Believe Diputar di Bioskop Bali, Digarap Hanya 10 Bulan

Denpasar, IDN Times - Suasana ruang bioskop di mal kawasan Kota Denpasar penuh antusias penonton pada Sabtu, 2 Agustus 2025 saat film karya anak bangsa berjudul Believe-Takdir, Mimpi, Keberanian diputar. Sutradara beserta pemeran sekaligus menerima riuhan tepuk tangan di bioskop tersebut. Sutradara Rahabi Mandra menyampaikan, film berdurasi 110 menit tersebut adalah premis seorang anak laki-laki yang jauh dari ayahnya, dan mencoba memahami jalan ayahnya. Ia menyajikan kisah lebih dari sekadar jarak anak dengan orangtua akan tetapi pelajaran pengorbanan, makna perang, makna kesetiaan, makna cinta, hingga akhirnya tentang kepercayaan.
"Total sepuluh bulan hingga tayangnya. Tantangannya luar biasa, karena luar biasa sempit ya waktunya. Syutingnya 38 hari, persiapan 42 hari, skenarionya itu sebulan lebih sedikit. Sisanya ada waktu buat pause, buat ngedit, sama buat musik sama CGI," terangnya.
1. Penggarapan film action atau laga butuh timing yang tepat

Menurut Rahabi Mandra, bagian tersulit penggarapan film action yang menceritakan anak kolong ini adalah di timing. Mulai dari awal pembukaan film di adegan lari dan ledakan yang nyata bukan hasil dari Computer Generated Imagery (CGI) dan harus tepat. Contoh lain lagi adalah truk terguling dan terjadinya ledakan juga membutuhkan waktu yang tepat, karena adegan itu nyata adanya tanpa bantuan CGI. Adegan-adegan tersebut menuntut dirinya tentang ketepatan waktu agar tidak mengulang. Ini contoh yang sulit dalam penggarapan film action yang tidak ditemui di genre lainnya.
"Timing itu luar biasa sulit dan kami bekerja dengan 300 kru, dan banyak adegan besar misalnya kayak helikopter, kita bakar desa, desa kita buat sendiri. Helikopter harus datang tepat waktu ketika terbakar. Karena sekali terbakar, hangus. Kita gak punya set lain," katanya.
Meski 70 persen durasi film diisi oleh adegan laga pertempuran yang intens dan realistis, kekuatan utama Believe justru terletak pada sisi humanisnya. Kisah Agus yang diperankan Ajil Ditto, seorang pemuda dari keluarga tidak utuh yang kemudian memilih jalan hidup sebagai prajurit, menjadi benang merah emosional yang menggetarkan hati penonton. Dibalut dalam latar sejarah Operasi Seroja 1975, serta misi ke Timor Timur pada 1995 dan 1999, film ini membawa penonton menyelami konsekuensi psikologis dan sosial dari perjuangan membela negara.
2. Lokasi dibuat semirip mungkin dengan kondisi Timor Leste

Film yang disutradarai oleh Rahabi Mandra dan Arwin Tri Wardhana tersebut diadaptasi dari kisah nyata yang tertuang dalam buku biografi “Believe – Based on a True Story about Faith, Dream, and Courage” karya Valent Hartadi dan tim. Film ini menghadirkan perpaduan spektakuler antara aksi laga, drama keluarga, dan semangat pengorbanan. Lokasi syutingnya dilakukan di Pangandaran sebagai penggambaran Timor Leste, Bandung, Gunung Guntur Garut, dan Jakarta.
"Kami cari hutan yang vegetasinya mirip. Yang mirip Timor Leste itu digarut sebenarnya," katanya.
Atas pengalaman memproduksi film bertema perjuangan seperti Soekarno, Kadet 1947, hingga Gundala, produser Celerina Judisari (Ayie) membawa standar sinematik baru lewat Believe. Tak hanya soal teknis sinema, produksi juga ditopang oleh riset mendalam seputar sejarah dan militer, serta pelibatan langsung prajurit aktif dalam melatih para aktor agar tampil meyakinkan. Ratusan senjata, set kampung Timor Timur, hingga kantor gubernur dibangun khusus untuk keperluan film, yang bahkan menampilkan adegan penghancuran set dalam alur cerita.
3. Film Indonesia saat ini harus berkontribusi terhadap pembentukan karakter bangsa

Ia menyebutkan, bujet penggarapan film ini di atas rata-rata pembuat film drama pada umumnya, biasanya mencapai dua sampai tiga kali lipat. Sebagai film laga perang terbesar tahun ini, sekaligus bukti kuat bahwa penonton Indonesia mendambakan tayangan lokal dengan kualitas produksi tinggi dan cerita yang menyentuh. Rahabi yakin masyarakat Indonesia saat ini sangat membutuhkan film-film seperti Believe, dan film-film yang mengangkat nilai-nilai nasionalisme atau pratriotisme. Ia meyakini film semacam itu mampu membangun karakter anak muda Bangsa Indonesia.
"Gak ada yang mengambil jalur ini. Karena jalurnya tidak mudah, karena modalnya tidak murah, dan bikinnya harus bagus," jelasnya.
Dengan film ini, ia berharap karakter Bangsa Indonesia akan semakin lebih baik, baik pemerintahnya maupun masyarakatnya. Selain itu juga adanya kejujuran dalam praktik berbangsa dan bernegara.