TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Melihat Prosesi Ruwatan Sapuh Leger di Griya Reka Eka Sari

Gratis untuk difabel dan kurang mampu

Wayang Sapuh Leger. (dok. pribadi/Ari Budiadnyana)

Hari Tumpek Wayang jatuh pada Sabtu, Saniscara Kliwon, Wuku Wayang. Hari ini biasanya dikaitkan dengan pelaksanaan ruwatan yang disebut dengan Sapuh Leger.

Ruwatan ini sendiri tidak lepas dari cerita Bhatara Kala yang akan memakan adiknya Sang Hyang Kumara. Sehingga setiap umat Hindu yang lahir di Wuku Wayang, wajib melaksanakan ruwatan Sapuh Leger.

Terkait hal ini, Griya Reka Eka Sari Bhuwana di Banjar Kaja, Kelurahan Panjer, Kota Denpasar melaksanakan prosesi ruwatan Sapuh Leger, pada Sabtu (29/4/2023). Ruwatan ini diikuti oleh sekitar 135 peserta. Seperti apa pelaksanaannya?

Baca Juga: Mengenal Ngaben Tikus di Tabanan dan 4 Tradisi Unik Lainnya

Baca Juga: Apakah Mengirim Ilmu Hitam Semudah di Film Teluh Darah?

1. Ruwatan Bebayuhan Penebusan Sudhamala Sapuh Leger

Prosesi melukat. (dok. pribadi/Ari Budiadnyana)

Menurut Jro Mangku Agus selaku kordinator pelaksana upacara ini, ruwatan kali ini mengambil nama Bebayuhan Penebusan Sudhamala Sapuh Leger. Kategori upacara atau yadnya kali ini adalah Manusia Yadnya (upacara untuk manusia) atau biasa disebut dengan nama Manusia Yadnya Agung.

Tujuan dari yadnya ini adalah untuk membersihkan diri dan menyeimbangkan hal-hal atau kekuatan-kekuatan yang ada pada diri peserta ruwatan. Sehingga nantinya mereka akan menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya.

2. Ruwatan ini tidak hanya untuk umat yang lahir di Hari Tumpek Wayang

Salah satu umat yang ikut meruwat karena salah weton atau otonan atau hari lahir. (dok. pribadi/Ari Budiadnyana)

Bebayuhan Penebusan Sudhamala Sapuh Leger kali ini tidak hanya diikuti oleh umat yang lahir pada Wuku Wayang saja, tetapi yang memiliki kelahiran tertentu. Berikut beberapa kelahiran yang bisa mengikuti ruwatan ini:

  • Anak ontang-anting atau laki-laki tunggal
  • Anak ontang-anting kebanting tunggak aren atau perempuan tunggal
  • Tiba sampir atau anak lahir berkalungkan tali pusar
  • Tiba angker atau anak lahir berbelit tali pusar
  • Jempina atau anak lahir prematur
  • Anak kembar dengan jenis kelamin sama atau juga buncing atau jenis kelamin berbeda
  • Pancoran apit telaga atau tiga bersaudara perempuan, laki, perempuan, dan beberapa kelahiran lainnya.

"Intinya, tidak ada kelahiran yang sempurna dan juga tidak ada kelahiran yang membawa sial," ujar Jro Mangku Agus.

3. Membantu difabel dan kurang mampu

Salah satu umat difabel saat mengikuti proses ruwatan. (dok. pribadi/Ari Budiadnyana)

Dalam setiap pelaksanaan upacara atau yadnya selalu memerlukan biaya. Namun pihak Griya Reka Eka Sari sebagai pelaksana tidak mematok biaya untuk masing-masing peserta. Setiap peserta bisa memberikan dana punia (sumbangan sukarela) sesuai kemampuan. Sedangkan umat yang tidak mampu tidak dikenakan biaya sama sekali.

"Bahkan untuk sarana pejati pun akan kita sediakan bagi umat yang kurang mampu. Bisa dikatakan, subsidi silang bagi yang mampu membantu yang tidak mampu. Pemikiran inilah yang coba kami tanamkan di setiap prosesi upacara untuk meringankan umat yang kurang mampu," terang pria yang juga bergerak dalam usaha IT ini.

Selain kurang mampu, upacara ruwatan ini juga menyertakan difabel, dan tidak dikenakan biaya sama sekali. Ada sekitar 20 hingga 25 peserta difabel dalam upacara ruwatan ini.

"Kami ingin memberikan kesempatan yang sama kepada umat yang difabel. Karena, tidak jarang mereka sering kali tidak mendapatkan perhatian untuk melaksanakan upacara seperti ini," jelas Jro Mangku Agus.

4. Prosesi ruwatan

Ida Sulinggih saat menghaturkan sarana upacara. (dok. pribadi/Ari Budiadnyana)

Masing-masing peserta diwajibkan membawa satu buah pejati dan tirta kawitan atau kemulan (leluhur). Peserta melakukan persembahyangan terlebih dahulu di rumah masing-masing agar mendapatkan kelancaran.

Bebayuhan Penebusan Sudhamala Sapuh Leger ini dipuput oleh Sulinggih Ida Pandita Mpu Upadyaya Nanda Tanaya dari Griya Reka Eka Sari Bhuwana, Kelurahan Panjer. Sedangkan dalang Wayang Sapuh Leger adalah Jro Dalang Gede Karang Wiratmaja dari Banjar Penatahan, Desa Susut, Kabupaten Bangli.

Acara ruwatan dimulai dari Jro Dalang yang memainkan Wayang Sapuh Leger. Lakon yang diambil adalah cerita Bhatara Kala yang memakan Sang Hyang Kumara. Jro Dalang tidak sekadar mementaskan lakonnya saja. Ia menyisipkan nasihat atau petuah kepada para peserta ruwatan.

Para peserta ruwatan akan melakukan dua kali proses melukat. Pertama menggunakan tirta (air suci) dari Jro Dalang Sapuh Leger. Setelah itu, dilanjutkan melukat menggunakan tirta dari Ida Sulinggih.

Peserta dibagi secara berkelompok berdasarkan hari kelahiran. Terdiri dari kelompok hari lahir Wuku Wayang, Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, dan Sabtu. Masing-masing kelompok ini akan menerima tirta yang berbeda-beda sesuai hari kelahirannya.

Upacara terakhir adalah natab sarana upacara, melakukan persembahyangan bersama sebagai wujud doa dan ucapan terima kasih kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas pelaksanaan ruwatan ini.

Verified Writer

Ari Budiadnyana

Menulis dengan senang hati

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Berita Terkini Lainnya