Inisiatif Program Tantri, Upaya Pencegahan Perkawinan Anak di Bali

Denpasar, IDN Times - Jerat perkawinan anak di Bali masih mengintai generasi penerus Pulau Dewata. Pasalnya, tren kasus kekerasan sepanjang 2021 hingga 2024 mengalami peningkatan, dari 300-an kasus menjadi 400 lebih kasus kekerasan. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2019 ada 23,4 persen anak perempuan usia 15–18 tahun sudah menikah dan hamil.
Sementara itu, tahun 2024 sebanyak 368 pengajuan dispensasi kawin di Bali. Dispensasi kawin atau nikah adalah surat izin menikah khusus bagi pasangan calon suami maupun istri yang berusia di bawah 19 tahun (usia legal pernikahan di Indonesia). Melihat fenomena tersebut, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Daerah Bali menginisiasi Program Tantri, sebagai upaya pencegahan perkawinan anak di Bali. Bagaimana inisiatif Program Tantri ini akan berjalan? Berikut pembahasan selengkapnya.
Kisah Ni Diah Tantri menjadi inspirasi, semangat perlawanan perempuan

Manajer Program Tantri, Ni Made Tariani (26), menjelaskan penamaan Tantri terinspirasi dari kisah Ni Diah Tantri sebagai tokoh perempuan dengan semangat perlawanan atas kezaliman raja yang berkuasa. Sosoknya menjadi inspirasi kisah lokal perjuangan kesetaraan gender di Bali.
Tari melanjutkan, uji coba dari inisiatif Program Tantri telah berlangsung sejak 2022. Tahun ini, ada rincian mendalam mulai dari pendekatan hingga keterlibatan, dan isu perkawinan anak harus menjadi atensi semua pihak.
“Perkawinan anak seperti fenomena gunung es banyak yang tidak terlapor, banyak yang tidak kita lihat gitu ya, ini bukan isu perempuan saja dan bukan hanya isu individu semata, tapi ini bisa jadi isu publik,” ujar Tari pada pertemuan perdana inisiatif Program Tantri di Harris Hotel & Conventions Denpasar Jumat lalu, 24 Oktober 2025.
1. Pendekatan Socio-Ecological Model (SEM) dengan lima aktivitas utama

Inisiatif Program Tantri ini menggunakan pendekatan Socio-Ecological Model (SEM) yang menyasar lima intervensi. Pendekatan ini digunakan karena perkawinan anak adalah masalah sistemik yang tidak dapat diselesaikan secara individu. Adapun lima sasaran intervensi itu di antaranya tingkat individu, interpersonal, komunitas, kebijakan dan layanan, serta advokasi publik.
Sementara itu, ada lima rancangan aktivitas utama untuk mencapai pendekatan tersebut. Pertama, safe schools atau sekolah aman dengan membentuk sekolah yang aman dan inklusif, melatih guru, dan mengintegrasikan pendidikan seksual komprehensif. Kedua, family space atau ruang keluarga yakni memberdayakan orang tua agar lebih mampu melindungi anak dari kekerasan.
Ketiga, multi-stakeholder forum atau forum multi-pihak yakni keterlibatan berbagai pihak. Keempat, interactive videos atau video interaktif yaitu menggunakan media interaktif agar remaja belajar dengan cara kreatif. Kelima, exhibition & advocacy atau pameran dan advokasi yakni mengangkat isu melalui seni dan budaya Bali untuk meningkatkan kesadaran publik.
“Sekolah punya peran yang penting, kita akan lewat sekolah juga, di mana nanti sekolah berupaya membuat ekosistem dan juga sistem layanan dan rujukan gitu,” tutur Tari.
2. Kolaborasi lintas sektor menjadi napas inisiatif Program Tantri

Tari menegaskan, inisiatif Program Tantri untuk mencegah perkawinan anak di Bali dapat berjalan efektif dengan keterlibatan lintas sektor. Selain keterlibatan anak, orangtua, dan sekolah, level pembuat kebijakan juga menjadi sasaran. Kelompok hukum, adat, dan perlindungan sosial berperan dalam memastikan regulasi nasional dan adat berjalan seiring untuk perlindungan perempuan dan anak. Selain itu, peran kelompok edukasi dan kesehatan keluarga juga penting untuk terlibat bersama.
“Kelompok ini menitikberatkan pada pencegahan melalui pendidikan dan pemberdayaan keluarga,” kata dia.
Perannya berbagai macam, mulai dari edukasi hingga penguatan kapasitas pendamping dan penyuluh. Pihaknya juga menyasar tiga titik lokasi sebaran inisiatif dan kolaborasi Program Tantri berdasarkan kondisi geografisnya. Pertama ada di Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng mewakili geografi wilayah pesisir Bali. Kedua, di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem (wilayah pegunungan atau rural). Ketiga, berada di Kecamatan Denpasar Selatan (wilayah urban atau perkotaan).


















