Logical Fallacy, Penyakit Berpikir Warganet Masa Kini 

Konflik antarmasyarakat dunia maya makin sulit diselesaikan

Pada era globalisasi sekarang, internet telah menjadi media informasi dan komunikasi masyarakat dunia. Perkembangan internet sebagai media informasi dan komunikasi diwujudkan melalui eksistensi media sosial (social media). Fungsi komunikasi publik membuat media sosial dikenal sebagai wadah untuk membangun citra, menyajikan informasi, serta membuat ruang tanggapan seperti diskusi, komentar, dan opini massa.

Seperti masyarakat negara lain, masyarakat Indonesia juga gemar menggunakan media sosial untuk beragam hal dan tujuan. Menurut laporan statistik Hootsuite (2022), jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia telah mencapai 191,4 juta orang atau mencakup 68,9 persen dari total populasi masyarakat Indonesia pada Februari 2022. Angka ini diprediksi meningkat pada tahun mendatang.

Satu peran media sosial yang sering menarik perhatian warganet adalah ruang tanggapan. Akibat arus penyebaran informasi yang semakin cepat, banyak warganet media sosial tertarik untuk memberikan tanggapan sebagai bentuk reaksi terhadap informasi yang mereka terima. Jenis informasi yang umum ditanggapi oleh warganet adalah isu publik dan masalah kehidupan masyarakat.

Permasalahan publik perlu ditanggapi secara kritis, objektif, dan empiris. Kritis diartikan sebagai cara menerima, menelaah, dan mempertanyakan informasi dengan proses analisis sistematis secara mendalam serta penuh pertimbangan (bebas dari bias pemikiran). Sedangkan objektif dan empiris melibatkan upaya dalam meninjau suatu objek pembahasan dengan keberagaman sudut pandang yang berlaku (sesuai dengan kaidah metode ilmiah, fakta lapangan, hasil pengamatan atau observasi, perlakuan indra) dan tidak dipengaruhi oleh pandangan pribadi (subjektif). Dengan demikian, permasalahan publik dapat dicermati dengan baik.

Akan tetapi, hal itu cenderung tidak sesuai dengan realita yang sedang terjadi. Ketika menjelajahi kanal media sosial, terutama pada fokus permasalahan yang sedang dihadapi oleh masyarakat, sering ditemukan beragam tanggapan aneh yang tidak masuk akal, bahkan tidak jarang juga ditemukan tanggapan negatif warganet yang bersifat mencela. Alih-alih mencermati sebuah isu secara kritis, warganet justru melontarkan tanggapan tanpa dasar yang tidak memenuhi kaidah atau kriteria tanggapan yang baik (biasa disertai dengan ungkapan kekesalan). Alhasil, beragam postingan media sosial yang berkaitan dengan isu terkini dipenuhi dengan komentar negatif warganet.

Hal ini dapat diamati secara gamblang melalui isu yang paling populer saat ini, yaitu isu pandemi COVID-19. Direktur Komunikasi Indonesia Indicator, Rustika Herlambang, dalam acara D’Rooftalk: ‘Refleksi Tahun Pandemi’ (2020) memaparkan bahwa isu COVID-19 telah menjadi isu yang paling sensitif dan menempati urutan teratas dalam popularitas topik media sosial karena mampu menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat. Semakin populer suatu isu dalam media sosial, semakin mudah menemukan tanggapan yang tidak memenuhi kaidah penalaran (sesat pikir). Fenomena sesat pikir ini disebut dengan Logical Fallacy.

Baca Juga: Sisi Misoginis di Balik Kemegahan Musik Opera

Baca Juga: [OPINI] Melihat Dunia dari Kacamata One Piece

Fenomena Logical Fallacy

Logical Fallacy, Penyakit Berpikir Warganet Masa Kini foto hanya ilustrasi (Pixabay.com/Dean Moriarty)

Logical fallacy merupakan kesalahan logika atau kekeliruan dalam proses berpikir, bernalar, dan membuat kesimpulan. Contoh sesat pikir yang biasa ditemukan dalam isu COVID-19 adalah anecdotal (menggunakan pengalaman pribadi sebagai argumen yang valid tanpa disertai dengan bukti pendukung lain atau cenderung mengabaikan bukti objektif), dan hasty generalization (membuat sebuah kesimpulan dengan cara generalisasi yang tidak benar).

Misal, seorang warganet menyatakan bahwa gejala COVID-19 tidak berbahaya kepada semua orang karena pengalaman diri sendiri yang tidak pernah merasakan gejala berat ketika terjangkit COVID-19. Pernyataan ini murni mengandung kekeliruan yang dapat menyesatkan banyak orang, karena tidak semua orang mempunyai gejala atau kondisi yang serupa. Banyak faktor lain yang berpotensi mengubah keadaan tersebut.

Selain anecdotal dan hasty generalization, sesat pikir non sequitur (membuat kesimpulan yang tidak sesuai dengan premis) juga kerap mewarnai ruang diskusi media sosial. Sebagai contoh nyata, seorang warganet menilai bahwa masker tidak memberikan manfaat dalam mencegah penyebaran virus penyebab COVID-19, karena pandemi tidak menunjukkan indikasi penurunan meskipun semua orang sudah menggunakan masker. Oleh karena itu, warganet tersebut memilih tidak menggunakan masker. Kesimpulan warganet tersebut tidak sesuai atau tidak memiliki hubungan yang jelas dengan premis yang disajikan (salah menyimpulkan premis). Sesat pikir ini justru menciptakan tendensi pengambilan keputusan yang kurang tepat, seperti melanggar protokol kesehatan dengan tidak menggunakan masker.

Di samping itu, isu politik dan SARA juga telah menjadi topik yang ramai diperbincangkan oleh warganet Indonesia. Seperti isu populer lain, isu politik dan SARA tidak kalah mengundang beragam reaksi menohok dari para warganet, bahkan menimbulkan perdebatan yang berpotensi memperkeruh keadaan. Sikap warganet yang egois dan tidak kritis (mengandung sesat pikir) membuat perbedaan pandangan menjadi penyebab utama konflik media sosial. Lebih parah lagi, kondisi ini telah menciptakan dua atau lebih kubu yang saling berlawanan, seperti pada Pilpres 2019.

Saat itu, kolom media sosial Indonesia diwarnai dengan stigmatisasi politik dan lontaran ejekan terhadap kubu politik tertentu. Satu faktor pemicu yang turut andil dalam fenomena tersebut adalah sesat pikir. Stigmatisasi politik cenderung mengandung sesat pikir false dichotomy (memandang sesuatu dengan alternatif sudut pandang yang sangat terbatas). Sedangkan lontaran ejekan sering disebabkan oleh ad hominem fallacy (membuat pernyataan yang menyerang pribadi individu atau kelompok secara langsung dengan tujuan melemahkan argumen atau mendominasi lawan).

False dichotomy telah membuat warganet memberikan cap negatif khusus kepada individu atau kelompok yang berbeda pandangan. Misal, seorang warganet dianggap mendukung kubu A karena memberikan kritik terhadap pernyataan kubu B. Padahal, anggapan ini belum dapat dipastikan benar karena warganet tersebut hanya memberikan kritik terhadap pernyataan kubu B, bukan secara langsung menyatakan bahwa ia adalah pendukung kubu A. Tidak menutup kemungkinan bahwa warganet tersebut merupakan pendukung kubu B yang kritis sehingga ia memberikan kritik terhadap pernyataan kubu B. Kesalahpahaman ini dilanjutkan dengan ad hominem fallacy.

Setelah dianggap sebagai pendukung kubu A, warganet tersebut menerima beragam komentar negatif yang menyerang pribadi individu secara langsung, seperti disebut binatang atau makhluk halus, disamakan dengan tokoh tertentu, dianggap mendukung ideologi tertentu, musuh negara, dan lain-lain. Perlu dilihat bahwa warganet dengan ad hominem fallacy tidak pernah berusaha melawan argumen lawan. Mereka selalu bersembunyi di balik pernyataan yang merendahkan pendapat atau menyerang pribadi lawan (berpotensi abusive). Oleh karena itu, konflik antarmasyarakat dunia maya semakin mudah tercipta dan sulit diselesaikan. Jika permasalahan ini terus berlanjut, maka dikhawatirkan akan menciptakan konflik serius yang dapat memicu disintegrasi bangsa.

