TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Mengapa Warga Selalu Jadi Korban Konflik Agraria

Perebutan yang selalu menjadi konflik bersenjata

Warga yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (GEMPADEWA) memasang spanduk saat melakukan aksi damai di depan kantor Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu Opak, Sleman, D.I Yogyakarta, Kamis (6/1/2022) (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko)

Penulis: Ufiya Amirah

Sumber agraria merupakan sumber penghidupan. Segala kebutuhan perut untuk penghidupan berasal dari sumber agraria. Itulah mengapa sumber-sumber agraria seringkali diperebutkan. Apabila sumber pemenuhan kebutuhan perut dirampas, maka kehidupan manusia hilang.

Tak ayal, perebutan sumber-sumber agraria yang awalnya merupakan konflik ekonomi, berubah menjadi konflik bersenjata. Seringkali yang menjadi korban dari konflik agraria adalah petani. Aparat Negara, dalam hal ini kepolisian dan tentara, menjadi pelindung pengusaha dalam merampas hak-hak rakyat. Berikut 4 gambaran umum tentang konflik agraria di Indonesia.

Baca Juga: Sisi Gelap Bali: Sejarah Perbudakan di Pulau Dewata  

1. Memahami batasan lingkup agraria

Ilustrasi lahan sawah (IDN Times/ Ervan)

Dalam buku berjudul Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi
yang ditulis oleh MT Felix Sitorus, Ben White, Maria SW Sumardjono dkk (2002), menyebutkan bahwa lingkup agraria dibagi menjadi dua, yakni objek dan subjek agraria.

Berdasarkan Pasal 1 (Ayat 2,4,5,6) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, objek agraria meliputi tanah, perairan, hutan, bahan tambang, dan udara. Sederhananya, lingkup objek agraria mencakup unsur-unsur tanah/air/udara beserta kekayaan alami yang melekat padanya, yang dikelola pihak-pihak tertentu melalui kegiatan-kegiatan ekonomi seperti pertanian, perikanan, perhutanan, pertambangan, dan ‘kedirgantaraan’.

Sedangkan lingkup subjek agraria terdiri dari tiga komponen, yaitu penguasa atau pemilik atau pemanfaat (Pengguna). Tipe-tipe hubungan sosial antar subjek didasarkan pada struktur pengelolaan agrarian yakni sistem kapitalis (Dikelola non-penggarap/pengusaha), sistem sosialis (Dikuasai negara atau kelompok buruh), dan sistem populis-neo populis (Dikelola oleh rumah tangga).

Baca Juga: Menjadi Feminis adalah Keharusan, Benarkah? Baca Dulu Ini

2. Melihat dinamika politik agraria di Indonesia secara historis

Ir. Soekano, Presiden Indonesia pertama. (Kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id)

Villarian Burhan dalam tulisannya yang berjudul Analisis Ekonomi Politik Agraria di Indonesia: Studi atas Konflik Agraria STKGB VS PT. BNIL di Tulang Bawang
(2019), menggambarkan dinamika politik agrarian di Indonesia dari era kolonial hingga rezim Jokowi.

Liberalisasi tanah dilakukan oleh kolonial Belanda dengan diterbitkannya Agrarische Wet pada akhir abad ke-19. Melalui instrumen hukum tersebut, koloni berhak mengonsesi seluruh tanah perkebunan di negara jajahan kolonial, termasuk Indonesia. Program politik liberal mengakibatkan pihak asing mengekspansi secara besar-besaran tanah pertanian di Jawa dan Sumatra hingga tahun 1900-an.

Orde Lama yang merupakan kekuasaan Soekarno, melahirkan UUPA 1960 guna melindungi sumber-sumber agraria dari monopoli kapitalis dan ketergantungan pembangunan negara dari utang asing. Pada intinya, Soekarno melalui pengesahan UUPA diharapkan Negara mampu berpihak pada petani dalam melawan kapitalisme global.

Sangat kontras dengan kebijakan Soekarno, Soeharto yang memimpin Orde Baru menyokong korporasi borjuasi menguasai tanah-tanah milik kelas bawah, dalam hal ini misalnya petani. Guna memasifkan monopoli dan pengapitalisasian sumber-sumber agraria, pascaberkuasa dua tahun, Soeharto mengesahkan UU Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 1967.

