Ticket War, Jastip, dan Prekariat Digital: Gen Z dalam Bahaya?

Jastip tiket online dibidik sebagai peluang usaha oleh Gen Z

Ticket war menjadi fenomena yang sedang ramai diperbincangkan di berbagai media. Dimaknai sebagai persaingan sengit dalam membeli tiket online, istilah ini menjadi perhatian bagi berbagai kalangan. Wajar saja, tiket yang diperebutkan sangatlah beragam mulai dari konser musik, hingga event olahraga seperti turnamen bulutangkis dan pertandingan sepak bola.

Hingar bingar ticket war dibarengi dengan meningkatnya popularitas jastip (jasa titip) tiket online, yaitu layanan jasa untuk membantu membelikan tiket. Jastip menjadi solusi bagi mereka yang enggan untuk berpartisipasi dalam ticket war, maupun bagi mereka yang mencari back-up jika 'kalah' dalam war. 

Banyak ditawarkan melalui media sosial (medsos), jasa ini sebenarnya bukanlah hal baru karena sebelumnya kita telah mengenal istilah calo. Penulis berkesempatan untuk berbincang dengan dua orang penyedia jastip tiket online dan keduanya menolak untuk disamakan dengan calo. Menurut mereka, agar dapat 'memenangkan' ticket war, dibutuhkan kecakapan khusus yang berkaitan dengan media digital, baik yang bersifat hardware (penggunaan gawai dan pemanfaatan koneksi internet) maupun software (penggunaan platform pembelian tiket dan pembayaran digital). 

Berdasarkan pengamatan penulis, penyedia jastip tiket online didominasi oleh Gen Z, yang memang dikenal melek digital. Dua orang yang sempat berbincang dengan penulis pun masih berusia 22 tahun dan 25 tahun. Mereka mengaku telah menjalankan 'pekerjaan' ini sejak setahun terakhir, dengan motivasi mendapatkan keuntungan yang besar secara cepat. Akan tetapi keduanya tidak menampik bahwa ini bukanlah pekerjaan yang ingin mereka lakukan dalam waktu lama. 

Menjadi menarik ketika kemudian kita kaitkan insight tersebut dengan hasil-hasil riset terkini. Dilansir 2023 Gen Z and Millennial Survey oleh Deloitte, 52 persen Gen Z di seluruh dunia menilai saat ini semakin sulit untuk mendapatkan pekerjaan tetap. Temuan lain adalah 21 persen Gen Z memilih berjualan produk atau jasa melalui internet sebagai pekerjaan sampingan atau sementara.

Jika melihat data dari BPS (Badan Pusat Statistik) per Agustus 2022 lalu, tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia mencapai 5,86 persen. Meski angka tersebut lebih rendah dibandingkan tahun lalu, kekhawatiran muncul karena masih tingginya persentase penduduk berusia 15-24 tahun yang tercatat dalam kategori TPT, yaitu sebesar 20,63 persen. Namun di sisi lain, dilansir Indonesia Gen-Z Report 2022 oleh IDN Research Institute, 80 persen Gen Z menjadikan penghasilan sebagai pertimbangan utama dalam memilih jenis pekerjaan.

Lantas, bagaimana penyedia jastip tiket online bisa dijelaskan sebagai sebuah bentuk pekerjaan? Ahli Ekonomi asal Inggris, Guy Standing, pada tahun 2011 mencetuskan konsep prekariat untuk menyebut kelompok dalam masyarakat yang bekerja dalam kondisi precarious. Kondisi ini ditandai dengan uncertainty, instability, dan insecurity, di mana ketiganya melekat pada penyedia jastip tiket online.

Uncertainty terjadi karena tidak adanya kepastian terhadap jumlah pelanggan setiap bulannya maupun keberhasilan mendapatkan tiket. Instability timbul berkaitan dengan fluktuasi jumlah keuntungan yang diperoleh, di mana sangat bergantung pada hukum permintaan dan penawaran. Sedangkan insecurity ada karena masih belum terdapat perlindungan hukum terhadap pekerjaan ini, termasuk juga jaminan bahwa jasa ini masih akan terus dibutuhkan dalam waktu lama.

Perkembangan konsep gig economy dan digital economy workers kemudian memunculkan subbagian dari prekariat yaitu prekariat digital. Istilah ini digunakan untuk menyebut para prekariat yang bekerja dengan memanfaatkan kemampuan di bidang digital. Penyedia jastip tiket online tentu saja berbeda dengan platform labour karena mereka tidak bekerja untuk suatu platform digital. Kondisi pekerjaan yang lebih precarious membuat istilah precariat cenderung tepat untuk disematkan. 

Terkait dengan prekariat berusia muda, Standing melabeli mereka sebagai progressive precariat, yaitu generasi muda yang terdidik namun gagal diserap oleh pasar tenaga kerja sehingga harus menjalani pekerjaan yang precarious. Banyak pakar memberikan stigma negatif terhadap prekariat, bahkan Standing menyebut bahwa meningkatnya prekariat usia muda sebagai hal yang berbahaya bagi masyarakat.

Akan tetapi, penulis berpendapat lain terhadap prekariat oleh Gen Z pada praktik jastip tiket online. Setidaknya terdapat dua hal positif yang justru bisa diperoleh dari banyaknya generasi muda yang menjalani 'pekerjaan' ini. Penulis tidak akan menggiring opini ke arah peningkatan lapangan kerja, karena penulis beranggapan bahwa tetap penting bagi Gen Z untuk memiliki pekerjaan lain yang lebih bisa diandalkan untuk jangka panjang, alih-alih menjadikan jastip tiket online sebagai pekerjaan tetap.

