Menguak Perbudakan Buruh Sawit di Sumatra Utara

Perbudakan era kekinian yang masih ada

Penulis: Ufiya Amirah

Barangkali kita akan memustahilkan bahwa masih ada perbudakan pada masa modern ini. Mengingat kolonialisme Belanda dan fasisme Jepang hampir satu abad telah usai di Indonesia. Namun, realitas berkata lain, walaupun Indonesia telah mengalami reformasi dari kekuasaan otoritarianisme Orde Baru, perbudakan masih tetap saja berlangsung.

Beberapa waktu terakhir, Tanah Air digemparkan oleh isu dugaan perbudakan buruh pabrik sawit di Langkat, Sumatra Utara. Padahal, eksploitasi buruh di kawasan industri sawit telah terjadi berulang kali dan berlangsung lama terus-menerus.

Berikut 4 fakta perbudakan buruh sawit di Sumatra Utara yang perlu kamu ketahui.

Baca Juga: Sisi Gelap Bali: Sejarah Perbudakan di Pulau Dewata  

1. Menjadi Budak di PT.198, Anak Perusahaan Kuala Lumpur Kepong Berhad (KLK) Malaysia

Menguak Perbudakan Buruh Sawit di Sumatra UtaraPerbudakan anak. (Theatlantic.com/Jason Motlagh)

Melansir dari Ran.org, Ferdi (14) dan Volario (21) bercerita dengan pihak yang terlibat dalam konferensi Rountable on Suistainable Palm Oil 2010 mengenai perbudakan yang dialaminya selama bekerja di PT.198, anak perusahaan KLK Malaysia.

Modus mengkerangkeng manusia dan memperkerjakan mereka tanpa upah di perkebunan sawit oleh Bupati Langkat (Non-aktif) Sumatra Utara, dengan alasan untuk merehabilitasi para pecandu narkoba, sebelumnya telah dilakukan juga oleh perusahaan PT. 198 terhadap tenaga kerjanya.

Para tenaga kerja diwajibkan menyemprot kelapa sawit dengan pupuk beracun tanpa perlindungan memadai. Pascapenyemprotan, mereka dikunci dalam satu kamp tanpa kamar mandi. Sehingga apabila para buruh hendak membuang air kecil atau besar, mereka akan menahan hingga kamp dibuka oleh penjaga. Dalam situasi yang mengerikan dan bekerja bak budak, Ferdi dan Valario tidak diupah hingga pada akhirnya mereka kabur.

2. Eksploitasi buruh perusahaan Indofood

Menguak Perbudakan Buruh Sawit di Sumatra UtaraIlustrasi perkebunan kelapa sawit. (IDN Times/Sunariyah)

Tahun 2015 tepatnya di bulan September-Oktober, The International Labor Rights Forum (ILRF), Rainforest Action Network (RAN), serta Organisasi Penguatan dan Pengembangan Usaha-Usaha Kerakyatan (OPPUK), melakukan investigasi terhadap eksploitasi buruh perusahaan Indofood di Sumatra Utara.

Dari penelusuran tersebut, ketiga organisasi menerbitkan laporan yang berjudul Indofood: Pepsico’s Hidden Link to Worker Exploitation in Indonesia. Dalam temuannya, 49 persen dari total 41 pekerja yang diwawancarai berstatus Buruh Harian Lepas (BHL) dengan risiko pekerjaan tinggi. Mereka digaji 20 persen sampai 75 persen lebih rendah dari Upah Minimum Regional (UMR) pekerja kontrak setiap bulannya.

Bahkan tidak sedikit buruh yang bekerja di Indofood berusia 12 -13 tahun. Perkebunan yang dikelola oleh Indofood juga dilaporkan menggunakan 21 ribu liter Paraquat, sebuah herbisida yang sangat berbahaya dan dilarang, khususnya oleh negara-negara Eropa.

Walaupun Indonesia sudah tidak dijajah oleh Belanda, dan sistem romusha Jepang juga sudah tiada, namun hingga Indonesia merdeka, eksploitasi tenaga kerja tetap ada.

Baca Juga: Muda dan Berdaya! Inilah 5 Tokoh Feminisme Muda Inspiratif Zaman Now  

3. Perbudakan Anak oleh perusahaan Wilmar Internasional Ltd

Menguak Perbudakan Buruh Sawit di Sumatra UtaraIlustrasi kelapa sawit. (IDN Times/Sunariyah)

Pada November 2016, dilansir Cnbc.com, Amnesty Internasional Indonesia melaporkan bahwa telah terjadi eksploitasi tenaga kerja berdasarkan kesaksian 120 buruh PT Perkebunan Milano dan PT Daya Labuhan Indah, anak perusahaan Wilmar Internasional Ltd.

Perusahaan tersebut mempekerjakan anak usia 8 tahun, kerja lembur berjam-berjam dengan gaji yang tidak sesuai standar internasional yaitu kurang dari 2,5 USD atau Rp33 ribu per hari. di sisi lain perusahaan tidak memberikan fasilitas peralatan kerja yang memadai terhadap buruh.

Atas eksploitasi buruh untuk produksi minyak sawit, Wilmar Internasional Ltd telah mengahasilkan raupan profit senilai 260 miliar poundsterling atau sekitar 324 miliar USD per tahun 2015.

Betapa tidak manusiawinya, perusahaan hanya berorientasi pada keuntungan saja tanpa memberikan upah yang layak dan menjamin kesejahteraan dan keselamatan buruh selama bekerja.

4. Perkosaan buruh perempuan di balik produk kecantikan

Menguak Perbudakan Buruh Sawit di Sumatra UtaraIlustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Mardya Shakti)

Margie Mason dan Robin Mcdowell pada tanggal 18 November 2020 menerbitkan tulisan hasil penyelidikan komprehensif Associated Press (AP) atas pengalaman pahit yang dialami buruh perempuan perkebunan sawit di Malaysia dan Indonesia, tak terkecuali Sumatra Utara. Dalam investigasi tersebut, AP mewawancarai 36 perempuan yang tersebar di 12 perusahaan.

Diperkirakan terdapat 7,6 juta buruh perempuan Indonesia yang bekerja untuk produksi minyak sawit. Cukup tingginya angka tenaga kerja perempuan di perusahaan sawit tidak diiringi oleh perlindungan dari risiko kerja.

Seorang buruh perempuan korban perkosaan di perkebunan sawit Sumatra Utara berumur 17 tahun. Namun, pihak kepolisian belum mampu mengusut terkait kasus mengerikan ini. Selain rentan terjadinya kekerasan seksual selama bekerja, buruh perempuan juga sering mengalami gangguan kesehatan seperti keguguran karena tidak ada cuti hamil, mengalami gangguan pernapasan, penglihatan, hingga kanker disebabkan oleh seringnya menggunakan pestisida dan agrokimia secara rutin.

Risiko pekerjaan tinggi, kerja dengan jam lebih dari batas rata-rata, para buruh perempuan di perkebunan sawit hanya digaji sekitar 2 USD atau sekitar Rp25 ribu per hari.

AP juga menemukan, perusahaan yang memproduksi produk-produk kecantikan seperti L'Oréal, Tom's of Maine dan Kiehl's, Bath &Body Works, Kylie Cosmetics, Johnson &Johnson, Unilever memiliki daya permintaan tinggi terhadap pasokan sawit. Namun perusahan kecantikan tersebut bahkan tak acuh atas perbudakan yang dialami oleh buruh perempuan yang memproduksi sawit untuk bahan kecantikan mereka.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya