Daftar Kewajiban Pemerintah Kepada Masyarakat Ketika Karantina Wilayah
Bagaimana kabar kamu dan keluarga sekarang ini?
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Kasus COVID-19 di Indonesia terus bertambah sejak enam bulan terakhir. Ya, terhitung sudah enam bulan sejak Pemerintah Pusat mengumumkan kasus pertama positif COVID-19 tanggal 2 Maret 2020. Menurut data di situs covid19.go.id, total kumulatif kasus positif di Indonesia sebanyak 207.203 orang, pasien yang sembuh 147.510 orang, dan meninggal
8.456 orang per tanggal 10 September 2020.
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, juga khawatir melihat perkembangan COVID-19 di Jakarta. Dalam sepekan positivity rate Jakarta mencapai 13,2 persen.
“Mengapa mengkhawatirkan? Karena kapasitas rumah sakit ada batasnya. Apabila jumlah yang membutuhkan perawatan makin hari makin banyak di atas kemampuan kapasitas rumah sakit dan tenaga medis, maka kita akan menghadapi masalah besar,” ujar Anies kepada jurnalis, Rabu (9/9/2020) lalu.
Bali, yang awalnya disanjung-sanjung berhasil menekan kasus dengan melibatkan kearifan lokalnya, juga mengalami lonjakan kasus positif dan meninggal dalam sepekan terakhir. Kasus positif COVID-19 di Bali berada di atas angka 100. Masing-masing Selasa (1/9/2020) sebanyak 160 orang, Rabu (2/9/2020) 169 orang, Kamis (3/9/2020) sebanyak 174 orang, Jumat (4/9/2020) 196 orang, Sabtu (5/9/2020) 165 orang, Minggu (6/9/2020) 141 orang, Senin (7/9/2020) 173 orang, Selasa (8/9/2020) sebanyak 164 orang, Rabu (9/9/2020) 174 orang, dan Kamis (10/9/2020) sebanyak 111 orang. Sehingga total kumulatif kasus positif COVID-19 di Bali sebanyak 6.834 orang per tanggal 10 September 2020.
Sedangkan kasus kematian COVID-19 tertinggi di Bali berturut-turut terjadi pada Sabtu (5/9/2020) sebanyak 10 orang, Senin (7/9/2020) sebanyak 11 orang, Selasa (8/9/2020) 12 orang, dan Rabu (9/9/2020) 14 orang. Total kumulatif pasien COVID-19 yang meninggal sebanyak 151 orang sampai dengan tanggal 10 September 2020. Sementara kasus positif yang masih dirawat sebanyak 1.246 sampai dengan tanggal 10 September 2020.
Bali juga kehabisan tempat tidur untuk perawatan isolasi pasien COVID-19 sejak seminggu terakhir. Okupansi kamar di rumah sakit rujukan hampir 100 persen. Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Bali, dr Gusti Ngurah Anom, juga membenarkan ketika dihubungi IDN Times, Rabu (9/9/2020) lalu pukul 11.15 Wita.
“Sudah beberapa hari ini. Sudah mulai semingguan ini,” katanya.
Total ada 17 rumah sakit rujukan yang ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan dan Gubernur Bali, I Wayan Koster. Kata Anom, seluruh RS rujukan tersebut penuh. Ia menjelaskan, rumah sakit telah membuat klaster untuk pasien suspek dan probable COVID-19. Beberapa kasus suspek tempat tidurnya tidak boleh digabung dengan kasus probable atau positif COVID-19.
Kondisi itulah yang menurut Anom, membuat terjadinya kekurangan tempat tidur di rumah sakit. Padahal Bed Occupancy Ratio (BOR) yang di-probable masih ada. Hanya saja sudah penuh untuk kasus yang suspek. Alasan kedua, terkait masa perawatan pasien COVID-19 yang rata-rata selama 7 sampai 10 hari.
Baca Juga: Kasus Melonjak, Okupansi Bed Pasien COVID-19 di Bali Hampir 100 Persen
Kenyataannya, kedua pemerintah daerah seperti Bali dan Jakarta membuat kebijakan yang efeknya dirasakan langsung oleh masyarakat umum. Bali yang mulai membuka pariwisata Tahap I untuk masyarakat lokal di Bali tanggal 9 Juli 2020, Tahap II untuk wisatawan domestik tanggal 31 Juli 2020, dan Tahap III untuk wisatawan asing pada September 2020 namun dibatalkan. Berikutnya Jakarta yang kembali memberlakukan lagi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai 14 September 2020. Tidak hanya kedua daerah itu saja sih. Tetapi juga daerah lainnya. Maka masyarakat yang mau memenuhi kebutuhan dasar harus kembali dirumahkan, diminta disiplin terapkan protokol kesehatan, dan lainnya.
Sekali lagi, muncul pertanyaan siapakah yang paling bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat jika terjadi lockdown, PSBB, karantina wilayah, atau istilah lainnya? Jawabannya adalah Pemerintah. Berikut ulasan selengkapnya, supaya kamu bisa mendapatkan gambaran dasar hukumnya, yang dikutip dari situs hukumonline.com.
Baca Juga: Cerita 2 Remaja OTG di Bali, Sembuh Karena Terapi Arak Bali dan Madu
1. Sekadar diketahui, pandemik COVID-19 ditetapkan sebagai KLB oleh Pemerintah melalui Kemenkes sejak 3 Maret 2020
Penutupan perbatasan wilayah Indonesia atau PSBB sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Tujuannya untuk menanggulangi penyebaran COVID-19. Pengertian kekarantinaan kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar-masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.
Kedaruratan kesehatan masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa, ditandai dengan penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan, serta berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara.
Dalam UU itu pula, pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggung jawab untuk melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan melalui penyelenggaraan kekarantinaan masyarakat.
Pemerintah sendiri, melalui Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes), menetapkan pandemik COVID-19 sebagai kejadian luar biasa (KLB) pada tanggal 3 Maret 2020 lalu. Dasarnya adalah Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007, yang menyebutkan pandemik termasuk bencana nonalam. Kemudian diperkuat lagi dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/104/2020 Tentang Penetapan Infeksi Novel Coronavirus (Infeksi 2019-nCoV) Sebagai Penyakit yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Penanggulangannya.
Baca Juga: Warga Desa Adat Kota Tabanan yang Keluyuran Malam Didenda Rp250 Ribu
Baca Juga: Pakar Virologi Unud Prediksi Desember Kasus COVID-19 di Bali Meningkat