Penyebaran informasi keliru yang tidak terbendung

Logical Fallacy, Penyakit Berpikir Warganet Masa Kini Ilustrasi hoaks (IDN Times/Sukma Shakti)

Akibat nyata yang ditimbulkan oleh sesat pikir tidak hanya meliputi tendensi perilaku semata, tetapi juga masalah serius lain, seperti penyebaran berita bohong (hoaks) dan cyberbullying. Survei MASTEL (Masyarakat Telematika Indonesia) pada tahun 2019 menunjukkan, bahwa hoaks yang paling sering diterima oleh masyarakat adalah hoaks sosial politik.

Pada tahun 2017, hoaks sosial politik juga menduduki peringkat pertama dalam kategori hoaks yang paling banyak diterima dengan persentase sebesar 91,8 persen. Pada tahun 2019, persentase hoaks sosial politik mengalami peningkatan sebesar 1,4 persen dibandingkan dengan tahun 2017. Kenaikan ini mungkin dipengaruhi oleh penyelenggaraan Pilpres 2019 yang direspon dengan sesat pikir. Maka dari itu, situasi politik Indonesia pada tahun 2019 kian memanas. Menjelang awal tahun 2020, dunia mulai diguncang dengan isu COVID-19, tidak terkecuali Indonesia. Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Johnny Gerard Plate, dalam kunjungan penerimaan vaksin COVID-19 tahap ke-10 (April 2021) menegaskan bahwa hingga saat itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo) mencatat 1.556 hoaks COVID-19 dan 177 hoaks vaksin COVID-19 (sumber: jpnn.com).

Baik statistik hoaks sosial politik maupun COVID-19 telah menunjukkan kemampuan warganet Indonesia yang rendah dalam menyaring, menelaah, dan menyimpulkan informasi. Hal ini berbanding lurus terhadap kecenderungan sesat pikir yang sering dijumpai pada media sosial. Warganet sesat pikir mungkin menganggap diri mereka sebagai orang yang aktif dan kritis dalam menanggapi isu terkini. Tetapi sadarkah mereka jika tanggapan yang mereka berikan berpotensi besar menimbulkan konflik yang tidak diinginkan?

Harapan kepada masyarakat

Logical Fallacy, Penyakit Berpikir Warganet Masa Kini foto hanya ilustrasi (Unsplash.com/zvessels55)

Melihat hubungan antara sesat pikir dan konflik media sosial yang berpotensi besar menimbulkan ancaman serius, pemerintah sebaiknya segera melaksanakan sosialisasi mengenai upaya menghindari sesat pikir kepada pengguna media sosial. Sosialisasi dapat disajikan melalui tontonan masyarakat, media massa, dan aktivitas edukasi. Selain sosialisasi, kreator konten masa kini dapat bekerja sama dengan para influencer untuk menyerukan dukungan terhadap upaya pemberantasan sesat pikir.

Warganet juga harus mengakui bahwa sesat pikir yang telah mereka lakukan, baik disengaja maupun tidak disengaja adalah sesuatu yang tidak dapat dibenarkan. Mereka bisa melakukan introspeksi diri dan belajar dari kekeliruan pikiran masa lalu. Pada tahap ini, warganet dapat belajar bagaimana cara mengatasi sesat pikir, seperti meningkatkan literasi dan pemahaman, mengasah daya penalaran, serta aktif berpendapat secara objektif dan rasional. Tahap akhir dari proses introspeksi adalah penerapan. Warganet dapat belajar bagaimana menerapkan argumen tanpa disertai sesat pikir. Dengan demikian, diharapkan warganet mampu menghindari sesat pikir dalam keseharian dan ikut berkontribusi dalam mengurangi konflik media sosial.

Michael Albert Theojaya Photo Community Writer Michael Albert Theojaya

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya