Riuhnya “Cut to Cut” Pekerja Media

Ni Komang Erviani, seorang peserta yang juga jurnalis lepas, merinding usai nonton bareng (nobar) dan ngobrol film “Cut to Cut”, yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar. Ia tak menyangka film dan obrolan bareng bertajuk “Nasib Serikat Pekerja di Bali” di Rumah Budaya Penggak Men Mersi, Kesiman, Kota Denpasar, pada Jumat malam itu, 21 Februari 2025, mengingatkannya pada Almarhum Putu Satyawira Marhaendra.
Almarhum Putu Satyawira, merupakan seorang yang konsisten memperjuangkan hak-hak pekerja pariwisata di Bali. Terakhir sebelum meninggal di 2021, ia adalah Ketua DPD Federasi Serikat Pekerja Pariwisata (FSP-Par) Bali.
“Saya jadi teringat, ya, sekitar 20 tahun lalu, almarhum Bapak Putu Satyawira pernah mengingatkan kami soal serikat pekerja ini. Saat itu, kami para jurnalis sedang meliput kegiatan serikat pekerja pariwisata di gedung DPRD Bali,” kata Erviani.
Dan, ia tak menyangka, apa yang diingatkan beliau itu benar-benar keniscayaan. “Pak Putu mengatakan saat itu, eh, kalian ini juga perlu membentuk serikat pekerja. Jangan hanya meliput-meliput saja. Kalian menyuarakan dan meliput kegiatan pekerja atau buruh, tapi kalian lupa kalau kalian itu juga buruh, lho... Itu pesan almarhum,” cerita Erviani menirukan pesan almarhum ketika itu.
Betapa ironis memang, jurnalis meliput, menulis, menganalisis, dan menyuarakan permasalahan perburuhan melalui media masing-masing, tetapi mereka juga korban model perburuhan kapitalisasi media. Film ini membuat tiba-tiba nyesek dada ini. Ternyata, “Serikat pekerja itu adalah keniscayaan,” kata Sutradara Miftah Faridl yang juga menjadi pendiri SPCI dan korban PHK CNN Indonesia.
Film dokumenter "Cut to Cut" disutradarai oleh Miftah Faridl (Pendiri Solidaritas Pekerja CNN Indonesia). Film ini menggambarkan perjuangan para pekerja CNN Indonesia dalam menghadapi pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, serta pemberangusan serikat pekerja (union busting).
Belajar (lagi), lagi-lagi union busting

Pemutarannya berdurasi 40 menit ini berisi kisah nyata dari sejumlah jurnalis CNN Indonesia yang terkena PHK, beberapa jam setelah mereka mendeklarasikan berdirinya SPCI (Solidaritas Pekerja CNN Indonesia) di pertengahan tahun 2024. Mereka tak menyangka akan mendapatkan “pembabatan” dari manajemen CNN Indonesia.
Padahal, solidaritas ini (sebagai pengganti kata serikat) sepakat didirikan untuk mewakili suara pekerja yang mendapatkan ketidakadilan. Misalnya, pemotongan gaji beberapa kali.
Usai penolakan manajemen perusahaan terhadap pendirian SPCI, para pendirinya di-PHK. Selanjutnya, mereka sepakat berjuang menggugat sampai akhir.
Maka, film ini memberikan wawasan mendalam tentang hak-hak pekerja. Susahnya mendirikan serta mempertahankan serikat pekerja di dunia jurnalistik. Bisa jadi, rasa susah ini juga dialami oleh kalangan pekerja pada umumnya, seperti di pekerja bidang kelautan/perikanan, serta pekerja di perusahaan lainnya.
Entah, mengapa seperti momok dan monster bagi para manajemen dan pemilik perusahaan ketika terendus... terdengar... pekerja-pekerja mereka akan mendirikan serikat. Padahal, masih akan, tapi seakan-akan sudah mengancam keberlangsungan seluruh kehidupan perusahaan.
Isu perburuhan di Bali

