TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Sejarah Kabupaten Buleleng, Tempat Perdagangan Candu dan Budak di Bali

Raffles pernah tergoda melihat keramaian di Buleleng

Rombongan pejabat kolonial Belanda di sebuah pura di Sangsit, Buleleng, tahun 1928. (KITLV via instagram.com/Sejarah.Buleleng)

Kabupaten yang selama ini dikenal memiliki area paling luas di Bali adalah Buleleng. Berada di bagian utara Bali, Buleleng memiliki sejarah yang sangat panjang. Sebelum akhirnya Kota Denpasar menjadi Ibu Kota Provinsi Bali, sesungguhnya awal mula letak Ibu Kota berada di Buleleng.

Sebagaimana perjalanan pendirian kabupaten lainnya, sejarah Buleleng sarat dengan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Terlebih Buleleng termasuk satu di antara beberapa pintu masuk bagi orang asing ke Bali. Bahkan kabupaten ini disebut dulu pernah berjaya karena memonopoli perdagangan candu dan budak.

Biar kamu semakin paham, simak dulu yuk di bawah ini sejarah Kabupaten Buleleng di bawah ini:

Baca Juga: Sejarah Kabupaten Gianyar, Jepang Pernah Terapkan Sistem Kerja Paksa

Baca Juga: Sejarah Kabupaten Badung, Pernah Menjadi Pusat Perdagangan Budak

1. Dulu wilayah Buleleng dikenal dengan sebutan Den Bukit, area yang misterius

Pemandangan sebuah rumah di Buleleng tahun 1865. (KITLV/ instagram.com/Sejarah.Buleleng)

Dalam buku berjudul Citra Kabupaten Buleleng dalam Arsip, yang diterbitkan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia tahun 2013, diceritakan bahwa dulunya wilayah Buleleng dikenal dengan sebutan Den Bukit. Ketika pengaruh Majapahit di Bali Selatan terus berkembang, daerah Den Bukit ini dipandang sebagai ”daerah nun di sana di balik bukit”.

Den Bukit dianggap sebagai sebuah daerah yang misterius, terra incognito alias "tanah yang tak dikenal". Selain itu, para pendatang terus bermunculan, mereka silih berganti datang dan pergi. Termasuk di antara mereka adalah para bajak laut. Tapi bagi mereka yang ingin tinggal secara menetap, memilih area yang jauh dari daerah pesisir. Mereka pun pergi ke wilayah tengah. Wilayah di selatan bukit kemudian disebut Bali Tengah atau Bali Selatan.

Ki Gusti Panji Sakti berkuasa di Den Bukit mulai tahun 1660 hingga 1697. Buleleng merupakan nama sebuah puri yang dibangun oleh Panji Sakti di tengah tegalan jagung gembal yang disebut dengan Buleleng. Puri tersebut kemudian bernama Puri Buleleng.

Setelah Panji Sakti wafat, terjadi kegoncangan di Kerajaan Buleleng. Hingga akhirnya dikalahkan oleh raja asal Karangasem, yaitu I Gusti Gde Karang, yang bertakhta sebagai Raja Buleleng tahun 1806-1818.

Pada masa kepemimpinan I Gusti Gde Karang, terjadi bencana alam di Buleleng. Pada 24 November 1815, sejumlah desa tertimbun lumpur. Desa beserta penduduknya hanyut ke arah laut. Akhirnya I Gusti Gde Karang membangun istana baru bernama Puri Singaraja. Lokasinya berada di sebelah barat jalan, berseberangan dengan Puri Buleleng yang dibangun Ki Gusti Pandji Sakti.

I Gusti Gde Karang pernah diajak kerja sama dengan seorang warga negara Inggris bernama Stamford Raffles, untuk membangun kota pelabuhan. Dituturkan dalam buku tersebut, bahwa Raffles tergoda dengan keramaian di Pelabuhan Buleleng yang dinilai lokasinya sangat strategis di antara kepulauan Nusantara. Raffles datang ke Buleleng pada tahun 1811.

Di bawah kekuasaan I Gusti Gde Karang, kala itu Buleleng mengalami masa kejayaan karena berhasil memonopoli candu dan penjualan budak. Menerima tawaran dari Raffles, Gde Karang pun tertarik. Namun ternyata kerja sama tersebut tidak bisa dilanjutkan karena Raffles ternyata sangat menentang adanya penjualan budak yang tak henti-hentinya dilakukan oleh sang raja.

Baca Juga: Asal Usul Nama Denpasar, Pertama Kali Disebut oleh Orang Belanda

2. Raja Buleleng menolak ratifikasi Hukum Tawan Karang sehingga terjadi perang dengan Belanda

Pelabuhan Buleleng, tahun 1939. (KITLV via instagram.com/Sejarah.Buleleng)

Pada tahun 1849, benteng pertahanan Buleleng di Jagaraga dihancurkan oleh pasukan kolonial Belanda. Pada saat itu pula kekuasaan Kerajaan Karangasem di Buleleng berakhir. Utusan Belanda, komisaris Huskus Koopman, kemudian berulangkali menemui raja-raja di  Bali untuk mendapatkan pengakuan raja atas kekuasaan Belanda.

Akhirnya Huskus Koopman berhasil membuat Perjanjian dan kontrak dengan raja-raja di Bali, di antaranya Raja Badung (28 November 1842), Raja Karangasem (1 Mei 1843), Raja Buleleng (8 Mei 1843), Raja Klungkung (24 Mei 1843) dan Raja Tabanan (22 Juni f843). Perjanjian tersebut juga terkait dengan Hukum Tawan Karang, yakni sebuah kebiasaan apabila ada kapal yang terdampar di pantai, isi kapal tersebut menjadi barang rampasan penduduk setempat. Belanda meminta hukum itu dihapus.

Perjanjian itu pula yang kemudian menjadi cikal bakal terjadinya Perang Buleleng. Raja Buleleng dan Raja Jembrana ternyata belum meratifikasi Hukum Tawan Karang. Namun pada tahun 1844, ada dua kapal milik Belanda yang terdampar di Pantai Sangsit, Buleleng dan Jembrana (saat itu wilayah Buleleng) dan rakyat melakukan perampasan. Karena Raja Buleleng tetap menolak melakukan ratifikasi, akhirnya terjadi perang dengan Belanda. 

Mulai tahun 1929, otoritas Belanda mengizinkan keturunan yang ditunjuk dari raja terdahulu di setiap kerajaan guna menyandang gelar kebesaran lama, di antaranya Anak Agung, Cokorda, dan Dewa Agung.

Berita Terkini Lainnya