Hal positif yang pertama adalah prekariat digital seperti jastip tiket online menjadi fase transisi untuk mempersiapkan diri dalam menggapai pekerjaan yang diinginkan. Persaingan dunia kerja yang semakin sengit menjadikan kualifikasi rekrutmen semakin meningkat. Penghasilan yang cukup besar dari jastip tiket online dapat digunakan untuk membiayai kursus atau pelatihan pra-kerja yang mereka percayai mampu meningkatkan daya saing dalam pasar tenaga kerja secara signifikan, misalnya pelatihan bahasa asing atau kursus keterampilan digital. Meski saat ini banyak kursus yang tersedia secara daring bahkan dengan tanpa bayaran, kursus luring terutama yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga bonafide memberikan manfaat lain seperti jaringan relasi.

Hal positif kedua adalah kondisi precariousness ketika menjalani 'pekerjaan' jastip tiket online dapat diibaratkan sebagai kawah candradimuka untuk menempa generasi muda dalam era disrupsi seperti sekarang. Mereka dapat belajar melakukan mitigasi terhadap hal-hal yang tidak pasti dan cepat berubah, serta mencari solusi atas masalah yang muncul di luar dugaan. Learning by doing.

Lebih jauh lagi, penyedia jastip tiket online cenderung melakukan 'pekerjaan' ini karena adanya interest terhadap bidang-bidang terkait seperti media sosial, konser musik, atau event olahraga. Bagi beberapa orang, 'pekerjaan' ini bisa jadi dianggap seperti bagian dari bersenang-senang. Precarity yang terjadi dapat memberikan pengalaman sekaligus membentuk pemahaman mereka tentang bagaimana mengatur diri dalam menjalani pekerjaan yang bersinggungan dengan leisure.

Beberapa studi terkini memperkuat argumen penulis, antara lain studi oleh Pakar Sosiologi Jerman, Stefan Stuth, dalam jurnal berjudul "Young, successful, precarious? Precariousness at the entry stage of employment careers in Germany" serta studi oleh Pakar Sosiologi Skotlandia, Susan Batchelor, dalam jurnal berjudul "Precarious leisure: (re)imagining youth, transitions, and temporality". Keduanya melakukan penelitian tentang fase transisi dari dunia pendidikan ke dunia kerja, atau fase awal karier. Ada beberapa sisi positif dalam precarious work yang manfaatnya tidak hanya bagi generasi muda yang menjalaninya, namun juga bagi masyarakat secara umum.

Satu hal yang barangkali perlu diwaspadai adalah bagaimana cara agar penyedia jastip online tidak terjebak untuk terus menerus menjadi prekariat. Berkaca pada hasil studi tahun 2020 oleh Pakar Politik dan Filsuf Eropa, Ieva Urbonaviciute, dalam jurnal berjudul "Precariousness Profile and Career Adaptability as Determinants of Job Insecurity: A Three-Wave Study", career adaptability penting untuk dimiliki agar dapat terbebas dari precariousness dan meraih pekerjaan yang lebih baik. Ia menyoroti sikap 4C yaitu concern (kesadaran terhadap masa depan yang ingin dimiliki), control (kesadaran terhadap apa yang harus dilakukan), curiosity (keingintahuan untuk terus mengembangkan diri), dan confidence (kepercayaan diri untuk dapat melakukan sesuatu dengan baik). 

Konseptualisasi atas prekariat sendiri sebenarnya dianggap masih jauh dari kata final oleh banyak pakar. Dalam jurnalnya berjudul "Breaking up the ‘precariat’: Personalisation, differentiation, and deindividuation in precarious work groups", peneliti di bidang tenaga kerja asal Inggris, Constantine Manolchev, menilai insecurity sebagai karakter yang melekat pada prekariat perlu diselidiki lebih lanjut, karena bisa jadi bersifat personal dan berbeda satu sama lain. Perbedaan motivasi dan ekspektasi terhadap pekerjaan juga menjadi hal lain yang layak dipertimbangkan sebagai bahan studi lanjutan mengenai prekariat. Kaitannya dengan prekariat digital, setiap individu cenderung memiliki motivasi dan juga pengalaman penggunaan media digital yang berbeda, sehingga konsep prekariat digital diyakini juga masih sangat mungkin berkembang.

Meski demikian, fenomena war ticket dan jastip tiket online dapat dianggap sebagai penanda lahirnya bentuk baru prekariat digital. Gen Z di Indonesia, sebagai kelompok yang bisa jadi kini mulai terbebani atas predikat bonus demografi, dapat mengabaikan stigma negatif tentang 'pekerjaan' ini dan melihat sisi-sisi positifnya. Bahkan, bukan tidak mungkin bentuk-bentuk baru lainnya dari prekariat digital akan bermunculan seiring dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi digital.

Jadi, untuk kalian para Gen Z, seberapa tertarik untuk mencoba membuka jastip tiket online? Siapa yang lebih jeli dalam melihat peluang dan berani mengambil langkah, tentunya merekalah yang akan berada dalam barisan terdepan.

Gentur Adiprabawa Photo Community Writer Gentur Adiprabawa

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya