TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

35 Lontar di Denpasar Berhasil di Digitalisasi, Bisa Dibaca Online

Lontar masih dianggap sebagai hal yang sakral

Dok.IDN Times/Istimewa

Denpasar, IDN Times - Lontar merupakan daun dari pohon siwalan yang digunakan sebagai bahan naskah. Jika di Bali, lontar-lontar ini menyimpan naskah tentang peradaban, pengobatan tradisional, sejarah dan lainnya. Bahkan keberadaan lontar dijadikan sebagai warisan budaya Bali.

Karena terbuat dari daun yang dikeringkan, maka lontar rentan sekali rusak, dan selalu dianggap sebagai sesuatu yang tenget (Sakral). Karena itulah Dinas Kebudayaan Kota Denpasar menggandeng Digital Repository Of Endengered and Affected Manuscripts in Southeast Asia (DREAMSEA) untuk melestarikan karya sastra lontar Bali menggunakan sistem digitalisasi.

Seperti apa ya ya?

Baca Juga: 6 Resep Masker Tradisional Bali Menurut Lontar Indrani Sastra

1. Lontar selalu dianggap sakral dan rentan rusak. Perlu digitalisasi

tripzilla.id

Kepala Dinas Kebudayaan Kota Denpasar, I Gusti Ngurah Bagus Mataram, menjelaskan lontar merupakan bagian dari warisan budaya Bali di bidang sastra yang sangat penting untuk dilestarikan. Sebab lontar menyimpan nilai penting tentang peradaban, tata cara pengobatan tradisional, sejarah, dan lainnya.

"Lontar merupakan kebudayaan Bali di bidang sastra, karena dalam lontar banyak terdapat nilai serta ilmu-ilmu yang menceritakan kehidapan masyarakat Bali terdahulu," ujarnya, dikutip dari Antara hari Minggu (17/2).

Sebagian lontar, kata Mataram, terbuat dari daun lontar sehingga rentan mengalami kerusakan. Makanya untuk menghindari itu, ia ingin menggunakan sistem digitalisasi.

"Masih banyak masyarakat yang menganggap lontar itu tenget (Sakral) dan rentan rusak. Maka dengan digitalisasi, isi lontar bisa disimpan dan dapat dibaca tanpa membuka lontar aslinya," ujarnya.

2. Syarat cagar budaya adalah berusia di atas 50 tahun, maka ada kemungkinan lontar di Kota Denpasar masuk sebagai cagar budaya

IDN Times/Diantari Putri

Tim Cagar Budaya Kota Denpasar, Yudhu Wasudewa, berharap langkah ini sebagai percontohan dalam pelestarian lontar dengan sistem digitalisasi. Upaya seperti ini terbilang langka, mengingat cakupan kewilayahan digital manuskrip DREAMSEA adalah Asia Tenggara.

"Usaha awal kerja sama yang kiranya dapat terus berlanjut, pelestarian ini selain dilakukan upaya konservasi, juga dilakukan digital yang nantinya dapat diakses melalui online," katanya.

Ia melanjutkan, syarat sebuah cagar budaya adalah memiliki usia lebih dari 50 tahun. Jadi ada kemungkinan cakupan lontar di Kota Denpasar bisa digolongkan sebagai cagar budaya yang perlu dilestarikan.

Baca Juga: Stigma Masyarakat Bali, Lontar Masih Dianggap Sebagai Benda Sakral

Berita Terkini Lainnya