Tantangan Muralis Perempuan, Kebuntuan Dana hingga Krisis Ruang Aman

- Seniman mural kurang mendapat perhatian internasional
- Kebuntuan di pendanaan dan perhatian dari pemerintah yang mulai tumbuh
- Seniman mural perempuan merebut ruang aman dan berkarya di jalanan
Denpasar, IDN Times - Perempuan berbaju dan celana hitam itu tersenyum hangat ketika moderator memintanya bercerita tentang perjalanan seninya. Layar proyektor menampilkan karya perempuan bernama lengkap Yessi Nur Mulianawati (29), bergaya desain datar (flat design) berwarna-warni. Kedua gambar yang terlihat pada layar itu dilukis perempuan dengan nama populer Yessiow, bergerak pada isu perempuan dan lingkungan.
Sejak tahun 2018, Yessi menemukan kecintaannya terhadap seni mural. Melukis di tembok bukanlah soal menunjukkan eksistensi diri. Bagi Yessi, mural adalah sarana menyampaikan pesan, keresahan, hingga edukasi kepada masyarakat. Namun, jalan meniti giat sebagai muralis perempuan bukan hal mudah. Perempuan lahir di Kediri, Jawa Timur dan tumbuh di Denpasar ini, menyelami tantangan muralis khususnya muralis perempuan di Indonesia. Apa saja tantangan itu? Bagaimana Yessi melaluinya? Berikut kisah selengkapnya.
1. Seniman mural kurang mendapat perhatian di dunia internasional

Bagi Yessi, seniman mural di Indonesia sangat bertalenta. Namun, kurang mendapatkan perhatian dari seniman di seni jalanan (street art) internasional. Sepanjang karier sebagai seniman mural dan penyelenggara festival, Yessi mengamati bahwa sudah saatnya muralis Indonesia menciptakan ruang kolektif berkesenian.
“Jadi makanya kenapa saya dan teman-teman di Denpasar di Bali itu membuat sebuah street art festival itu tujuannya untuk membawa teman-teman muralis atau seniman mural dari internasional untuk ke Bali,” ujar Yessi pada Sabtu (20/12/2025) di Rumah Tanjung Bungkak (RTB) Denpasar.
Inisiatif ini berawal dari pendanaan minim untuk membawa seniman mural ke festival internasional. Gagasan tersebut menciptakan ruang baru yang mengundang 40 persen muralis internasional dan 60 persen muralis dari Indonesia. Melalui Tangi Street Art Festival, seniman mural saling berkarya dan berdiskusi tantangan yang dihadapi. Khusus seniman mural di Indonesia, Yessi kerap menerima keluhan soal kendala finansial dan bahasa asing.
“Salah satunya kalau saya ngobrol sama teman-teman itu kendalanya itu adalah finansial juga. Gaya bahasa juga,” tutur perempuan yang berkuliah di Telkom Bandung ini.
2. Kebuntuan di pendanaan dan perhatian dari pemerintah yang mulai tumbuh

Terbentur dana kerap menjadi persoalan dalam berkesenian. Bagi Yessi, solusi selalu ada jika diupayakan. Baginya, saat ini dukungan dari pemerintah mulai terbuka untuk seniman mural di Indonesia. Selama 5 tahun terakhir, Yessi telah mendengar program dari Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) RI dan Kementerian Pendidikan RI untuk memberikan subsidi kepada seniman yang mendapatkan undangan berkarya ke luar negeri.
“Itu menurut saya salah satu solusi ya, karena selama ini mungkin sebagai seniman itu bukan profesi yang penting gitu ya. Tapi dengan adanya program ini, pemerintah menyisihkan budget untuk seniman menyebarkan budaya Indonesia,” papar Yessi penuh syukur.
Tahun 2022 lalu, Yessi menjadi salah satu seniman penerima bantuan Kemenbud RI untuk berkarya di Afrika Selatan. Pengalaman berkesan itu menjadi tumpuan bagi Yessi untuk tumbuh dan mengembangkan kesenian mural di Indonesia.
3. Seniman mural perempuan merebut ruang aman dan berkarya di jalanan

Sebagai perempuan, Yessi menuturkan selalu mengangkat isu perempuan di dunia seni jalanan. Selama mengikuti festival seni jalanan di Indonesia maupun luar negeri, sebagian besar peserta adalah laki-laki. Keresahan itu jadi inspirasi Yessi untuk menjalin komunikasi dan pengalaman bersama muralis perempuan. Ia mengajak seniman mural perempuan di Indonesia dan internasional saling berdialog atas keresahan bersama, yakni membangun ruang aman di seni jalanan.
“Profesi sebagai seniman mural itu gak cuma laki-laki aja, perempuan ada juga loh yang bikin mural. Jadi edukasi di antara teman-teman juga kita harus saling jaga sesama sesama teman-teman,” jelasnya.
Selama menggarap mural, Yessi bercerita bahwa dirinya kerap mendapatkan kekerasan seksual verbal, seperti catcalling. Termasuk orang asing yang menanyakan hal-hal pribadi di luar aktivitas berkesenian dan karyanya. Yessi selalu menguatkan diri dari berbagai ancaman yang diterimanya. Ia menegaskan, hal-hal itu menjadikan Yessi untuk tumbuh kuat bersama muralis perempuan lainnya. Menjalin dialog dan berbagi cerita sesama seniman mural perempuan, semakin menguatkan Yessi.


















