Melirik Skema Pembiayaan Berkelanjutan Pemasangan PLTS Atap di Bali

Denpasar, IDN Times - Rencana Bali menuju energi terbarukan tahun 2045 mendatang, turut melirik mekanisme investasi dari pengembangan energi terbarukan. Satu langkah mewujudkan Bali mandiri energi adalah melalui penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap.
Provinsi Bali telah mengatur mekanisme pemasangan PLTS Atap melalui Peraturan Gubernur (Pergub) Bali Nomor 45 Tahun 2019 Tentang Bali Energi Bersih. Regulasi itu memuat instruksi khusus implementasi energi bersih dalam bentuk PLTS atap pada bangunan hijau.
Syarat kapasitas pemasangan PLTS atap sebesar 20 persen dari kapasitas listrik terpasang atau luas atap untuk bangunan pemerintah dan swasta tertentu secara bertahap hingga tahun 2024. Regulasi itu memuat juga ketentuan tarif listrik hijau yang diberlakukan mulai 2022 sesuai ketentuan perundang-undangan.
Ketua Center for Community Based Renewable Energy (CORE) Universitas Udayana (Unud), Prof Ida Ayu Dwi Giriantari PhD, mengatakan pihaknya telah menyosialisasikan sistem kredit mandiri untuk energi terbarukan.
“Nah, ini sudah kita sosialisasikan berkali-kali ya dengan lembaga jasa keuangan,” kata Giriantari kepada IDN Times dalam jumpa pers Peta Jalan Kelistrikan di Bali 15 Juli 2025 lalu.
Meski begitu, pembiayaan hijau dalam pemasangan PLTS Atap di Bali ini menghadapi tantangan. Apa saja itu? Berikut ini ulasan selengkapnya.
1. Lembaga jasa keuangan dan kewajiban pembiayaan berkelanjutan

Giriantari menjelaskan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengatur adanya kewajiban bagi lembaga jasa keuangan untuk pendanaan hijau, termasuk pembiayaan berkelanjutan (sustainable financing). Namun, Giriantari mengamati OJK belum secara masif mengalokasikan sistem pinjaman ke arah energi terbarukan.
Giriantari aktif berdialog dengan OJK terkait pembiayaan berkelanjutan dalam sektor energi terbarukan. Melalui dialog itu, ada masalah yang dialami lembaga jasa keuangan.
“Permasalahannya banyak lembaga jasa keuangan itu belum bisa membuat mitigasi risiko kalau dia memberikan kredit untuk energi terbarukan,” kata Giriantari.
Perbandingan kredit energi terbarukan dengan sektor lainnya cenderung lebih lama. Giri mengamati tingkat pengembalian energi terbarukan masih di atas 3 tahun. Perawatan PLTS Atap jauh lebih panjang ketimbang kendaraan listrik yang telah terbuka lebar kesempatan kredit energi terbarukannya.
2. Menyarankan Bank Pembangunan Daerah (BPD) memberikan kredit lunak pemasangan PLTS Atap

Sebelumnya, BPD Bali telah mencoba pemberian kredit pada sektor energi terbarukan. Namun, bentuknya masih berupa kredit konsumen biasa. Giriantari berkata, pihaknya coba meningkatkan literasi kepada lembaga jasa keuangan tentang energi terbarukan. Harapannya, agar lembaga keuangan yakin untuk memberikan kredit di bidang energi terbarukan.
Menurutnya, rencana Bali mandiri energi terbarukan butuh eksplorasi edukasi dan pembiayaan. Misalnya, dengan memberikan kredit lunak kepada pegawai pemerintah provinsi yang ingin memasang PLTS Atap di rumahnya.
“Cara-cara itu yang harus dieksplorasi kembali, karena memang tidak semua bank paham model bisnisnya. Kedua, tidak semua paham risiko-risikonya,” ujar Giriantari.
3. Melirik pembiayaan cicilan dengan konversi listrik

Sementara Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengungkapkan pendanaan proyek PLTS khususnya PLTS Atap masih stagnan. Meskipun demikian, Fabby melirik adanya skema leasing untuk pemasangan PLTS Atap di rumah tangga. Skema pembayarannya secara cicilan melalui konversi jumlah konsumsi listrik per bulan.
“Jadi, ilustrasinya kalau saya pelanggan listrik, kalau saya pakai PLTS dan pelanggan listrik PLN ya, kalau saya menggunakan listrik dari PLTS, maka akan ada listrik yang berkurang dari PLN,” kata dia.
Fabby melanjutkan, skema ini tidak menambah beban baru, sehingga ada penghematan pembiayaan listrik PLN bagi pengguna PLTS.
4. Minat masyarakat masih rendah, bank kurang tertarik

Selain pembiayaan berkelanjutan dari bank energi dan swasta, menurut Fabby butuh kerja sama dengan organisasi yang konsen membahas isu energi terbarukan. Fabby mencontohkan sejumlah bank swasta telah bekerja sama dengan Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) untuk memberikan pembiayaan hijau.
Namun, pembiayaan berkelanjutan dari bank swasta belum masuk ke Bali. Fabby mengamati hal itu terjadi seiring dengan minat masyarakat Bali yang masih rendah dalam investasi di sektor energi terbarukan.
“Kenapa belum masuk ke Bali? Karena minat di Bali rendah. Nah, dengan ini kalau minatnya tinggi bank-bank swasta pun sudah mulai dengan skema-skema itu. Jadi nanti kita lihat perkembangannya seperti apa,” tutup Fabby.