Mendengar Cerita Cucu Jadi Korban Bully di Sekolah, Gimana Mencegahnya?

Denpasar, IDN Times - Komang Merta risau dengan berbagai kasus kekerasan, seperti kekerasan seksual yang menimpa anak-anak. Hampir setiap hari, perempuan berusia 54 tahun ini menjaga sang cucu yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) dan taman kanak-kanak (TK).
Merta langsung cemas setelah mendengar sang cucu menceritakan kasus kekerasan di sekolahnya. Bentuk kekerasan itu seperti perundungan, perkelahian, hingga terluka, dan sebagainya. Cucunya sendiri pernah menjadi sasaran perundungan. Merta mengarahkan sang cucu agar segera melapor kepada guru.
“Kalau misalnya ada kejadian seperti itu, saya arahkan mereka lapor langsung ke gurunya maupun pengawas,” kata Merta kepada IDN Times, Sabtu (28/6/2025).
Merta juga mencemaskan kasus penculikan terhadap anak. Meski cemas, Merta bersyukur para guru di TK cucunya, rutin berjaga di depan gerbang sekolah. Merta hampir setiap hari menjemput cucunya sepulang sekolah. Menurutnya, para guru akan memastikan penjemput anak-anak adalah keluarga. Termasuk orang yang telah dikenali oleh guru dan anak-anak.
“Para gurunya saat masuk atau pulang sekolah pasti sudah berjaga di pintu masuk sekolah, memastikan yang jemput muridnya adalah yang sudah mereka kenal,” ujarnya.
Selain kewaspadaan, apa peran orangtua dan keluarga anak mencegah kekerasan? Berikut ini ulasan selengkapnya.
1. Keluarga menjadi pelopor tidak melakukan kekerasan

Ketua Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Provinsi Bali, Ni Luh Gede Yastini, mengatakan orangtua adalah pelopor utama agar tidak melakukan kekerasan kepada anak. Orangtua ibarat kompas bagi anak-anaknya agar tidak mencontoh kekerasan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, orangtua dan keluarga terdekat pelaku kekerasan akan terancam pidana yang lebih besar dibandingkan orang lain.
“Orangtua agar benar-benar mengawasi anak bukan dalam artian mengekang, tetapi memberikan batasan-batasan yang jelas,” kata Yastini kepada IDN Times.
2. Orangtua dan keluarga perlu tanggap jika anak jadi korban kekerasan

Mengenali perilaku anak adalah modal orangtua sehari-hari. Upaya mengenali anak ini akan berguna untuk mengidentifikasi adanya tanda-tanda kekerasan terhadap anak. Orangtua dapat menyadari bahwa perilaku anak berubah.
“Telusuri ketika terjadi perubahan perilaku pada anak, telusuri atau gali apa yang terjadi pada anak,” ujar Yastini.
Keluarga mampu menentukan solusi yang tepat dan adil pascamengetahui kronologi yang terjadi kepada anak. Jika anak menjadi korban kekerasan, orangtua dan keluarga terdekat wajib melapor. Laporan ini dapat ditujukan kepada kepolisian maupun mencari bantuan lembaga layanan perlindungan anak pada tingkat kabupaten atau kota, hingga Provinsi Bali.
3. Pelaku kekerasan seksual harus dihukum berat

Sekretaris Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Bali, Ni Luh Putu Anggreni, mengatakan rata-rata hukuman pidana kasus kekerasan seksual terhadap anak berkisar 7 tahun ke atas. “Rata-rata 7 tahun, yang agak berat 10 tahun. Biasanya pelaku orang dekat atau bapak guru itu tambah sepertiga lagi,” kata Anggreni kepada IDN Times.
Ketimpangan relasi antara korban anak dengan pelaku yang lebih dewasa, bagi Anggreni dapat menjadi pemberat bagi pelaku. Pada kasus pemerkosaan anak di Kabupaten Buleleng, meski dalam fakta persidangan korban anak adalah pacar pelaku, namun aparat penegak hukum harus memiliki perspektif bahwa korban menerima ajakan pelaku karena ada relasi kuasa. Pelaku telah dewasa memengaruhi korban anak dengan tipu daya dan iming-iming. Kasus ini jadi perbincangan karena pelaku hanya dapat vonis pidana 2 tahun penjara.