TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Tips Lepas dari Pernikahan Tak Sehat di Mata Hukum

Berkaca dari kasus rekayasa penculikan perempuan di Tabanan

Ilustrasi Korban (IDN Times/Mardya Shakti)

Tabanan, IDN Times - Masih ingat rekayasa penculikan seorang perempuan muda di Kabupaten Tabanan? Kasus ini yang viral di media sosial (Medsos) beberapa waktu lalu ini melibatkan DA (18), perempuan asal Desa Pandak Gede, Kecamatan Kediri.

DA sampai sekarang masih dalam pemeriksaan pihak Kepolisian Resor (Polres) Tabanan  atas kasus keterangan palsu. Dari pemeriksaan sementara, DA merekayasa cerita penculikannya agar tidak dimarahi oleh sang suami karena pulang malam.

Ini tentu bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat, terutama yang sudah berumah tangga. Berikut tips dari Direktur Bali Woman Crisis Center (WCC), Ni Nengah Budawati SH MH.

Baca Juga: INFO: Korban Pelecehan Sebaiknya Ikut Peradilan Semu Sebelum Bersaksi

Baca Juga: Rekayasa Penculikan di Tabanan Naik Menjadi Keterangan Palsu

1. Jangan sampai perempuan berubah status dari korban menjadi pelaku

Ilustrasi Kekerasan. (IDN Times/Sukma Shakti)

Perempuan yang menghadapi masalah harus ditelusuri lebih penyebabnya. Ketika terjebak dalam pernikahan yang tidak sehat, bahkan sampai menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), ada baiknya selesaikan dulu masalah tersebut sampai tuntas dengan meminta bantuan dari pihak-pihak seperti keluarga hingga bantuan hukum.

"Jangan masalah belum selesai, justru melakukan tindakan balas dendam, misalnya sampai selingkuh hingga berbohong. Pada akhirnya tindakan tersebut menyeret perempuan ke masalah hukum atau pidana. Jangan sampai perempuan yang sebenarnya korban, malah berubah jadi pelaku di mata hukum," ujar Budawati, Kamis (1/4/2022).

Untuk itu Budawati menyarankan, apa pun permasalahan yang dihadapi perempuan dalam rumah tangganya harus berani mengambil langkah untuk memecahkannya.

"Selesaikan masalahnya dulu. Jika misalkan terjadi perpisahan, apabila itu membuat perempuan merasa lebih terlindungi, mengapa tidak?" katanya.

2. Jangan takut meminta bantuan hukum

Ilustrasi hukum (IDN Times/Arief Rahmat)

Perempuan dihadapkan banyak pertimbangan ketika mengalami masalah rumah tangga, seperti memikirkan nasib anak-anak, atau pandangan keluarga. Jangan sampai pernikahan yang tidak sehat itu menimbulkan depresi atau berdampak kekerasan pada perempuan. Untuk itu, perempuan tidak perlu takut jika memerlukan bantuan hukum atau bantuan profesional.

Meminta bantuan ini, kata Buda, adalah bantuan yang dapat menyelesaikan masalah, bukan malah menambah masalah.

"Jika perlu bantuan hukum atau profesional, sekarang ini di setiap kabupaten/kota ada unit pelaksana teknis daerah perlindungan perempuan dan anak (UPTD P2A) dan ada lembaga bantuan hukum (LBH)," jelasnya.

Selama meminta bantuan hukum atau profesional, penanganannya tidak langsung memproses pelaporan ke polisi. Melainkan diawali mediasi lebih dulu antara kedua belah pihak untuk mencari pemecahan masalah secara bersama-sama.

"Baik UPTD P2A maupun LBH itu mengedepankan mediasi untuk mencari jalan keluar bersama-sama. Kalau harus berpisah, setidaknya dilakukan secara cerdas, dan tidak melakukan tindakan yang justru membuat perempuan terkena kasus pidana," ungkap Budawati.

Berita Terkini Lainnya