria dalam hubungan cinta, berdasarkan pengalaman pribadi penulis.

1. Tidak harus pria yang selalu mengungkapkan rasa cinta terlebih dahulu

ilustrasi pasangan (pixabay.com/Pexels)
ilustrasi pasangan (pixabay.com/Pexels)

Pernahkah kamu mendengar statement bahwa perempuan memiliki rasa gengsi yang begitu besar untuk mengungkapkan perasaannya? Tak jarang hal ini membuatnya malu-malu untuk bilang cinta ke pasangannya. Terlebih, adanya konstruksi sosial yang terlanjur mendikte bahwa seorang pria yang seharusnya mengungkapkan hingga menyatakan perasaan cinta dan kasih sayang ke perempuannya.

Mungkin di awal hubungan, pun sesekali rasanya tak apa, tapi tidak untuk selalu menjadi yang mengungkapkan, tanpa pernah menerima ungkapan. Jangan jadikan cap di masyarakat bahwa pria harus selalu mengungkapkan cinta duluan menjadi alasan untuk langsung menerima mentah-mentah hal itu.

Pahami situasi dan kondisinya, bisa jadi priamu itu di saat tertentu justru lebih butuh ungkapan cinta dari perempuannya. Ungkapan perasaan sayang itu bisa menjadi motivasinya, merasa diakui, hingga menjadi zona nyamannya karena memiliki pasangan yang mencintai dan menyayanginya.

2. Pria boleh mengeluhkan masalah hidup ke perempuan

ilustrasi pasangan (pixabay.com/Couplehealthcare)
ilustrasi pasangan (pixabay.com/Couplehealthcare)

Lagi-lagi atas dasar terlanjur nilai di masyarakat yang melabeli bahwa pria ialah sosok pelindung bagi perempuan. Mana mungkin seorang hero mengeluhkan masalahnya? Yang ada harus menjaga hati perempuannya, terlebih siap sedia melindungi saat perempuannya yang tertimpa masalah. 

Padahal, bisa jadi masalah yang dihadapi pria itu jauh lebih besar porsinya. Sayangnya, karena telanjur dicap bahwa pria sejati tak boleh banyak mengeluh, harus selalu bekerja keras, akhirnya masalah yang ada hanya dipendam sendiri.

Pada akhirnya, segala kerugian yang timbul akan ditanggung sendiri. Pun saat harus hancur, maka akan dirasakan sendiri sebagai wujud tanggung jawab akan menjadi pria sejati yang tangguh untuk perempuannnya. Dalih tak ingin membebani pasangan, justru malah merugikan diri sendiri.

3. Pria boleh menangis di pundak perempuan

ilustrasi pasangan (pixabay.com/panajiotis)
ilustrasi pasangan (pixabay.com/panajiotis)

Pria sejati selalu dicap tak boleh cengeng. Alhasil, menangis bagi seorang pria bak sebuah aib hingga simbol kelemahan. Oleh karena kontruksi nilai yang tak bisa menerima pria menangis, akhirnya membuat segelintir pria menahan emosional akan air matanya.

Padahal di zaman yang sudah sekompleks sekarang ini, menangis tentu bukan urusan jenis kelamin lagi. Terlebih menangis bukan simbol lemah, kalah, menyerah. Tetapi juga bisa menjadi titik balik untuk menumpahkan emosional untuk siap bertempur kembali di tengah kerasnya dunia.

Jadi, sebagai perempuan yang tangguh di era sekarang, seharusnya juga tak masalah untuk memberikan pundaknya bagi sang pria. Tak melulu perempuan yang bisa menangis di pundak pria, tetapi juga bisa pria yang menumpahkan air mata sembari disemangati oleh perempuannya.

4. Perempuan boleh memanjakan pria

ilustrasi pasangan (pexels.com/Katerina Holmes)
ilustrasi pasangan (pexels.com/Katerina Holmes)

Membahas perempuan dalam sebuah hubungan cinta, rasanya masih erat kaitannya dengan ingin selalu dimanja-manja oleh prianya. Tak jarang, banyak perempuan yang menjadikan pria lembut nan penuh kasih sayang sebagai kriteria idamannya.

Pertanyaannya, bukanlah hubungan yang ideal itu terjalin atas kedua belah pihak yang setara? Jika kamu ingin disayangi dengan begitu hebatnya oleh sang pria. Maka, sebagai perempuan juga harus bisa menyayangi prianya dengan tak kalah hebatnya.

5. Pria boleh untuk tidak selalu menjadi pemimpin

ilustrasi pasangan (pexels.com/Katerina Holmes)
ilustrasi pasangan (pexels.com/Katerina Holmes)

Puncaknya, ada label bahwa seperti pria yang tangguh harus menjadi pemimpin bagi perempuannya. Hal tersebut tak sepenuhnya salah, tetapi juga tak bisa dibenarkan begitu saja.

Sejalan dengan perkembangan zaman di era sekarang, tentu penentu pemimpin bukan lagi tentang jenis kelamin. Melainkan lebih pada kemampuan, siapa yang mampu ya dia yang jadi pemimpin. Baik, pria maupun perempuan boleh dan berhak memimpin.

Menjadi sosok bapak rumah tangga bukanlah hal yang menyedihkan, tetap punya peran yang luar biasa. Bekerja di bawah arahan wanita juga bukanlah simbol lemah, tetapi juga luar bisa bisa bekerja sama mencapai satu tujuan yang sama.

Pada akhirnya, emansipasi perlu diterapkan supaya kesetaraan dalam hubungan cinta itu bisa didapatkan oleh kedua belah pihak, baik pria maupun perempuan. Ajak pasanganmu untuk membahas emansipasi dalam mencapai hubungan asmara yang ideal, sesuai situasi dan kondisi perkembangan saat ini. Semoga kamu dan pasangan bisa selalu langgeng dan harmonis, ya!

Share
Topics
Editorial Team
Melinda Fujiana
EditorMelinda Fujiana
Follow Us