Melihat Relasi Kuasa dalam Dating Violence Usia Remaja

Dating Violence yang marak di usia remaja mulai meresahkan

Berpacaran dapat dikatakan sebagai konsep politis, karena di dalamnya dapat kita temukan hal-hal yang timbul saat kita berpolitik. Satu di antaranya relasi kuasa. Pengakuan seseorang terhadap cinta luar biasa, ia rela memberikan dan melakukan hal apa pun saat jatuh cinta, sama halnya saat seseorang mengupayakan mendapatkan jabatan dalam kontestasi politik.

Dari relasi kuasa yang timbul ini, akan ada dominasi satu pihak yang bisa mendatangkan hal-hal yang tidak diinginkan. Dominasi menandakan kekuasaan, kekuasaan yang tidak dibatasi akan menghadirkan kekerasan. Kekerasan dalam pacaran atau yang kerap dikenal sebagai dating violence merupakan fenomena yang kerap mengundang perhatian banyak pihak. Karena merupakan bentuk kontrol dan dominasi terhadap pasangan baik dalam bentuk fisik, mental, maupun psikologis.

1. Melihat lumrahnya pacaran di kalangan remaja

Melihat Relasi Kuasa dalam Dating Violence Usia RemajaFoto hanya ilustrasi (Unsplash.com/conscious_design)

Kini, memiliki hubungan di antara lawan jenis pada masa remaja merupakan hal yang lumrah. Hubungan di antara lawan jenis pada masa remaja seringkali disebut dengan pacaran. Pacaran berasal dari kata “pacar” yang merupakan sejenis bunga yang biasa digunakan sebagai pewarna alami cat kuku. Jika kita lihat sejarahnya, istilah ini muncul dari masyarakat Melayu Kuno ketika seorang laki-laki jatuh cinta, maka ia akan datang ke rumah si perempuan sambil berpantun dan merayu.

Apabila cintanya diterima, maka orangtua si perempuan akan memakaikan pewarna kuku dari bunga pacar ini sebagai tanda sepasang kekasih kepada si laki-laki dan perempuan. Setelah beberapa bulan, cat kuku ini akan meluntur dan orangtua dari pihak perempuan akan mempertanyakan kesediaan si laki-laki untuk meminang sang perempuan. Apabila sang laki-laki tidak segera melamarnya, maka dengan kata lain ikatan itu akan hilang dan perempuan itu  boleh menerima lamaran dari laki-laki lain. Dari hal inilah istilah “pacaran” lahir.

Pacaran pada usia remaja membawa dampak positif seperti membantu remaja meningkatkan rasa percaya diri. Bahkan ada perspektif yang menarik, bahwa bila remaja belum memiliki pacar, identitas mereka di dalam peer group mereka belumlah utuh. Maka apabila remaja memiliki pacar, kepercayaan diri mereka akan meningkat dan memiliki kemampuan lebih dalam mengaktualisasi diri di dalam kelompok mereka. Menurut Erickson (dalam Santrock, 2003), pengalaman romantis pada masa remaja dipercaya memiliki peran yang penting dalam perkembangan identitas. Pacaran pada masa remaja membentuk individu memiliki hubungan romantis dan mempersiapkan individu untuk lebih dewasa. Namun, bentuk pacaran dari masa ke masa mengalami perubahan yang sangat substansial. Remaja di masa kini cenderung berkencan tanpa pengetahuan ataupun persetujuan orangtua.

Hal ini jauh berbeda dengan konsep pacaran pada zaman dahulu yang dimulai dari persetujuan orangtua. Semua ini dipengaruhi oleh faktor globalisasi yang sangat berperan dalam menentukan perilaku dalam pacaran. Globalisasi berdampak pada remaja dalam bentuk informasi yang sangat mudah diakses dan kemudahan dalam berinteraksi. Dari sinilah, remaja bisa mendapatkan informasi terkait hubungan dengan lawan jenis. Bentuk-bentuk interaksi yang diterapkan juga bermacam-macam sehingga kerap kali mendatangkan interaksi yang salah dan belum dipahami oleh remaja.

2. Interaksi yang bermasalah menimbulkan masalah dalam relasi pacaran

Melihat Relasi Kuasa dalam Dating Violence Usia RemajaIlustrasi pasangan muda mudi (IDN Times/Mardya Shakti)

Dari interaksi dalam berpacaran yang bermasalah, maka akan timbul masalah lain. Saatu masalah yang marak terjadi adalah kekerasan dalam status pacaran. Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) atau dating violence adalah kasus yang banyak ditemui di berbagai tempat dan kalangan. Bahkan, menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2021, kasus KDP merupakan kasus kekerasan terhadap perempuan terbanyak setelah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Melihat data Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2020 pun mencatat terdapat 1.309 kasus kekerasan pada perempuan dalam pacaran. 

Bentuk KDP sangatlah beragam, menurut Shorey dkk (2008), dan Rifka Anisa WCC Yogyakarta (2000), di antaranya ada yang dalam bentuk kekerasan verbal. Misal memarahi pasangan dan membentak, merendahkan pasangannya dengan memberi julukan yang buruk, membanding-bandingkan dengan orang lain, dan memberikan ujaran kebencian, yang di mana semua itu pada akhirnya akan berdampak pada psikologis korban. Bentuk lain dari kekerasan verbal adalah kekerasan fisik, seperti mendorong, memukul, mencekik, hingga yang bisa mencapai titik ekstrem yaitu membunuh.

Ada juga bentuk dari segi ekonomi, tindakan kekerasan dapat berupa mengeksploitasi harta pasangan. Bentuk lainnya adalah kekerasan seksual yang berupa tindakan pemaksaan melakukan aktivitas seksual seperti dengan paksa mencium, memeluk, meraba area sensitif, hingga memaksa untuk melakukan hubungan seksual dibawah ancaman. Terakhir adalah bentuk kekerasan dalam pembatasan aktivitas. Contohnya saat perempuan dilarang sang pacar untuk menggunakan pakaian sesuai apa yang dia inginkan, pembatasan dalam bepergian tanpa seizin sang pacar, dikekang dalam berkegiatan, ataupun hal lain yang menunjukkan keposesifan. Perempuan yang di bawah ancaman akan dihantui perasaan takut dan tertekan, sehingga mau tidak mau akan menuruti keinginan pasangannya.

3. Kekerasan dalam pacaran hasil dari relasi kuasa yang timpang

Melihat Relasi Kuasa dalam Dating Violence Usia RemajaFoto hanya ilustrasi (Unsplash/Evan Kirby)

Kekerasan dalam pacaran bisa terjadi karena adanya dominasi satu pihak sehingga adanya hierarki, di mana ada pihak yang mendominasi dan didominasi. Dari sini, bisa kita simpulkan bahwa pacaran dapat disebut sebagai aktivitas politik yang dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Di dalamnya dapat kita temukan relasi kuasa dan ketimpangan kekuasaan. Adanya ketimpangan kekuasaan inilah yang menjadi pemicu kekerasan. Baik itu kekerasan yang terjadi di ranah publik maupun ranah privat.

KDP menunjukkan ketimpangan relasi antara pelaku dan korban. Namun, banyak korban yang tidak menyadari, belum tahu, bahkan memiliki bias persepsi akan hal tersebut. Korban meskipun mengalami kekerasan dan hak-haknya dirampas, mereka tidak sadar akan hal tersebut bahkan menafikkan kekerasan yang terjadi. Di banyak kasus bahkan mereka cenderung menerima dan memberi kesempatan kembali kepada para pelaku, yang adalah pasangan mereka atas tindak kekerasan yang dilakukan pelaku.

Relasi kuasa kerap kita temui antara hubungan orang yang lebih berkuasa dengan orang yang lebih less power. Menurut data Catahu Komnas Perempuan, bahwa korban KDP sebagian besar adalah perempuan. Relasi kuasa ini sering terjadi di antara laki-laki (pihak yang menguasai) dengan perempuan (pihak yang dikuasai). Karena laki-laki banyak mengimplementasikan nilai-nilai yang menganggap bahwa perempuan bisa dikuasai dan dikendalikan. Implementasi nilai-nilai ini lahir dari budaya patriarki yang dilanggengkan di masyarakat.

Patriarki memberikan keabsahan kepada superioritas laki-laki dan inferioritas perempuan yang dapat kita temui di berbagai tatanan masyarakat. Dalam sifat kesadaran kolektif, tatanan patriarki menyebabkan perempuan menjadi subordinasi termarginalkan, bahkan memperoleh ketidakadilan di dalam masyarakat. Semua ini terjadi sebagai akibat dari pembagian peran yang tidak merata.

Dalam gender oppression, melibatkan upaya laki-laki yang memiliki kepentingan untuk mengontrol, mengobjektifikasi, dan menekan perempuan sebagai praktik dominasi ini merupakan ajang untuk menunjukkan dan mempertahankan kendali dari laki-laki atas perempuan. Bentuk kendali sangat beragam, dan yang kerap kali terjadi adalah kendali secara represif dalam bentuk kekerasan. Menurut Burandt, etl (dalam Murray, 2007), kekerasan dalam pacaran adalah suatu perilaku yang disengaja dengan menggunakan strategi kriminal untuk mendapatkan atau mempertahankan kendali atas pasangan. Dalam kasus kekerasan terhadap perempuan, kendali atas perempuan berarti menunjukkan bahwa perempuan memiliki kelemahan dalam bargaining position dan tidak memiliki power yang lebih dibanding laki-laki.

4. Faktor lain pendorong dating violence

Melihat Relasi Kuasa dalam Dating Violence Usia RemajaFoto hanya ilustrasi (Pexels.com/Savannah Dematteo)

Faktor lainnya adalah hasil dari masyarakat patriarki, laki-laki lebih memiliki akses yang leluasa terhadap kepemilikan sumber daya dibandingkan dengan perempuan (Abbot, dkk, 2005). Perempuan cenderung memiliki ketergantungan baik secara materi maupun non materi pada laki-laki, seperti halnya terbiasa dimanja saat bepergian (perempuan kerap dilarang menggunakan ojek online ataupun membawa kendaraan sendiri sehingga perempuan terbiasa diantar jemput), diberi bunga secara tiba-tiba ataupun barang-barang lainnya. Perempuan (korban) cenderung menerima dan tunduk terhadap kekerasan yang dialaminya. KDP dipicu dari adanya kontrol atas laki-laki terhadap sumber daya yang ada (materi ataupun non materi) terhadap perempuan yang menimbulkan relasi kuasa dan ketergantungan. 

Selain itu, daya tawar yang dimiliki dalam hubungan berakibat pada meningkatnya prevalensi pelecehan berbasis gender yang berkontribusi pada kepatuhan perempuan terhadap perilaku kekerasan. Pada umumnya, laki-laki akan memposisikan diri sebagai makhluk yang lebih kuat dan berkuasa, sementara perempuan juga cenderung memperlihatkan bahwa dirinya merupakan individu yang lebih rapuh dan perlu perhatian lebih. Dinamika ini menyebabkan hubungan yang terjalin tidak sejajar, di mana laki-laki akan memiliki otoritas yang lebih tinggi dan kuasa yang lebih banyak atas perempuan. Perempuan akan menjadi cenderung pasif dan senantiasa mengikuti serta menuruti keinginan sang laki-laki.  

Menurut Feiring (1996, dalam Ellis, Crooks, & Wolfe, 2008), pengalaman pacaran merupakan pengalaman pertama remaja dalam memiliki hubungan privat. Sehingga hal ini menjadikan emosi mereka belum dapat terkontrol dengan baik. Hal ini dapat meningkatkan emosi, termasuk perasaan cemas, takut, dan menimbulkan stres. Sehingga terkadang membuat mereka melakukan tindakan agresif sebagai manifestasi dari emosi yang mereka hadapi. Pernyataan ini juga didukung oleh Carolyn dkk (2004 dalam Brown, dkk tahun 2009) yang menyebutkan bahwa remaja usia 16-24 tahun tidak memiliki banyak pengalaman dan kemandirian, serta dipengaruhi oleh dukungan dari teman sebaya yang juga tidak memiliki cukup pengalaman. Oleh karenanya, mereka memiliki kecenderungan menyelesaikan masalah ataupun berupaya menangani emosi berdasarkan intuisi dan pengaruh dari teman-teman dalam peer group mereka.

Pengalaman yang terbatas, emosi yang belum stabil, ketidakmandirian, dan pengetahuan yang kurang luas, serta dukungan yang salah dari rekan sebaya semakin menguatkan bagaimana kekerasan dalam pacaran dapat terjadi di hubungan remaja. Hal ini akhirnya memberikan pembatasan dalam remaja memberikan respons yang tepat terkait dating violence (Powers & Kerman, 2006) dan kebanyakan dari remaja justru menganggap hal tersebut merupakan bukti bahwa mereka saling mencintai (Levi, 1990 dalam O’Keefe, 2005).

5. Apa yang bisa kita lakukan?

Melihat Relasi Kuasa dalam Dating Violence Usia RemajaIlustrasi kekerasan (pixabay.com/Tumisu)

Oleh karena itu, dating violence merupakan fenomena yang semestinya penting untuk kita beri perhatian. Fenomena ini tidak semestinya dianggap sebagai permasalahan kecil belaka. Fenomena ini perlu dipertimbangkan eksistensinya karena dampaknya yang cukup destruktif. Dampak negatif yang terjadi dapat memberi pengaruh yang sangat besar pada kehidupan selanjutnya. Bahkan pada banyak kasus yang lebih jauh lagi, perilaku dating violence ini dapat terbawa hingga hubungan yang lebih serius ke depannya. Seperti pada hubungan pernikahan atau yang sering kita temui yaitu kasus KDRT. Maka dari itu, pemutusan rantai kekerasan ini mengharapkan kerja sama dari pihak orangtua sebagai pihak yang memiliki otoritas dalam mendidik dan memberikan edukasi langsung terhadap remaja, sehingga perilaku dating violence dapat diantisipasi lebih cepat dan dampak buruk yang dialami korban dapat diatasi lebih cepat.

Ke depannya, diharap masyarakat dapat lebih tanggap dalam menyikapi kasus kasus dating violence yang terjadi dalam masyarakat. Harapan ini tentu dapat terjadi apabila masyarakat bersikap reaktif dan lebih peka terhadap dating violence seperti mengambil sikap untuk berpihak pada korban dan melaporkan kepada pihak berwenang. Masyarakat juga harus mengetahui dampak negatif yang terjadi pada fisik maupun psikologis korban, sehingga dalam perkembangan remaja ke depannya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Melihat dampak negatif yang dapat terjadi, maka penting bagi masyarakat untuk memahami bahaya dating violence. 

Liyana Amalina Photo Community Writer Liyana Amalina

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya