Hukum Adat Lokika Sanggraha di Bali, Perempuan Mencari Keadilan  

Dibahas dalam ujian terbuka promosi doktor Ni Made Liana

Denpasar, IDN Times – Masyarakat Adat Bali barangkali sudah tidak asing lagi dengan istilah Lokika Sanggraha. Apa sebenarnya Lokika Sanggraha? Apakah anak-anak muda di Bali juga familiar dengan Hukum Adat ini?

Lokika Sanggraha adalah delik adat kesusilaan yang ada pada masyarakat adat di Bali. Dalam Kitab Adhigama, dijelaskan bahwa Lokika Sanggraha adalah hubungan percintaan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan di mana keduanya belum terikat suatu perkawinan yang sah menurut Hukum Nasional maupun Hukum Adat.

Lalu mengapa Lokika Sanggraha perlu dibahas dalam konteks pembaharuan Hukum Pidana Nasional? Berikut penjelasan Dosen Universitas Dwijendra, Ni Made Liana Dewi, dalam ujian terbuka promosi doktornya pada Jumat (13/5/2022), di Aula Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar. 

Baca Juga: Belajar dari Viral Pernikahan Perempuan di Bali, Ini Aturan Nyentana

1. Posisi perempuan dalam Lokika Sanggraha, menanggung penderitaan

Hukum Adat Lokika Sanggraha di Bali, Perempuan Mencari Keadilan  Ujian terbuka promosi doktor pada Jumat (13/5/2022) di Aula Fakultas Hukum Universitas Udayana. (IDN Times/Irma Yudhistirani)

Ni Made Liana menyampaikan Lokika Sanggraha dalam istilah zaman sekarang merupakan hubungan pacaran yang di dalamnya ada hubungan biologis didasarkan atas hubungan suka sama suka. Nah, di dalamnya ada janji dari pihak laki-laki untuk mengawini pihak perempuan, tetapi setelah terjadi kehamilan, pihak laki-laki mengingkari janjinya, dan meninggalkan perempuan tanpa alasan yang jelas. Dalam hal ini pihak perempuan pun menjadi korban.

“Lokika Sanggraha itu kan merupakan suatu perbuatan hubungan percintaan antara laki-laki dan perempuan yang sama-sama belum terikat perkawainan. Kalau istilah sekarang hubungan pacaran gitu ya,” jelasnya.

Menurutnya, hal ini belum diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Akan tetapi aturan ini ada dalam Masyarakat Adat Bali yakni di dalam Kitab Adhigama.

“Itu ada. Deliknya itu diatur. Namun dengan adanya perkembangan zaman, dirasakan sanksi yang khususnya Hakim dalam mengadili kasus delik Lokika Sanggraha ini mengacu pada Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Jadi, sanksinya dirasakan kurang memberikan rasa keadilan bagi pihak perempuan," jelasnya. 

“Itu dihukum paling lama 3 bulan. Jadi penderitaan yang dialami perempuan itu dari proses kehamilan 9 bulan. Belum lagi proses untuk melahirkan dan merawat anaknya. Itu adalah suatu penderitaan, tanggung jawab yang besar. Apalagi dalam hal ini laki-laki tidak mau bertanggungjawab,” jelas Ni Made Liana yang juga merupakan paralegal Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali Women Crisis Centre (WCC). 

2. Perlunya pasal di KUHP terkait dengan delik Lokika Sanggraha

Hukum Adat Lokika Sanggraha di Bali, Perempuan Mencari Keadilan  Ilustrasi Pasangan (IDN Times/Mardya Shakti)

Ni Made Liana menyampaikan bahwa fokus penelitiannya ini bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum kepada korban, khususnya perempuan dalam Lokika Sanggraha. Termasuk pula terhadap anak-anak yang dilahirkan. Ia menegaskan dalam hal ini berlaku bagi pasangan yang beragama Hindu dan tunduk kepada Hukum Adat di Bali.

“Saya menginginkan dari penelitian ini supaya pelaku dari delik Lokika Sanggraha itu dijerat dan diberikan sanksi yang tegas. Yang nantinya bisa dirumuskan dalam Peraturan Perundang-undangan yang ada di Indonesia. Khususnya Undang-undang Hukum Pidana di masa yang akan datang,” jelasnya.

Saat ini menurutnya upaya memberikan perlindungan hukum kepada korban delik Lokika Sanggraha masih kurang. Jadi pihak perempuan kurang mendapatkan keadilan karena penderitaan yang ditanggungnya luar biasa. Sehingga perlu dibuat suatu rumusan, suatu pasal dalam KUHP di masa yang akan datang yang menjerat pelaku.

Ia berharap agar ada efek jera dan setidaknya dapat mengurangi adanya perbuatan-perbuatan kesusilaan, khususnya delik Lokika Sanggraha atau yang ada padanannya dengan Sanggraha. Begitu pula yang terjadi di daerah-daerah lainnya di Indonesia.

3. Delik Lokika Sanggraha mengenal suka-sama suka dan terjadi kehamilan

Hukum Adat Lokika Sanggraha di Bali, Perempuan Mencari Keadilan  Ilustrasi hamil (IDN Times/Mardya Shakti)

Lalu bagaimana jika tidak terjadi kehamilan? Menurut Made Liana, apabila dalam hubungan pacaran tersebut terjadi hubungan biologis dan tidak terjadi kehamilan, maka pihak perempuan jarang mempermasalahkan hal ini.

Ie menegaskan bahwa dalam delik Lokika Sanggraha memang berdasarkan unsur suka-sama suka yang kemudian terjadi kehamilan. Serta terjadi ingkar janji dari pihak laki-laki.

“Yang membuat si perempuan itu malu dan merasa aib adalah adanya kehamilan yang tidak dipertanggungjawabkan oleh si laki-laki. Jadi dia akan berusaha mencari keadilan di sana. Apabila dia tidak dapatkan, maka prosesnya akan melalui proses hukum,” terang Ni Made Liana.

"Mengingat belum ada hukum positif di Indonesia yang mengatur hal ini, sehingga penyelesaian didasarkan pada Kitab Adighama. Acuan dari hakim berdasarkan yurisprodensi yang ada, yang telah diputus. Itu paling lama dihukum 3 bulan,” tambahnya. 

Sementara itu, dalam Hukum Adat Bali, sanksi bagi delik Lokika Sanggraha itu ada 3 macam. Pertama, sangaskara danda (hukuman dalam bentuk pelaksanaan upacara), kedua artha danda (hukuman berupa pembayaran sejumlah uang atau harta), dan ketiga jiwa danda (hukuman fisik dan psikis).

Ni Made Liana berpandangan bahwa apabila nantinya delik Lokika Sanggraha ini diatur dalam KUHP, maka bisa membantu pihak perempuan, terutama mengenai status anak yang akan dilahirkan, serta mendapatkan pengakuan dari ayahnya. Ia juga berpesan kepada para perempuan agar tidak mudah percaya bujuk rayu laki-laki.

4. Laki-laki harus mempunyai suatu kebesaran hati

Hukum Adat Lokika Sanggraha di Bali, Perempuan Mencari Keadilan  Ujian terbuka promosi doktor pada Jumat (13/5/2022) di Aula Fakultas Hukum Universitas Udayana. (IDN Times/Irma Yudhistirani)

Sementara itu, Ahli Hukum Pidana dari Universitas Dwijendra, Made Wahyu Chandra Satriana, juga menanggapi penelitian tersebut. Menurutnya, selaku kaum laki-laki, harus mempunyai suatu kebesaran hati dan kebesaran pikiran. Laki-laki dan perempuan sesungguhnya memiliki kedudukan yang sama, baik di hadapan Tuhan maupun di mata hukum.

“Di Indonesia juga negara hukum. Jadi setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum. Demikian juga dalam Hukum Adat Bali, ada kesetaraan gender di situ. Nah, bagaimana memperlakukan laki-laki dan perempuan itu pada kodratnya?” jelasnya.

Apabila di kemudian hari ada aturan yang menghukum laki-laki melakukan perbuatan layaknya suami istri yang menyebabkan kehamilan dan mengingkari janjinya, ia menyatakan setuju dengan adanya hukuman tersebut.

“Kita kembali kepada moral, etika bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi adat ketimuran. Di mana ada suatu penghormatan terhadap nilai-nilai moral, nilai adat budaya dan menjunjung tinggi perempuan sebagai ibu yang akan melahirkan anak-anak yang berkualitas di kemudian hari. Sehingga menjadi bangsa yang bermartabat dan menjadi bangsa yang besar,” tegasnya.

Topik:

  • Ni Ketut Sudiani

Berita Terkini Lainnya