Menguak Konflik Pembangunan Jurrasic Park di Pulau Rinca NTT

Keberadaan hewan purba komodo kini kian terancam

Pada 6 Maret 1980 lalu, Taman Nasional Komodo ditetapkan oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) sebagai situs warisan dunia. Selanjutnya pada tahun 2012, New 7 Wonders menetapkan Taman Nasional Komodo termasuk dalam tujuh keajaiban dunia.

Taman Nasional Komodo yang terletak di Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), memiliki potensi kekayaan alam yang berlimpah nan indah. Keunikan flora dan fauna khas wilayah pulau Timur Indonesia yang ada di sana, menjadi daya tarik tersendiri bagi warga lokal maupun wisatawan domestik dan mancanegara.

Dalam perkembangannya, kunjungan wisatawan ke Taman Nasional Komodo mengalami peningkatan yang drastis. Ditinjau dari laporan statistik Balai Taman Nasional Komodo (2019), tercatat jumlah wisatawan yang berkunjung ke Taman Nasional Komodo mencapai 119.599 orang pada tahun 2018.

Mencermati peningkatan kunjungan wisatawan di Taman Nasional Komodo, pemerintahan Joko Widodo melakukan ekspansi pembangunan pariwisata super premium Jurassic Park ke Pulau Rinca melalui kerjasama dengan PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) melalui SK Menteri Kehutanan No. 796/Menhut-II/2014 dan PT Segara Komodo Lestari (SKL) melalui SK Kemenhut No.5.557/Menhut/II/2013, dan PT Synergindo Niagatama di Pulau Tatawa. Ketiga perusahaan tersebut mengantongi izin konsesi selama 55 tahun.

Sebagaimana diketahui, sebelumnya pernah terbit Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.66/Dep.Keh/1965 tanggal 21 Oktober 1965 tentang Penunjukkan Pulau Komodo sebagai Suaka Margasatwa seluas 31.000 hektare. Kemudian terjadi perluasan hingga 75.000 hektare melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 46/Kpts/VI-Sek/1980. Saat ini, Taman Nasional Komodo memiliki luas 173.000 hektare. 

Berangkat dari keresahan masyarakat Komodo akan rencana proyek Jurassic Park, PM NTT Universitas Udayana (Unud) menyelenggarakan Nonton Film Sambil Diskusi (Nofisadis) bertajuk Komodo is Our Sibling not Profit, pada Sabtu, (26/3/2022) lalu di Pekarangan Omah, Jimbaran. Nah berikut beberapa hal yang perlu kamu ketahui mengenai konflik pembangunan Jurrasic Park di NTT.

Baca Juga: Sisi Gelap Bali: Sejarah Perbudakan di Pulau Dewata  

1. Suku Adat Ata Modo berkontribusi penting dalam pelestarian komodo

https://www.youtube.com/embed/NNHHED9TtHU

Kecamatan Komodo terdiri dari tiga pulau besar yaitu Pulau Padar, Pulau Rinca, Pulau Komodo, dan pulau kecil lainnya. Labuan Bajo merupakan ibu kota Kabupten Manggarai Barat, yang membawahi Kecamatan Komodo. Dilansir dari walhi.or.id, masyarakat Ata Modo termasuk satu di antara suku tertua di wilayah Komodo. Sejarah mencatat bahwa  masyarakat adat Modo berkontribusi penting dalam pelestarian komodo.

Terbukti dari riset yang dilakukan oleh Nur Hannah Muthohharoh, Endriatmo Soetarto, Soeryo Adiwibowo, dengan judul Contestation of Spatial Utilization in Komodo National Park: Access and Exclusion Perspectives (2021). Dalam riset itu dijelaskan asal muasal Suku Modo di wilayah Komodo. Menurut anggota Lembaga Sejarah Tradisional, H Amin, sekitar abad ke-17, pemukim pertama di Pulau Komodo tinggal di kawasan Gunung Ara, dipimpin oleh ketua kelompok yang bernama Ompu Najo.

Disebutkan bahwa asal kedekatan emosional antara komodo dengan masyarakat Ata Modo dilatar belakangi oleh cerita putri Ompu Najo, bernama Epa, yang melahirkan seorang bayi. Pada waktu itu, rombongan Suku Sumba yang terdampar di Pulau Komodo memberikan bantuan untuk Epa. Akhirnya, Epa melahirkan anak kembar dengan wujud yang berbeda, yaitu manusia dan komodo. Sampai saat ini, masyarakat Komodo percaya bahwa hewan komodo adalah saudaranya. Oleh karena itu, mereka dapat hidup bersama.

Ada tiga suku lain yang datang ke Pulau Komodo, yaitu Suku Welak (Manggarai) yang berdomisili di Watu Pajung, Suku Ambon yang berdomisili di Loh Liang, dan Suku Kerapu (Flores) yang tinggal di Loh Sebita. Ketiga suku tersebut mengklaim diri sebagai pemukim pertama di Pulau Komodo. Pengklaiman tersebut pun menyebabkan konflik.

Ompu Najo yang mengetahui adanya konflik tersebut kemudian bertindak untuk membuat resolusi konflik dengan memberikan setiap pendatang baru suatu wilayah, meliputi sebagai berikut:

  1. Suku Sumba diberi yang terbesar yakni tanah di kawasan Loh Lawi, Loh Wahu, dan Tanjung Besar
  2. Suku Welak menduduki Watu Pajung sampai Torong Gudu
  3. Suku Ambon menduduki Loh Liang sampai Tanjung Kuning
  4. Suku Kerapu menduduki daerah Loh Sebita sampai Gili Lawa

2. Masyarakat adat Ata Modo keberatan dengan pembangunan Jurassic Park

Menguak Konflik Pembangunan Jurrasic Park di Pulau Rinca NTTJostar, Ketua Paguyuban Mahasiswa NTT Unud membuka kegiatan diskusi. (Dok. Pribadi/Ufiya Amirah)

Pembangunan geopark untuk objek wisata premium di Pulau Rinca mendapatkan sorotan dari UNESCO. Lembaga internasional yang berupaya melestarikan warisan dunia ini meminta pembangunan Jurassic Park di Pulau Rinca dihentikan.

Hal tersebut menimbang proyek-proyek infrastruktur pariwisata di dalam dan sekitar lokasi Taman Nasional Komodo memiliki potensi dampak pada Outstanding Universal Value (OUV) sampai revisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) diserahkan dan ditinjau oleh Uni Internasional Konservasi Alam (IUCN). Instruksi penghentian proyek itu tertuang dalam dokumen Komite Warisan Dunia UNESCO nomor WHC/21/44.COM/7B.

Selaras dengan UNESCO, masyarakat adat Modo dalam film dokumenter Ata Modo yang dipublikasi Walhi NTT, menolak keras pembangunan wisata super premium tersebut. Menindaklanjuti pengembangan pariwisata Jurassic Park, warga Ata Modo akan direlokasi oleh pemerintah ke tempat lain. Pemindahan yang dinilai sewenang-wenang ini menimbulkan gelombang konflik. Ribuan warga melakukan demonstrasi secara bertahap sejak tahun 2018.

Apabila pada awalnya komodo hidup di sekitar lingkungan masyarakat lokal, namun dengan master plan pembangunan geopark premium ala pemerintah, maka komodo menjadi hewan yang eksklusif bagi masyarakat adat di sana. Secara keyakinan adat, maka pemerintah telah melanggar cara-cara adat dalam pelestarian hewan purba komodo. Bagi masyarakat Modo, komodo adalah saudara.

Menurut Ketua PM NTT Unud, Jostar, intensitas konflik semakin meningkat di Pulau Rinca karena minimnya keterlibatan masyarakat adat Ata Modo dalam master plan wisata premium Jurassic Park.

"Polemik ini terjadi di tanah Floba Mora dan komodo merupakan aset masyarakat NTT. Isu tersebut penting untuk dibahas untuk dapat memberikan pencerdasan kepada teman-teman mahasiswa NTT di Unud. Masalah yang paling krusial adalah masyarakat adat di sana tidak dilibatkan dalam pembangunan," jelas Jostar.

3. Pembangunan Jurassic Park berpotensi menyebabkan kepunahan populasi komodo

Menguak Konflik Pembangunan Jurrasic Park di Pulau Rinca NTTPenyampaian materi oleh Umbu, WALHI tentang konflik Ata Modo dan pemerintah. (Dok

Sistem kekuasaan politik yang eksploitatif dapat menciptakan hubungan buruk antara manusia dengan alam. Sistem kapitalisme menjadikan alam sebagai objek profit, maka kesejahteraan manusia bukanlah soal utama, melainkan seberapa besar keuntungan yang diraup oleh pemodal. Dengan demikian, kehancuran keanekaragaman hayati dan/atau punahnya satwa tertentu bukan pula hal yang pokok bagi kapitalis.

Peneliti Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Irwanda Wisnu Wardhana, menyajikan tulisan tentang Menimbang Penutupan Pulau Komodo. Irwanda menegaskan bahwa telah terjadi penurunan populasi yang cukup masif di area purbakala hunian hewan komodo.

Berkaca pada data yang dilaporkan World Wide Fund for Nuture (WWF), pada tahun 1996 diperkirakan jumlah komodo mencapai 6.000 ekor dengan 350 betina. Sedangkan Taman Nasional Komodo pada tahun 2018 melaporkan populasi komodo per 2017 hanya berkisar 3.000 ekor. Selain karena faktor alam, aktivitas manusia seperti pencurian satwa liar juga berpotensi pada punahnya hewan komodo. 

Menurut Dewan Pimpinan Daerah WALHI Bali, Umbu Remu Samadaty Anduwatju, sekaligus pemateri dalam diskusi, menyampaikan bahwa komodo sebagai salah satu binatang purba yang masih ada di Indonesia sangat sensitif. Komodo sulit beradaptasi dengan perubahan habitat. Apabila pembangunan destinasi wisata tetap dijalankan, maka akan ada kemungkinan komodo mengalami penurunan populasi dan terancam punah.

"Komodo merupakan binatang yang sensitif. Maksudnya, habitat dari komodo tidak dapat diubah. Bahkan, pasca ada transformasi konservasi dari cagar alam ke taman nasional, komodo terancam punah. Apalagi kalau mau dipaksakan dibangun wisata premium. Perubahan habitat akan berpengaruh pada keberlangsungan hidup komodo," jelas Umbu.

4. Tata kelola geopark premium tidak akan menguntungkan warga lokal

Menguak Konflik Pembangunan Jurrasic Park di Pulau Rinca NTTMasyarakat Ata Modo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timu. (Walhi.or.id)

Riset Nur Hannah Muthohharoh dan teman-temannya, menunjukkan bahwa sejak diterapkannya revisi zona Taman Nasional Komodo pada tahun 2001, perairan Loh Liang yang merupakan daerah penangkapan nelayan termasuk dalam Zona Pemanfaatan Wisata Bahari. Akibatnya, ruang sumber penangkapan ikan menjadi eksklusif.

Nelayan terpaksa mencari daerah penangkapan lain untuk menunjang kebutuhan hidupnya. Namun tentu saja mereka perlu mengeluarkan lebih banyak biaya. Pada tahun 2003, dalam laporan Kontras, pihak keamanan melakukan pembunuhan terhadap nelayan lokal saat patroli kawasan perairan.

Privatisasi ruang hidup warga lokal telah berlangsung cukup lama. Contoh lainnya, Ferdy Hasiman, peneliti pada Alpha Research Database, Jakarta, dalam tulisannya Labuan Bajo di Tangan Tuan-tuan Kapitalis, Pulau Bidadari yang semula daerah rekreasi masyarakat telah dimonopoli oleh pihak swasta asal Inggris bernama Ernest Lewandowski untuk pembangunan bisnis resort.

Melansir walhi.or.id, PT Sagara Komodo Lestari di Pulau Rinca dengan lahan 22,1 hektare, PT Komodo Wildlife Ecotourism di Pulau Padar dengan 274,13 hektare, dan Pulau Komodo dengan 151,94 hektare, serta PT Synergindo Niagatama di Pulau Tatawa dengan 15,32 hektare adalah para pemodal yang memfasilitasi pembangunan di wilayah komodo. Keuntungan dari geopark premium akan dimonopoli oleh para taipan tersebut dan elit-elit lokal tertentu. 

Geopark premium yang sedang dibangun oleh pemerintah dan pihak investor di Pulau Rinca sedari awal memang dikhususkan bagi wisatawan hight class. Dalam pembangunannya pun, keterlibatan masyarakat adat sangatlah minim, sehingga muncul gejolak penolakan. Dengan demikian, keuntungan dari pembangunan wisata premium akan dimonopoli dan dinikmati oleh segelintir orang saja.

5. Banyak implementasi pembangunan yang tak sesuai

Menguak Konflik Pembangunan Jurrasic Park di Pulau Rinca NTTKetua Divisi Lingkungan PM NTT Unud menyampaikan sambutan dalam kegiatan nofisadis. (Dok.Pribadi/Ufiya Amirah)

Ketua Divisi Lingkungan PM NTT Unud, Amaral, menyampaikan bahwa pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan warga perlu untuk dilakukan. Pemerintah tidak boleh mengesampingkan hak-hak warga lokal.

"Apa yang terbaik untuk daerah kita, pasti kita dukung. Pembangunan destinasi wisata premium dapat meningkatkan devisa negara. Tetapi, saya tidak setuju, karena pembangunan Jurassic Park tidak melibatkan masyarakat adat. Sehingga banyak implementasi pembangunan tak sesuai. Komodo kan saudara kami. Masa, pemerintah memisahkan kami dengan saudara kami," kata Amaral.

Ufiya Amirah Photo Community Writer Ufiya Amirah

Mahasiswa S1 Ilmu Politik Universitas Udayana

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya