Perbedaan Kelenteng dan Wihara Berdasarkan Sejarah

Kelenteng dan wihara, sekilas mungkin sulit menemukan perbedaan keduanya. Menurut definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kelenteng adalah bangunan tempat memuja (berdoa, bersembahyang) dan melakukan upacara keagamaan bagi penganut Konghucu.
Sementara, wihara bermakna sebagai rumah ibadah umat Buddha berukuran sedang dan lebih besar dari cetiya. Definisi menurut KBBI juga menambahkan, wihara memiliki beberapa sarana dan prasarana, seperti candi, kuti, dan darmasala.
Lalu, apa definisi itu cukup membedakan keduanya, atau sebenarnya kelenteng dan wihara saling beririsan? Berikut ini perbedaan Kelenteng dan Wihara berdasarkan sejarah, selengkapnya.
1. Masa orde baru Konghucu dilarang, kelenteng kena imbasnya
Berdasarkan Jurnal Ilmiah berjudul “Kelenteng: Benteng Terakhir dan Titik Awal Perkembangan Kebudayaan Tionghoa di Indonesia”, ada sejumlah sejarah suram kelenteng di masa orde baru. Pada masa itu, ajaran Konghucu dan Taoisme dilarang, akibatnya kelenteng sebagai tempat ibadah ikut jadi sasaran.
Sebagian besar kelenteng harus berubah menjadi wihara, yang merupakan tempat sembahyang agama Buddha. Masa itu, ajaran Konghucu dan Taoisme dianggap sebagai sampingan saja, harus berlindung di balik agama Buddha. Beberapa kelenteng sebelumnya tidak menganut ajaran Buddha. Pada masa itu mencari keselamatan dengan memasukkan arca dari ajaran Buddha.
Konstruksi bangunan kelenteng turut terdampak. Tidak ada yang berani membangun, memperluas bangunan, maupun memperbaiki kerusakan kelenteng. Kalaupun hal itu dilakukan, pasti secara sembunyi-sembunyi. Imbasnya, hingga tahun 1997 ada banyak bangunan kelenteng dalam kondisi mengenaskan.
2. Sejarah singkat wihara di Indonesia dan kelenteng sebagai benteng budaya

Agama Buddha masuk ke Indonesia sekitar abad ke-5. Ttapi kerajaan dengan corak Buddha pertama di Indonesia adalah Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan ini berdiri pada abad ke-7 di Pulau Sumatra. Sementara, wihara tertua di Indonesia yaitu Wihara Avalokitesvara.
Berdasarkan tulisan Nurmah Kholis Vihara Avalokitesvara Serang: Arsitektur dan Peranannya dalam Relasi Buddhis-Tionghoa dengan Muslim di Banten, Wihara Avalokitesvara dibangun sekitar abad ke-16. Wihara tersebut semula berada di Desa Dermayon. Pada tahun 1774, dipindahkan ke Kampung Pamarican, Desa Pabean, Serang, Banten.
Melanjutkan kisah sebelumnya, selepas masa orde baru berganti era reformasi, penganut ajaran Konghucu mampu bernapas lega. Agama mereka diakui sah oleh negara. Kelenteng tumbuh dan berkembang pesat. Meskipun saat era orde baru tidak terawat, kelenteng jadi tempat aman menyimpan arca, lukisan, dan berbagai benda kebudayaan Tionghoa.
3. Arsitektur kelenteng dan wihara
Kelenteng memiliki arsitektur khas dengan ornamennya yang rumit. Ada banyak detail dan patung. Patung ini adalah simbol para dewa dewi yang diletakkan sesuai dengan fungsi dan hierarkinya. Ciri khas lain arsitektur kelenteng yakni dominan berwarna merah.
Arsitektur wihara cukup berbeda dengan kelenteng. Kombinasi warna dan tata letaknya lebih sederhana jika dibandingkan kelenteng. Warna dan tata letaknya dirancang agar penganutnya dapat bermeditasi dengan tenang dalam kesunyian.
Meskipun demikian, jurnal yang ditulis Herwiratno menjelaskan pembagian nama tempat ibadah menurut ciri khas aliran kepercayaan tidak berlaku di Indonesia. Kebanyakan sebuah tempat ibadah orang Tionghoa mencakup ketiga aliran, yaitu Taoisme, Konfusianisme, dan Buddhisme atau yang sering disebut San Jiao (Sam Kao) atau Tri Dharma. Penjelasan di atas jadi masuk akal, saat arca para dewa-dewi dari ketiga ajaran itu berbaur dan bernaung di bawah satu atap.