Jumat malam itu, dari nobar berlanjut ke diskusi AJI Denpasar bersama DFW Indonesia, LBH Bali, dan Federasi Serikat Pekerja. Mereka adalah Laode Hardiani dari Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Ignatius Rhadite dari LBH Bali, dan Ida I Dewa Made Rai Budi dari Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), dengan moderator Ketua Bidang Advokasi AJI Denpasar, I Wayan Widyantara atau akrab dipanggil Ara.
Ida I Dewa Made Rai Budi menegaskan bahwa serikat pekerja adalah wadah bagi pekerja untuk mengorganisir diri, bukan sekadar tempat mencari perlindungan saat menghadapi masalah di tempat kerja.
”Serikat pekerja itu ibaratnya seperti rumah sakit. Biasanya, serikat pekerja baru dibentuk ketika para pekerja sudah ada masalah. Padahal, harusnya serikat pekerja dibangun dan dikuatkan sejak awal,” ungkapnya.
Dampak Undang-Undang Cipta Kerja yang dinilai mempersempit ruang gerak serikat pekerja. Pemerintah dan pengusaha sering melihat serikat sebagai momok atau ancaman, sehingga tidak perlu ada serikat pekerja.
Laode Hardiani mengangkat persoalan buruh perikanan yang bekerja dengan risiko tinggi di laut. ”Mereka bertaruh nyawa saat bekerja. Jaminan Sosial keselamatan kerja, serta Upah yang layak menjadi isu utama yang harus diperjuangkan,” katanya.
Ia juga menyoroti ancaman dan diskriminasi yang sering dihadapi para pekerja di kapal penangkap ikan. Upaya-upaya pemberangusan buruh yang bergabung dalam Forum Solidaritas Pekerja, yang dianggap sebagai serikat tandingan.
Selanjutnya dari perspektif hukum, Ignatius Rhadite dari LBH Bali memaparkan sepanjang 2023–2024, kasus perburuhan di Bali, tercatat 42 kasus.
”Berserikat menjadi langkah penting untuk memperjuangkan hak-hak pekerja, mengingat ancaman PHK dan eksploitasi terus mengintai. Dengan berserikat, pekerja bisa lebih sejajar dengan pemilik modal,” tegas Radhite.
LBH Bali mencatat dalam studi kasusnya melalui catatan dari media, terdapat 10 kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di isu perburuhan pada tahun 2024 di Bali. Total korbannya terdata sebanyak 1.665 orang (lihat tabel).
Dalam analisanya, faktor yang berkontribusi adalah masifnya penerapan kontrak kerja jangka pendek pascapengesahan UU Cipta Karya. Selanjutnya Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2019 mengenai penyelenggaraan tenagakerjaan juga mengakomodir sistem kerja harian (daily worker).
Maka, menekankan bahwa film "Cut to Cut" ini menjadi cermin bagi jurnalis tentang risiko PHK yang bisa menimpa siapa saja, termasuk mereka yang bekerja di industri media.
”Kami berharap serikat pekerja tidak hanya tumbuh di kalangan jurnalis, tetapi juga di berbagai sektor lainnya di Bali,” ujarnya.
Diskusi ini menjadi momentum penting dalam meningkatkan kesadaran pekerja di Bali tentang pentingnya berserikat, serta memperjuangkan hak-hak mereka dalam menghadapi dinamika ketenagakerjaan yang terus berkembang.
Dikutip dari hasil Riset AJI-FSPM Independen tahun 2023, hingga awal 2015, berdasarkan data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Federasi Serikat Pekerja Media (FSPM) Independen, jumlah serikat pekerja media di Indonesia hanya 38 serikat pekerja. Padahal, total media di Indonesia mencapai 2.000. Jumlah serikat pekerja media tersebut, sangat minim dibanding secara jumlah media. Jumlah serikat pekerja yang aktif juga hanya 24 serikat pekerja media.
Tingginya ketimpangan antara jumlah perusahaan media dan serikat pekerja ini merupakan ironi. Sebab, selama ini media kerap menyuarakan nilai demokrasi dan pemenuhan hak asasi manusia. Kenyataannya, soal kebebasan berorganisasi di sektor media kurang tumbuh dengan baik.
Ada sejumlah penyebab dari minimnya jumlah serikat pekerja media ini. Faktor yang paling dominan adalah karena kurangnya kesadaran untuk berserikat. Selama ini, pengorganisasian serikat pekerja lebih banyak bertumpu pada jurnalis. Keterlibatan non-jurnalis dalam serikat pekerja juga relatif minim.
Hasil riset pekerja media

Buruh media di berbagai wilayah Indonesia masih dieksploitasi perusahaan media. Hasil riset AJI pada Februari-April 2023 menemukan hampir 50 persen upah jurnalis masih di bawah upah minimum regional (UMR).
Ada pula yang menyatakan upah mereka tidak menentu atau mendapat upah dari komisi iklan. Bahkan, pemotongan gaji saat pandemi Covid-19 tahun 2020 masih ada yang berlangsung hingga 2025, saat tulisan ini dimuat.
Saat riset, AJI melibatkan 428 jurnalis di berbagai daerah. Sebanyak 52,6 persen jurnalis memiliki hubungan kerja waktu tertentu atau kontrak dan 11,2 persen perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau tetap.
Miris juga, jurnalis dengan status pekerja tetap itu ada yang tidak mendapat upah bulanan. Mereka mendapatkan upah berdasarkan satuan hasil atau jumlah berita yang tayang. Jadi, apa yang membedakan hak mereka dengan pekerja kontrak?
Permasalahan lainnya muncul pada riset tersebut, yakni penghormatan dan perlindungan terhadap hak perempuan masih sangat kurang. Hanya ada 11,2 persen perempuan yang mendapat hak cuti dengan upah dibayarkan ketika haid pada hari pertama dan kedua. Ketika melahirkan, ada jurnalis perempuan menyebutkan tidak bekerja dan tidak mendapat upah. Meski ada pula perusahaan media yang meminta perempuan tidak bekerja saat melahirkan.
Gelombang PHK dialami ribuan pekerja media sejak pandemi Covid-19 hingga 2024. Mirisnya, ada media yang kerap mengkritisi isi Undang-Undang Cipta Kerja dan peraturan turunannya, justru tetap menggunakan undang-undang tersebut untuk PHK buruh media. Nilai pesangonnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Para pekerja media ini tidak berdaya menghadapi PHK, pemotongan upah, dan berbagai kasus ketenagakerjaan lainnya. Pasrah...
Data FSPM Independen pada 2015 terdapat 40 serikat pekerja media di Indonesia. Namun, tidak banyak serikat pekerja media yang aktif. Hanya sebagian yang masih menggelar rapat pengurus secara rutin, penarikan iuran anggotanya tidak berjalan, dan tidak memiliki sekretariat. Akibatnya, serikat-serikat ini pada umumnya aktif ketika terjadi PHK atau sengketa ketenagakerjaan di perusahaan media.
Jenis serikat pekerja media yang ada di Tanah Air adalah serikat pekerja lintas perusahaan. Contohnya Serikat Pekerja Lintas Media (SPLM) di Jawa Timur, SPLM Jakarta, SPLM Jawa Tengah, dan SPLM Lampung. Namun kendalanya, serikat lintas perusahaan ini tidak bisa mewakili anggotanya untuk berunding membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Mereka hanya bisa mendampingi ketika terjadi persoalan di tingkat hulu seperti PHK, pemotongan gaji, dan semacamnya.
Berjuang sampai akhir

Jika di awal film, pekerja media PHK memilih berganti profesinya menjadi ojol, karena merasa tak memiliki kemampuan lain. Hampir di akhir film, kita mendapati pekerja media yang juga ibu dari anak-anaknya mendapati rayuan manajemen.
Jurnalis perempuan mendapat tekanan dari manajemen perusahaan. Keluarga dan anak menjadi narasi rayuan untuk tidak ikut dalam SPCI. Sejumlah uang ditawarkan sebagai iming-iming.
Manajemen memberikan opsi sejumlah uang. Ia diingatkan soal bagaimana nasib anaknya jika tetap memilih SPCI. Siapa tidak tergiur dengan uang dengan jumlah tak sedikit. Tetapi apakah iya, perjuangan itu ia hentikan di sini. Ia pun memilih untuk menyelesaikan perjuangan itu sampai akhir.
Bahkan sutradara yang juga ada dalam film dokumenternya, Faridl, tak menyangka manajemen lupa dengan dedikasinya bersama teman-teman jurnalis seperusahaan “setia” lebih dari lima tahun bertahan, memberikan beragam penghargaan jurnalistik yang bergengsi. Beginikah perusahaan memandang kami?
Pada akhir riset, AJI menyerukan di ranah media:
- Mengajak buruh media untuk membentuk serikat pekerja di perusahaan media atau lintas perusahaan media sebagai upaya menaikkan posisi tawar untuk menghentikan berbagai eksploitasi terhadap buruh media. Selain itu, negara harus menjamin kebebasan berserikat buruh media dengan mengakui serikat lintas perusahaan sehingga bisa mewakili anggotanya dalam membuat Perjanjian Kerja Bersama
- Dewan Pers dan pemerintah perlu memastikan eksploitasi buruh media agar dihentikan dengan segera, dan memastikan hak normatif buruh media dipenuhi perusahaan media. Mulai dari soal upah layak, asuransi dan dilindungi keselamatan kerjanya. Normalisasi praktik buruk di media dapat merusak demokrasi karena buruh media tidak dapat bekerja secara profesional dan tidak bisa menghasilkan karya jurnalistik yang berkualitas
- Perusahaan media untuk menghentikan eksploitasi terhadap buruh media dan memenuhi hak-hak buruh perempuan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Peraturan Dewan Pers tentang Standar Perusahaan Pers juga mengamanatkan agar perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada jurnalis dan pekerjanya. Ini artinya perusahaan yang masih mengeksploitasi buruh media berarti tidak memenuhi standar Dewan Pers
- Pemerintah dan DPR mencabut Undang-Undang Cipta Kerja dan Peraturan turunannya yang terbukti merugikan buruh media dan buruh pada umumnya.
Semoga segara pengusaha itu sadar. Serikat pekerja itu keniscayaan, bukan momok pembangkrutan usaha.