TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kisah Juang Ida Dewa Agung Jambe, Pahlawan Nasional Asal Klungkung

Raja Klungkung dikenal heroik saat perang Puputan Klungkung

Raja dari Kerajaan Klungkung, Ida Dewa Agung Jambe ditetapkan sebagai pahlawan nasonal (Dok IDNTimes/Kadisos Klungkung Gusti Agung Putra Mahajaya)

Klungkung, IDNTimes - Raja dari Kerajaan Klungkung, Ida Dewa Agung Jambe ditetapkan sebagai pahlawan nasonal oleh pemerintah Republik Indonesia. Pengaugrahan gelar pahlawan ini, akan disampaikan langsung Presiden Jokowi pada saat upacara peringatan Hari Pahlawan pada Jumat (10/11/2023).

Lalu bagimana kisah perjuangan dari Ida Dewa Agung Jambe, sehingga sosoknya dikukuhkan menjadi pahlawan nasional pertama yang berasal dari Kabupaten Klungkung?

Baca Juga: Kisah Ida I Dewa Agung Istri Kanya, sang Raja Klungkung

1. Perang Puputan Klungkung berawal dari Patroli Belanda yang dianggap melanggar kedaulatan Kerajaan Klungkung

Miniatur ilustrasi perang puputan Klungkung 1908. (IDN Times/I Wayan Antara)

Penglingsir Puri Agung Klungkung, Ida Dalem Smara Putra menggambarkan sosok Ida Dewa Agung Jambe sebagai pemimpin yang mengutamakan kedaulatan di atas segala-galanya.

Seperti halnya pemimpin keturunan dinasti Kerajaan Gelgel-- yang kelak menjadi Kerajaan Klungkung-- Ida Dewa Agung Jambe tidak mau kompromi dengan penjajah. 

Hal ini juga yang membuat kolonial Belanda sejak lama ingin menyerang Kerajaan Klungkung. Apalagi pada saat itu, Kabupaten Klungkung masih menjadi pusat dari kerajaan-kerajaan di Bali.

"Ida Dewa Agung Jambe cerminan sosok masyarakat Bali, yang menempatkan kedaulatan dan kehormatan di atas segala-galanya," ungkap Ida Dalem Semara Putra yang juga ahli waris Ida Dewa Agung Jambe, pada Kamis (9/11/2023).

Ketegangan antara Kerajaan Klungkung, kata Ida Dalem Smara Putra, bermula dari patroli yang dilakukan oleh Kolonial Belanda di wilayah Gelgel atau di selatan Kerajaan Klungkung. Hal ini dianggap oleh raja sebagai pelanggaran dari kedaulatan. 

Patroli itu, dibalas warga dengan serangan ke pasukan Belanda. Peristiwa ini menewaskan 10 prajurit Belanda, termasuk pemimpinnya, yakni Letnan Haremaker.

Mendengar serangan tersebut, Kolonial Belanda murka dan menganggap Kerajaan Klungkung memberontak. Ini membuat Kolonial Belanda mengultimatum Kerajaan Klungkung untuk menyerah dengan batas waktu 22 April 1908.

“Dari catatan sejarah koran-koran Belanda pada masa itu, ketegangan di Klungkung sudah terjadi dari pertengahan bulan April 1908,” jelas Ida Dalem Smara Putra.

2. Dalam 6 hari pertarungan, Belanda terus mengirim pasukan dari Batavia

Dokumentasi perang Puputan Klungkung 1908.(Dok.IDNTimes/istimewa)

Ultimatum itu bukannya membuat Raja Klungkung Ida Dewa Agung Jambe takut, justru ia geram karena kolonial dianggap bersikap sewenang-wenang.

Kerajaan Klungkung ini juga menjadi salah satu kerajaan terkuat dan diwaspadai Belanda. Mengingat pada tahun 1849, pasukan Belanda pernah kalah telak dari Kerajaan Klungkung-- yang saat itu dipimpin Ida I Dewa Istri Kanya. Ketika itu jenderal berprestasi dari Belanda bernama Mayor Jendral A.V Michiels, tewas di tangan pasukan Klungkung.

Pengalaman ini yang membuat Belanda waspada, dan saat itu Kerajaan Klungkung menjadi salah satu kerajaan di Indonesia yang belum berhasil ditaklukkan kolonial.

“Bukannya mundur, pasukan Kerajaan Klungkung justru bersiap diri. Ini juga merespons kolonial Belanda yang menambah pasukan ke Bali dari Batavia pada 20 April 1908,” jelas Ida Dalem--yang juga merupakan penerus dari keluarga Kerajaan Klungkung.

Tanggal 21 April 1908, pasukan kolonial Belanda berlabuh di sekitar Pantai Jumpai dan langsung memborbardir wilayah Gelgel, Satria, dan Semarapura.

Masyarakat yang bersenjata keris dan tombak dengan berani menghalau serangan meriam dari kolonial. Pertarungan ini tidak mudah bagi Belanda, perjuangan rakyat Klungkung saat itu sulit dibendung. Belanda kehilangan cukup banyak prajuritnya, sehingga terus mendatangkan pasukan dari Batavia.

Sementara korban juga banyak bejatuhan dari prajurit Klungkung. Pertarungan melelahkan ini berlangsung selama 6 hari.

Baca Juga: Saksi Perang Puputan, Situs Pemedal Agung Perlu Restorasi

Berita Terkini Lainnya