Dispensasi Tinggi, KPAD Bali Minta Pemerintah Buat Regulasi Khusus

Denpasar, IDN Times - Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Provinsi Bali khawatir terhadap permohonan dispensasi kawin, sebagai celah hukum bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Sehingga, bagi Ketua KPAD Provinsi Bali, Ni Luh Gede Yastini, pemerintah dan aparat penegak hukum harus berkomitmen dalam pengawasan permohonan dispensasi kawin.
“Sejujurnya kalau kita di KPAD melihat dispensasi kawin ini kami agak khawatir dijadikan alat oleh orang-orang yang melakukan kekerasan seksual pada anak,” tutur Yastini resah di Kota Denpasar pada Jumat lalu, 24 Oktober 2025.
Dari pengawasan dan pendampingan bersama lembaga lainnya, pelaku akan mengajukan dispensasi kawin dan berharap tidak dikenakan sanksi pidana atas kekerasan seksual terhadap anak. Sebab, dalih pelaku akhirnya bahwa Ia telah menikahi anak itu.
Apa saja tantangan dan ancaman lainnya dalam dispensasi kawin ini? Berikut pembahasan selengkapnya.
1. Melihat data ada 200 lebih laki-laki dewasa sebagai mempelai ajukan dispensasi kawin dengan pasangan anak perempuan di bawah umur

Yastini mengatakan, dari temuan permohonan dispensasi kawin kepada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama di Bali, ada 200 lebih laki-laki dewasa sebagai calon mempelai pria yang mengajukan dispensasi kawin. Rinciannya, ada hampir 212 pengajuan dispensasi kawin laki-laki berusia di atas 20 tahun yang menikah dengan perempuan di bawah usia 19 tahun (usia legal menikah di Indonesia).
Sebab, ada kasus di Bangli bahwa anak perempuan ternyata korban kekerasan seksual dipaksa kawin secara adat dan disahkan secara negara dengan dispensasi kawin.
“Nah, ini menjadi persoalan. Kalau dispensasi kawin itu gak diperketat dan diloloskan begitu saja,” keluh Yastini khawatir.
Satu sisi, kekerasan seksual termasuk dalam delik aduan, membuat kasus semakin rumit dan merugikan korban anak perempuan. Ini terjadi saat satu desa hingga keluarga menutupi fakta bahwa anak perempuan adalah korban kekerasan seksual.
2. Yastini menegaskan, perkawinan tidak menghalangi proses pidana terhadap pelaku kekerasan seksual

Yastini tak memungkiri bahwa akan ada perdebatan bagi warga konservatif, untuk apa proses pidana padahal sudah dikawinkan. Bagi Yastini, perdebatan itu bukan jadi alasan bahwa sudah menikah dengan korban dapat terlepas dari jerat pidana pemerkosaan terhadap anak.
“Perkawinan itu tidak menghalangi pidana, seharusnya ya,” tegasnya.
Ia juga meminta kesadaran warga dan orangtua. Jika kehamilan sudah telanjur terjadi hingga pandangan konservatif menghindari zina, Yastini meminta orangtua harus mempertanyakan lagi apakah perkawinan menjadi satu-satunya solusi yang harus segera dilakukan.
Baginya, ini akan menjadi sulit karena adat dengan ketentuan mengikat di dalamnya. Membedah pandangan adat dengan kesadaran solusi lain untuk anak perempuan, bagi Yastini adalah tantangan berat dan harus diupayakan bersama.
2. KPAD Bali telah meminta pemerintah di Bali membuat regulasi yang menjembatani hukum adat dan nasional

Ada tantangan yang dihadapi dari celah dispensasi kawin di Bali. Mulai dari kontradiksi hukum adat dan hukum nasional. Secara adat, pernikahan secara adat dan agama harus didahulukan agar tidak membuat desa kotor secara niskala. Namun, secara nasional ada dispensasi kawin sebagai verifikasi awal, tapi satu sisi verifikasi ini belum tentu tegas.
“Kemudian KPAD meminta supaya gubernur bisa mengeluarkan kebijakan ini salah satunya adalah untuk menjembatani dua ini, hukum adat dan hukum nasional. Dispensasi dulu baru kemudian dikawinkan, jangan dibalik,” kata Yastini.

















