Warga Masih Main Hakim Sendiri, Kriminolog UNUD Sebut Ada 3 Penyebab

Denpasar, IDN Times – Pengeroyokan oleh warga terhadap terduga pelaku tindak pidana hingga menyebabkan yang bersangkutan meninggal dunia, masih terjadi di Bali. Belum lama ini, di wilayah hukum Polsek Kuta Utara, terduga pencuri laptop meninggal setelah dihakimi warga. Terduga pelaku, Tono Prihadi (51) warga asal Kabupaten Jember, Jawa Timur ini menghembuskan nafas terakhir setelah empat hari dirawat di RSUP Sanglah pada Selasa (16/6).
Kanit Reskrim Polsek Kuta Utara Iptu Androyuan Elim membenarkan meninggalnya pelaku jambret Tono. Korban kepergok mencuri sebuah laptop milik Kevin Putu (20) di Kawasan Canggu, Kuta Utara pada Jumat (12/6). Saat aksinya, diketahui Tono berupaya lari menuju arah temannya yang sedang menunggu di atas motor, lalu ia diteriaki maling dan dikejar oleh korbannya.
Korban berhasil menarik kerah baju pelaku hingga terjatuh dari sepeda motor kemudian dihajar hingga babak belur. Tono lalu dibawa ke rumah sakit karena tak sadarkan diri, kemudian dinyatakan mengalami gegar dan pendarahan di otak.
1. Kejadian serupa juga terjadi pada awal 2020

Selain itu, pada Rabu (17/6) pukul 11.30 Wita, di wilayah Hukum Polsek Kuta, seorang warga negara Amerika Serikat bernama Marcus Dorian Price (35) asal Texas tertangkap warga setelah mencuri sebuah cincin emas 1,83 gram Toko Emas Surya di Jalan Kendedes Ruko nomor 9 Kuta. Saat itu Marcus sengaja melihat-lihat perhiasan di etalase kaca hingga pemilik toko emas memberikan cincin kepada pelaku untuk dicek.
Sayangnya, saat pelapor sedang mengecek harga serta melayani pembeli lain, Marcus memasukkan cincin ke kantong celananya dan bergegas menuju sepeda motor. Korban segera meneriaki pelaku yang berupaya kabur. Beberapa warga berhasil mengejar dan menangkap pelaku di depan vihara di Jalan Blambangan, Kuta, Badung. Tindakan terduka pelaku membuat warga emosi. Nyawa Marcus masih bisa terselamatkan.
Dalam catatan IDN Times, awal tahun ini, tepatnya pada Januari 2020, seorang terduga pencuri helm asal Kabupaten Jember Jawa Timur bernama Muhammad Lutfi (26) juga meninggal akibat amukan massa. Dalam video viralnya, Lutfi mendapat penganiayaan di pos polisi depan Monumen Bom Bali, Legian pada Jumat (24/1) sekitar pukul 12.30 Wita.
Kanitreskrim Polsek Kuta Iptu I Putu Ika Prabawa saat itu mengatakan bahwa Lutfi sempat dikira maling helm, hingga warga menganianya beramai-ramai. Belakangan diketahui helm milik Lufti sama persis dengan milik korbannya, hanya saja berbeda warna. Pun saat kejadian, sesuai dalam rekaman CCTV (Closed Circuit Television) terlihat gerak-gerik Lutfi yang rupanya diketahui saat itu kondisi Lutfi sedang linglung.
Akibat penganiayaan tersebut, korban mengalami koma dan dirawat di RSUP Sanglah dan dinyatakan meninggal dunia pada Jumat (24/1) pukul 21.00 Wita. Atas kasus ini pihak kepolisian menetapkan empat orang tersangka penganiayaan.
2. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum bisa jadi faktor penyebab

Kriminolog Universitas Udayana (Unud), Dr Gde Made Swardhana SH MH saat dihubungi IDN Times melalui sambungan telepon pada Jumat (19/6), menyampaikan bahwa peristiwa main hakim sendiri tersebut didasari oleh beberapa alasan.
Pertama, mungkin masyarakat sudah kesal karena kejadian serupa berulang kali terjadi, meskipun ada kemungkinan oleh orang yang berbeda. Sehingga kekesalan masyarakat tersebut dilimpahkan dalam kemarahan yang luar biasanya (pengeroyokan) terhadap si pelaku.
“Artinya itu sudah berulang kali peristiwanya terjadi di desanya atau di kampungnya atau di masyarakat. Yang tidak henti-hentinya atau tidak bosan-bosannya mereka melakukan perbuatan itu. Mungkin saja dia yang terakhir yang menderita apes. Bisa saja orang lain yang ke sana sebelumnya,” terang Gde Made Swardhana.
Kedua, masyarakat sudah tidak mulai percaya dengan penegakan hukum. Mereka menganggap bahwa perbuatan-perbuatan tindak pidana semacam itu hukumannya begitu ringan. Sedangkan bagi sekelompok masyarakat bisa jadi menganggap bahwa perbuatan pelaku tersebut merupakan perbuatan yang sangat merugikan, baik dari segi keamanan, ketertiban, kenyamanan, hingga kekeluargaan.
Dan yang ketiga adalah dikarenakan luapan emosional yang demikian, akhirnya menghakimi sendiri. Sebelum akhirnya diserahkan ke kepolisian.
“Tapi itu dari perspektif kalau kita melihat mengapa hal itu sampai terjadi. Tapi terkait dengan aturan hukumnya, itu kan sudah termasuk sudah menghakimi sendiri yang bisa-bisa juga diancam dengan pidana pengeroyokan tadi. 170 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana),” ungkapnya.
3. Pelaku pengeroyokan bisa dijerat pidana pengeroyokan

Menurut Gde Made Swardhana, kejadian seperti ini diungkapkan tidak hanya terjadi di Bali. Namun ia menilai memang harus ada yang digaris bawahi dalam kasus semacam ini. Walaupun dikatakan masyarakat harus selalu sadar hukum, apakah orang mencuri juga tidak sadar hukum? Pertanyaan tersebutlah yang ada di benak masyarakat sehingga sampai terjadi main hakim sendiri.
Dalam hal ini menurutnya kembali ke penengakan hukumnya. Kasus semacam pencurian kerap kemudian mendapatkan hukuman ringan. Hal itu membuat masyarakat menjadi gerah.
Aksi main hakim sendiri, apalagi sampai ada pihak yang meregang nyawa, menurutnya sudah masuk ranah kejahatan. Jadi, siapapun bisa melaporkannya, terlebih bila pihak kepolisian yang mengetahui kejadian tersebut.
Kepolisian wajib menyelidiki mengapa sampai menyebabkan meninggal dunia. Dengan berpegang lebih dulu pada asas “mereka (terduga pelaku tindak pidana) tetap tidak bersalah”. Namun sejauh pengamatannya di Bali, pihak kepolisian tetap melakukan penindakan terhadap pelaku pengeroyokan tersebut.
“Tidak harus keluarganya (yang melapor). Ya kalau dia tidak punya keluarga di sini, berarti mereka (penegak hukum) kan diam. Kalau itu sudah masuk kategori kejahatan siapa saja boleh (melaporkan),” ungkap Made Swardhana.
Pelaku pengeroyokan bisa dijerat pidana pengeroyokan dengan sangkaan Pasal 170 KUHP. Namun dalam beberapa kasus juga bisa mengarah ke pasal 351 KUHP, 353 KUHP dan 355 KUHP.