Pascareformasi, setelah tumbangnya rezim Soeharto, kebijakan Soesilo Bambang Yudoyono (SBY) dalam mengatur politik agraria dinilai bersifat dualisme. Hampir semua perundang-undangan terkait agraria memberikan karpet merah para kapitalis menguasai lahan. Namun demikian, sedikit saja yang memberikan perlindungan terhadap kelestarian alam. Hal tersebut dapat kita lihat dari peraturan UU Nomor 19/2004 Tentang Perubahan UU Kehutanan dan UU Nomor 4/2006 Tentang Pengesahan International Treaty on Plant Genetic Reosurces for Agriculture (Perjanjian mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman).

Di tengah carut-marutnya perpolitikan agraria, Jokowi semakin mempersempit ruang gerak rakyat yang mencoba mempertahankan hak-haknya. Melalui Proyek Strategis Nasional (PSN), dengan dalih land reform, Jokowi meredistribusi 9 juta hektare tanah. Tentunya untuk kepentingan para taipan. Sejalan dengan program tersebut, Jokowi memasifkan sertifikasi tanah non-investasi agar mempermudah integrasi tanah dalam pasar internasional.

Sejarah mencatat, sejak Orba, instrumen hukum yang mengatur struktur dan tata
kelola sumber-sumber agraria tidak pernah berpihak kepada rakyat, melainkan kepada para taipan yang bermodal.

3. Keterlibatan negara dalam konflik agraria

Warga yang sempat ditahan polisi bertemu ibunda usai tiba di halaman masjid Desa Wadas, Bener, Purworejo, Jawa Tengah, Rabu (9/2/2022) (ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah)

Konflik agraria tidak hanya sekadar perebutan sumber-sumber penghidupan, antara warga dengan pengusaha. Namun, jauh lebih besar daripada itu, terdapat campur tangan para komprador, kapitalis birokrat, tentara dan kepolisian, yang berorientasi pada kekuasaan serta profit dengan mengenyampingkan kemanusiaan.

Penguasaan lahan tersebut oleh segelintir taipan, mengakibatkan kesenjangan sosial yang meluas di kalangan warga. Tidak hanya konflik sosial, seringkali warga mengalami kriminalisasi di atas tanahnya sendiri. Untuk melakukan pengusiran petani atas lahannya, maka dibutuhkan instrumen hukum dan aparat keamanan.

Sejalan dengan argumen penulis, hasil riset Staurnino M Borras JR dan Jennifer C Franco yang bertajuk Global Land Grabbing and Trajectories of Agrarian Change: A Preliminary Analysis (2012), menunjukkan bahwa pola relasi kepemilikan tanah dapat dilihat dari dua sisi.

Pertama, kelas dominan (Tuan Tanah, Kapitalis, Kapitalis Birokrat), dalam berbagai cara memiliki akses pribadi yang sudah ada sebelumnya ke dan/atau kontrol atas sumber daya lahan. Konsolidasi kapital tersebut tentunya didukung oleh perlengkapan keamanan negara.

Kedua, kelas terpinggirkan (Rumah Tangga Penggarap, Buruh penggarap), hanya memiliki lahan untuk bertahan hidup, tidak memiliki power untuk mampu melawan kediktatoran dalam perampasan lahan.

Senada dengan Borras dan Franco, Tania Murray Li dalam penelitiannya berjudul After the land grab: Infrastructural violence and the “Mafia System” in Indonesia's oil palm plantation zones (2017), menjelaskan bahwa negara telah melakukan tindakan inkonstitusional dalam monitoring operasional perusahaan kapitalis. Perampasan lahan berkedok pembangunan sudah menjadi hal lumrah di Indonesia. Tani yang dirampas lahannya akan dijanjikan pekerjaan oleh perusahaan.

Namun, jika terdapat konflik antara buruh dan perusahaan, pejabat negara yang seharusnya ada dalam posisi netral, setelah menerima suap dari perusahaan, akan berpihak pada pemberi uang.

Baca Juga: Menguak Perbudakan Buruh Sawit di Sumatra Utara

Berita Terkini Lainnya