Feminisme: Kesadaran dan Kebebasan

Seorang filsuf perempuan asal Prancis yakni Simone de Beauvoir memperjuangkan hak-hak perempuan di tengah budaya patriarki masa itu. Ia ditemani oleh sang kekasih yakni Jean Paul-Sartre hingga akhir hayatnya. Beavouir tidak saja menyuarakan kebebasan melalui teorinya, melainkan dari laku hidupnya sendiri. Hal ini terbukti ketika menjalin hubungan dengan Sartre, Ia memilih hubungan bebas, tidak menikah, dan mendobrak nilai-nilai masyarakat. Biarpun semasa hidupnya mereka bebas, tapi di akhir hayat, pusara mereka bersebelahan menandakan ikatan cinta yang kuat walaupun menentang nilai-nilai tradisional.
Pikiran Beavouir mengenai hak perempuan tak lepas dari aliran existentialism, yakni manusia merupakan esensi atau manusia memiliki caranya untuk ber-ada. Karena manusia adalah makhluk yang sadar, maka manusia bebas memiliki kehendak untuk menentukan caranya ber-'ada'. Kesadaran itulah yang diperjuangkan oleh seorang Beavouir melalui filsafat feminin existentialism. Kesadaran seorang perempuan jangan sampai diopresi, dieksploitasi, dan dimanfaatkan oleh kaum laki-laki melalui berbagai bidang, sebut saja agama, politik, budaya, dan sosial.
Kemudian, apakah ketika seorang perempuan dengan sadar bahwa dirinya memiliki kehendak bebas atas tubuh, pikiran, dan perasaan, maka Ia akan menjadi seorang feminin? Tentu Ia sudah selaras dengan paham feminin, tetapi Beavouir maupun Sartre tidak selesai hanya menjadi bebas saja. Ada “Konsekuensi” yang melekat oleh manusia lain ketika seorang perempuan memilih untuk bebas. Misal, ketika seorang perempuan memiliki kehendak untuk menjadi seorang pemimpin, memilih untuk menunda menikah maka masyarakat akan menilai bahwa perempuan tersebut sudah keluar dari hakikatnya. Masyarakat kita mengenal kalau seorang perempuan harus menurut, welas asih, dan bekerja sebatas domestik saja, tidak diperuntukkan untuk publik. Sehingga ketika ada perempuan yang berusaha mendobrak, maka masyarakat akan mengecap perempuan itu sebagai perempuan yang tidak paham hakikatnya.
Konsekuensi yang didapat adalah harga yang harus dibayar oleh seorang perempuan ketika mempunyai kesadarannya sendiri dan hak untuk memilih. Aliran feminin timbul untuk menyadarkan masyarakat—tidak hanya perempuan—bahwa perempuan dipandang sebagai objek, dan perempuan bukanlah makhluk yang dilahirkan melainkan makhluk yang dibentuk oleh masyarakatnya. Misal di dalam agama, perempuan diciptakan untuk mendampingi seorang lelaki. Istilah mendampingi tersebut melekat pada alam bawah sadar perempuan dan diperkuat oleh masyarakatnya sehingga perempuan tidak memiliki hak untuk memilih dan berujung patuh terhadap lelaki.
Padahal perempuan memiliki kehendak untuk dipandang setara, tidak diberikan tugas atau cap yang berasal dari masyarakat. Kisah cinta antara Sartre dan Beavouir adalah kisah cinta yang benar-benar dilandasi antara dua individu yang saling mencintai, tidak ada nilai tradisional, nilai modern, yang mereka gunakan untuk menjalin hubungan. Cinta mereka dilandasi dengan pikiran, perasaan, kebebasan, dan kesetaraan, walaupun di masa itu mereka harus menerima konsekuensinya.
Beberapa kepercayaan tradisional dalam suatu kelompok masyarakat juga kerap melabeli perempuan dengan harga, atau perempuan menjadi alat transaksi, diperjualbelikan, sehingga memperkuat alasan bahwa perempuan adalah objek. Tidak dapat setara, karena sudah dibeli oleh sang lelaki. Satu pembahasan mengenai hal tersebut terdapat pada aliran feminin radikal, bahwa dari aspek fisiologis perempuan dilekati dengan sikap lembut, lemah, pasrah, dan pasif, sementara lelaki kebalikannya. Sifat yang dilekatkan oleh fisiologis itu murni berasal dari konvensi masyarakat yang patriaki tidak secara realitasnya. Tujuannya? Sudah pasti untuk mendominasi perempuan.
Di Indonesia sendiri, sudah banyak yang menyuarakan paham feminisme terutama melalui karya sastra, seperti Eka Kurniawan dalam “Cantik Itu Luka”, Oka Rusmini dalam “Kenanga”, Ayu Utami dalam “Saman”, bahkan kita dapat melihat perempuan yang mendobrak melalui roman terkemuka karya Bapak Pram dalam “Bumi Manusia”. Film seperti “Gadis Kretek” yang diadaptasi dari novel karya Ratih Kumala juga turut menampilkan nilai-nilai feminisme. Pada masa kolonialisme, RA Kartini juga turut menyuarakan hak-hak perempuan melalui tulisan dan tindakannya. Masyarakat kita sendiri masih jauh dari kata sadar akan kedudukan perempuan yang setara terhadap lelaki, perempuan bukanlah objek dan bukan pula sarana pelepas hasrat seksual yang tersirat dalam kata “mendampingi”.
Bahkan terdapat pendapat di masyarakat umum, ketika seorang suami meminta berhubungan tubuh maka istrinya dilarang menolak—apabila perempuan itu tidak menstruasi, mengandung, habis melahirkan, dan sakit. Seakan-akan lelaki adalah mereka yang haus akan bersetubuh dan perempuan harus mengiyakan. Jika kita tarik kembali, bersetubuh merupakan kesepakatan dan kenikmatan bukan secara biologis saja melainkan ada kenikmatan cinta—tentu saja harus dibangun dengan kesepakatan dan tidak ada pihak yang mendapat tekanan.
Artinya, feminisme adalah perihal kesadaran yang ingin digugah untuk mengembalikan hak-hak perempuan. Sebagai masyarakat Indonesia, kita mesti menyadari apabila ada nilai atau bentuk tindakan yang menekan perempuan maka kita mesti meluruskan dan membenarkan. Bagi lelaki ini dapat menjadi pemahaman bagaimana memandang, bersanding, dan menjalin hubungan dengan perempuan bahwa mereka adalah subjek bukan objek.