Menjadi Feminis adalah Keharusan, Benarkah? Baca Dulu Ini

Banyak yang bertanya, apa yang perlu disetarakan?

Penulis: Ufiya Amirah

Ketika berbicara feminisme, paham yang menganulir gerakan kesetaraan bagi perempuan, banyak di antara kita akan mempertanyakan, memangnya apa yang perlu disetarakan? Mansour Fakih dalam bukunya yang berjudul Analisis Gender dan Transformasi Sosial (2020), memberikan jawaban atas pertanyaaan ini.

Berikut 5 alasan kenapa perempuan masih belum setara:

Baca Juga: Sisi Gelap Bali: Sejarah Perbudakan di Pulau Dewata  

1. Marginalisasi ekonomi kaum perempuan

Menjadi Feminis adalah Keharusan, Benarkah? Baca Dulu IniIlustrasi pekerja migran Indonesia (PMI) (IDN Times/Athif Aiman)

Pemiskinan yang diakibatkan bias gender memengaruhi ketidakadilan ekonomi bagi perempuan. Diskriminasi gender dalam konteks ekonomi seringkali bersifat struktural daripada domestik. Terdapat beberapa pekerjaan yang dianggap maskulin sehingga tidak layak perempuan mendapatkan jabatan tersebut.

Pembedaan ini didasarkan pada produktivitas kerja antara laki-laki dan perempuan yang berpengaruh terhadap penentuan upah. Misalnya, produktivitas kerja buruh perempuan rendah sehingga diupah lebih rendah dibanding upah kerja buruh laki-laki.

Martesa Husna Lailia dan Rie Damayant yang karyanya berjudul Gender Wage Differentials in Indonesia: Empirical Evidence in Manufacturing ectors (2018), menunjukkan adanya diskriminasi upah antara buruh laki-laki dan perempuan. Rie dan Martesa melakukan estimasi rasio upah perempuan terhadap laki-laki, dan estimasi produktivitas perempuan terhadap produktivitas laki-laki menggunakan data Industri Besar Sedang (IBS) tahun 1996 dan 2006.

Hasil penelitiannya menyatakan, bahwa terjadi peningkatan diskriminasi upah terhadap perempuan selama 1996-2006. Tahun 1996, diskriminasi upah perempuan sebesar 13 persen dengan rasio upah perempuan terhadap laki-laki sebesar 0,59 dan rasio produktivitas sebesar 0,73.

Sementara pada 2006, diskriminasi upah perempuan sebesar 48 persen, dengan rasio upah perempuan terhadap laki-laki sebesar 0,55 dan rasio produktivitas sebesar 1,03.

2. Subordinasi sosial terhadap perempuan

Menjadi Feminis adalah Keharusan, Benarkah? Baca Dulu Iniilustrasi pemilihan kepala daerah (IDN Times/Debbie Sutrisno)

Penomorduaan (Subordinasi) yang umumnya terjadi pada gender perempuan mengimplikasikan kelas perempuan berada di bawah laki-laki. Peran, kedudukan, dan fungsi laki-laki lebih tinggi daripada perempuan.

Perilaku subordnatif mengakibatkan hilangnya kesempatan bagi perempuan untuk mencapai kesetaraan dalam mengakses pendidikan, jabatan dalam pekerjaan, kursi politik, kepemimpinan dalam organisasi, dan sebagainya.

Berdasarkan laporan Pusat Kajian Politik (Puskapol) UI (2019), persentase keterpilihan perempuan di lembaga legislatif pada Pemilu 2019 mencapai 20,5 persen. Jumlah perempuan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) belum mencapai angka 30 persen sesuai yang ditargetkan UU Nomor 2 Tahun 2008.

Persentase keterwakilan yang belum mencapai target 30 persen dalam setiap Pemilu sejak 1999 hingga 2019 mengindikasikan adanya pandangan penomorduaan perempuan, di mana dianggap lebih rendah dari laki-laki dalam hal kepemimpinan politik.

3. Stereotip jenis kelamin, yang kebanyakan tentang perempuan

Menjadi Feminis adalah Keharusan, Benarkah? Baca Dulu IniFoto hanya ilustrasi. (pexels.com/fauxels)

Menurut International Labour Organization (ILO), stereotip merupakan atribut yang menimbulkan perbedaan dan peran gender. Atribut tersebut otomatis menjadi sebuah asumsi sosial tanpa melihat fakta bukti yang ada.

Apakah kamu masih menganggap atau berkeyakinan bahwa perempuan itu lemah dan memiliki sifat lembut, sedangkan laki-laki bersifat kuat dan rasional? Kalau membenarkan anggapan tersebut, artinya kamu termasuk individu yang menstereotip perempuan atas asumsi umum masyarakat.

Kondisi ini tercermin dari pembagian kerja yang bersifat netral gender ke diferensiasi pekerjaan berdasarkan sifat feminim-maskulin suatu profesi maupun pekerjaan. Global Gender Gap Report (2020) menunjukkan angka partisipasi tenaga perempuan sebesar 49,26 persen lebih rendah daripada tenaga kerja laki-laki, yakni mencapai angka 75,73 persen.

Segregasi pekerjaan tercermin juga dalam kondisi ketenagakerjaan Indonesia. World Economic Forum menjelaskan dalam Global Gender Gap Report 2020, bahwa partisipasi  perempuan dalam pasar tenaga kerja adalah sebesar 49,26 persen. Persentase tersebut masih lebih kecil dibandingkan tingkat partisipasi laki-laki dalam pasar tenaga kerja, yaitu sebesar 75,73 persen.

Angka tersebut mengindikasikan adanya stereotip perempuan lemah yang membatasi gerak perempuan di wilayah domestik saja. Sehingga partisipasi perempuan tidak sebesar angka partisipasi laki-laki di ranah publik.

4. Perempuan rentan mengalami kekerasan

Menjadi Feminis adalah Keharusan, Benarkah? Baca Dulu IniIlustrasi Anti-Kekerasan Seksual (IDN Times/Galih Persiana)

Siapa bilang perempuan saja yang mengalami kekerasan? Laki-laki, bahkan gender ketiga terdapat kemungkinan mengalami kekerasan juga. Betul. Namun demikian, kelompok yang paling rentan mengalami kekerasan adalah perempuan.

Superioritas laki-laki yang dilegitimasi sistem patriarkis, menyebabkan dominasi laki-laki atas perempuan begitu besar. Stereotip perempuan lemah juga menjadi peluang laki-laki mengobjektifikasi perempuan, sehingga rentan terjadinya kekerasan.

Menurut Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan (2021), pada tahun 2020 terdapat kasus kekerasan terhadap perempuan (KtP) sebesar 299.911 kasus. Angka kasus KtP mengalami penurunan sebesar 31,5 persen dari tahun sebelumnya. Penurunan kasus dapat disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya korban dan pelaku dekat selama pandemik, dan korban cenderung diam karena menganggap kekerasan dalam rumah tangga adalah aib keluarga.

Mendiamkan kasus kekerasan seksual dapat dikategorikan sebagai perilaku membenarkan pelaku melakukan kekerasan seksual. Sehingga siklus kekerasan akan tetap terulang dan berlanjut.

Baca Juga: Menguak Perbudakan Buruh Sawit di Sumatra Utara

5. Beban ganda (Double burden) di ranah privat dan publik

Menjadi Feminis adalah Keharusan, Benarkah? Baca Dulu IniIlustrasi menyuapi anak. (Pexels.com/Andrea Piacquadio)

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), mengartikan double burden sebagai beban pekerjaan yang diterima oleh satu jenis kelamin lebih banyak dibanding jenis kelamin lainnya.

Pada masa modern, peningkatan partisipasi perempuan di ruang publik untuk menunjang perekonomian keluarga, tidak mengurangi beban perempuan di ranah privat. Mereka tetap bekerja untuk menambah pendapatan keluarga, dan mengasuh anak sebagai kewajiban perempuan seorang.

Penelitian Bambang Dharwiyanto Putro yang berjudul Beban Ganda: Kondisi Perempuan Pemulung pada Masa Pandemi di Tempat Pengolahan Sampah Monang Maning, Denpasar (2020) membuktikan, bahwa perempuan mengalami beban berlipat ganda selama pandemik.

Pendidikan berbasis online yang mengharuskan anak di rumah, menjadikan tugas perempuan bertambah untuk mendampinginya belajar. Namun di sisi lain, urusan domestik telah berdampak pada pendeknya waktu pemulung perempuan. Sehingga penghasilan mereka pun rendah dibanding pemulung laki-laki.

Melihat fakta di atas, apakah kamu masih menolak feminisme?

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya