Petani TWA Gunung Batur Menolak Proyek Taman Rekreasi PT TPB
Warga tetap bersiaga meski ekskavator telah keluar area
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
“Mek Yu gak punya lahan yang lain, pokoknya hidup mati di sini karena sudah dari dulu. Nto be jeg sulitlah kalau pindah dari sini (Intinya sulitlah kalau pindah dari sini). Be jeg len lah, sing care jani penghidupane (Sudah pasti akan berbeda, gak seperti sekarang penghidupannya). Be je PT ne masuk, be jeg ruet pikirane (Kalau PT sudah masuk, sudah ruwet pikirannya). Pokok ne yen resort ne masuk mai, jeg (Pokoknya kalau resort-nya masuk ke sini) kerjanya pasti sulitlah,” kata Mek Yu, pada Sabtu, 30 September 2023 saat ditemui di kediamannya.
Mek Yu termasuk satu di antara petani di kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Hutan Gunung Batur Bukit Payang, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, yang terancam digusur oleh PT Tanaya Pesona Batur (PT TPB). Bagi Mek Yu, tanah adalah penghidupan. Investor yang merebut tanahnya, secara tidak langsung akan merebut hidupnya. Sebagai petani bawang, Mek Yu menggantungkan sumber penghidupannya kepada tanah, ia menggarap lahan untuk bertahan hidup.
Namun, Mek Yu dan sang suami terancam direlokasi dari lahannya karena proyek pembangunan taman rekreasi oleh PT TPB. Perusahaan tersebut akan menyulap lahan pertanian di kawasan hutan Gunung Batur menjadi objek rekreasi wisata.
Tak hanya Mek Yu, para petani lainnya yang terancam digusur, juga turut bersolidaritas untuk mempertahankan lahan. Penolakan ini disambut represitas oleh pihak PT TPB maupun pihak aparat. Tanpa mempertimbangkan suara penolakan petani, alat berat ekskavator milik perusahaan telah merangsek masuk ke pemukiman dan lahan warga untuk pemerataan lahan. Berikut kisah perjuangan petani di kawasan TWA Gunung Batur mempertahankan tanahnya.
Baca Juga: Menguak Konflik Pembangunan Jurrasic Park di Pulau Rinca NTT
Baca Juga: Indonesia Masih Gunakan Pendekatan Militeristik di Papua
1. Kronologi konflik petani TWA Gunung Batur vs PT TPB
Saat terjadi letusan Gunung Batur tahun 1926, keluarga Guru Wayan Banyak bersama keluarga lainnya yang sudah turun-temurun menduduki kawasan hutan tersebut, direlokasi ke Desa Bayunggede, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Pascaletusan ketika situasi dinilai aman, warga yang direlokasi kembali ke tempat asal dan memasuki kawasan Pura Prapen Pingit. Selain menangkap ikan di Danau Batur, mereka juga mulai menggarap lahan dengan menanam bawang, kol, dan ketela rambat pada saat musim hujan.
Lahan hutan Gunung Batur yang pada awal mulanya dikelola secara komunal oleh warga lokal, mulai dimonopoli dan diprivatisasi oleh kolonial Belanda di tahun 1927. Saat itu, Gubernur Jenderal Hindia Belanda menetapkan Komplek Hutan Gunung Batur Bukit Payang sebagai Kawasan Konservasi berdasarkan Staatsblad Nomor 28 Sub A.a.4 tanggal 29 Mei 1927. Kemudian setelah Indonesia merdeka, di era kepemimpinan Soeharto, Gunung Batur Bukit Payang difungsikan sebagai Hutan Wisata berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 821/Kpts/Um/11/1982 tanggal 10 Nopember 1982 dengan luas sekitar 2.075hektare (ha). Kawasan ini masuk ke dalam Register Tanah Kehutanan (RTK) 7 Gunung Batur Bukit Payang.
Pada tahun yang sama, I Wayan Arimawan (80), warga Desa Songan B yang sudah tinggal di pinggir Danau Batur kawasan hutan TWA Gunung Batur Bukit Payang sejak 1970-an, diminta oleh Jero Ngayor, Nyoman Saja, Nengah Ditu, dan Dangka Ragem, dari lembaga Rencana Pengelolaan Hutan (RPH) Kabupaten Bangli, untuk melakukan pembibitan Pohon Ampupu (Kayu Putih) tahun 1982-1984. Bersama dengan I Mangku Siker (60), Jero Urip (49), dan warga lainnya, turut melakukan penanaman pohon Ampupu di TWA Gunung Batur yang dimulai tahun 1992. Penanaman pohon dilakukan secara bertahap dengan target 200ha. Pada sikut pertama, warga menanam 9.600 Pohon Ampupu seluas 6ha. Penanaman Pohon Ampupu tersebut terus berlanjut hingga saat ini sebagai tanggung jawab warga melindungi hutan.
Dalam perkembangannya di tahun 2014, kawasan hutan di sekitar Danau Batur seluas 2.075ha ditetapkan sebagai Hutan Konservasi Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Batur Bukit Payang oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Tahun 2022, KLHK menerbitkan izin usaha di kawasan hutan tersebut seluas 85,66ha kepada PT Tanaya Pesona Batur (PT TPB) berdasarkan Perizinan Berusaha Sarana Wisata Alam (PB SWA) Nomor 02202013614380001. Perusahaan ini akan membangun leisure park atau taman rekreasi dengan fasilitas wisata seperti penginapan, glamping, amfiteater untuk pagelaran seni, pemandian air panas, dan fasilitas lainnya.
Berdasarkan Surat Kuasa Khusus, YLBHI-LBH Bali mendampingi 59 kepala keluarga (KK) yang menolak penggusuran oleh PT TPB. Warga yang terdampak pembangunan proyek taman rekreasi tersebar di tiga zona yaitu zona A, B, dan C di Desa Batur Utara, Batur Tengah, dan Batur selatan, kawasan TWA Gunung Batur. Luas lahan warga yang akan diratakan untuk kepentingan proyek tersebut seluas 29,39ha, terdiri dari lahan garapan, pondok tempat tinggal, dan pekarangan.
Warga yang sudah hidup secara turun temurun di TWA Gunung Batur keberatan dengan diterbitkannya izin usaha PT TPB oleh KLHK karena tidak sesuai dengan prosedur hukum. Menurut Pasal 26 Ayat 1 dan Pasal 70 Ayat 1 UU Nomor 32 Tahun 2009 mengamanatkan, bahwa warga yang terkena dampak pembangunan harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan dengan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap.
I Mangku Siker, warga Desa Songan B, sudah tinggal dan menggarap lahan di TWA Gunung Batur sejak tahun 1982, terancam digusur oleh PT TPB. Ia kecewa dengan pemerintah karena tidak bersikap partisipatif dan transparan dalam menerbitkan izin usaha PT TPB.
“Tiba-tiba sekarang muncul ada PT dari BKSDA, dia akan membangun di sini, dan sudah mengantongi izin. Nah, itu yang bapak bingungkan sekarang. Saya tidak mengetahui itu,” jelas Mangku Siker, pada Minggu, 1 Oktober 2023 saat dijumpai di pondok tempat tinggalnya.
KLHK melayangkan surat kepada PT TPB terkait Pembangunan Sarana dan Prasarana PT TPB di TWA Gunung Batur Bukit Payang pada tanggal 30 Desember 2023 dengan nomor surat S.548/PJIKK/PJIWAKK/KSA3/12/2022. Dalam surat tersebut disebutkan bahwa PT TPB sebagai pemegang PB PSWA berkewajiban memberdayakan/melibatkan warga dalam kegiatan pengusahaannya. Namun eksekusi dari instruksi itu dilakukan dengan cara mengintimidasi warga. PT TPB melalui Koperasi Ampupu Kembar, kelompok warga yang setuju dengan proyek leisure park, memaksa warga terdampak pembangunan proyek untuk membuat surat pernyataan yang menunjukkan aktivitas mereka di kawasan TWA bersifat nonprosedural.
I Primosto (48), warga asal Songan B, memiliki lahan garapan di kawasan TWA Gunung Batur. Ia sudah bertani di area tersebut selama 20 tahunan. Sebagai warga yang terdampak proyek, ia didatangi oleh Jro Komang, anggota Kelompok Koperasi Ampupu Kembar. Jro Komang meminta Primosto untuk menandatangani surat yang menyatakan bahwa ia memanfaatkan lahan di kawasan TWA secara nonprosedural, tanpa memberikan penjelasan isi dan konsekuensi pascapenandatanganan dari surat tersebut.
“Saya gak bisa baca, saya tidak tahu itu (surat pernyataan) isinya apa. Saya masih di lahan, saya diantarkan surat ini,” kata Primosto, pada Kamis, 26 Oktober 2023 di pondok tempat tinggal keluarganya.
Selain intimidasi dan pemberian informasi yang tidak jelas serta transparan, pihak perusahaan juga menawarkan Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang memuat hak dan kewajiban PT TPB bersama kelompok warga yang terdampak. Namun warga menolak isi rekomendasi PKS lantaran lebih menguntungkan investor, dan menghilangkan hak-hak warga lokal. Berdasarkan Pasal 6 Ayat 3 Huruf a PKS antara PT TPB dengan Kelompok Masyarakat, mewajibkan Pihak Kedua pindah ke lokasi pertanian yang sudah ditetapkan oleh Pihak Pertama. Kewajiban ini justru menempatkan warga pada pilihan yang tidak demokratis yakni harus patuh dan tunduk pada kepentingan bisnis PT TPB.
YLBHI-LBH Bali menilai PT TPB telah melakukan green grabbing, yakni praktik perampasan tanah dan sumber daya alam dengan menggunakan legitimasi isu konservasi dan lingkungan yang banyak dilakukan pada bisnis pariwisata. Warga tidak diberikan kesempatan untuk memberikan persetujuan atau ketidaksetujuannya atas proyek. Hingga kini warga masih bertahan meski dikriminalisasi dan terancam tersisih dari hutan yang jadi sumber penghidupan mereka.
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.