TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Sehari 973 Orang Positif COVID-19, Ahli: Mestinya Tidak Perlu Cemas

Ahli Virologi Unud punya cara agar berdamai dengan COVID-19

Ilustrasi rapid test (IDN Times/Dokumen)

Profesor Virologi Universitas Udayana, GN Mahardika, mengungkapkan pemikirannya tentang kasus terkonfimasi COVID-19 harian di Indonesia yang disebut mengalami lonjakan hampir mencapai 1000 orang per 21 Mei kemarin. Menurutnya, lonjakan ini mestinya tidak membuat kecemasan yang berlebihan.

Justru kecenderungan kasus fatal yang mendekati puncak sekitar hari ke-50, sejak ada kasus konfirmasi COVID-19 pertama di Indonesia, mesti segera diintervensi. Berikut penjelasannya sesuai rilis yang diterima IDN Times atas seizin Profesor GN Mahardika:

Baca Juga: Mengucilkan Orang yang Kena COVID-19 Justru Memicu Penularan

1. Jumlah kasus terkonfirmasi virus COVID-19 di Indonesia mencapai 973 orang tanggal 21 Mei kemarin. Secara virologi, ini bukan masalah besar

Hasil rapid test karyawan dan pengunjung pusat perbelanjaan Tulungagung. (Dok Istimewa)

Berikut ini tanggapan Mahardika, Jumat (22/5):

"Jika kemampuan deteksi tinggi, kita bahkan bisa mengklaim keberhasilan pembatasan sosial. Kalau dibiarkan alami, per 20 Mei jumlahnya minimum 1,7 juta orang. Ini Jika dihitung dari 1 April, saat itu kasus terkonfirmasi 1677 kasus. Rentang waktu sejak saat itu sampai 20 Mei adalah 50 hari. Dengan masa inkubasi kita anggap rata-rata lima hari, rentang waktu itu sudah terjadi 10 kali penularan baru."

“Basic reproduction number, yaitu kemampuan satu pasien menginfeksi sejumlah pasien baru, istilahnya R0, kita anggap saja hanya satu. Tanpa intervensi, per 20 Mei harusnya berjumlah 1.717.248 orang. Angka R0 kasus di luar negeri bahkan dianggap lebih besar dari tiga. Data resmi jumlah kasus terkonfirmasi saat kemarin adalah 20.162 orang.”

2. Tingkat deteksi rendah, secara epidemiologi, Indonesia masih berstatus under-detected

IDN Times/Debbie Sutrisno

Secara epidemiologi, Indonesia masih berstatus under-detected. Namun kemampuan Negara dalam pengujian COVID-19 memang harus dibenahi segera.

Berdasarkan data dari berbagai sumber, jumlah pengujian di Indonesia hanya 65 orang per satu juta penduduk. Kalau dibandingkan dengan Jepang, misalnya, yang mempunyai rasio 509 per juta penduduk. Rasio Indonesia hanya 10 persen dari Jepang. Jika angka ini dijadikan patokan, bahwa Indonesia baru mendeteksi 10 persen dari kasus yang sebenarnya. Jumlah kasus terkonfirmasi saat ini mestinya minimum 200 ribu.

“Angka kasus terkonfimasi mestinya tidak membuat kita begitu cemas. Secara alami, virus COVID-19 diketahui tidak selalu menyebabkan kasus berat, apalagi sampai meninggal. Sebagian besar orang yang terpapar tidak menjadi sakit. Yang mengembangkan gejala klinis pun lebih banyak klinis ringan,” terangnya.

Mahardika mengungkapkan informasi dari World Health Organization (WHO), bahwa 80 persen pasien yang sakit dapat sembuh tanpa pengobatan khusus. Misalkan data dari karantina kapal pesiar Diamond Princess di Jepang, yang dimuat pada Journal Eurosurveillance bisa dijadikan patokan. Persentase orang terpapar tapi tak terinfeksi sekitar 75 persen. Proporsi yang positif tanpa gejala adalah 8 persen, dan yang simptomatik adalah 17 persen.

Sedangkan data dari Wuhan, Tiongkok, yang dipublikasi di JAMA menyebutkan pasien kritis hanya 5 persen dari yang mengeluh ringan sampai berat. Itu berarti 5 persen dari 17 persen hanya 0,85 persen. Di alam yang sebenarnya, bukan kapal pesiar, angkanya dapat jauh lebih kecil.

“Data kasus COVID-19 harian yang fatal yang mestinya membuat kita khawatir. Akar masalahnya harus segera diinvestigasi. Intervensi terbaik harus segera dilakukan,” tegasnya.

Tren angka kasus harian memang meningkat. Ini sejalan dengan peningkatan kapasitas laboratorium (Lab). Jumlah lab yang terlibat bahkan lebih dari 30 laboratorium. Beberapa di antaranya bahkan dikabarkan sedang menggenjot kapasitas harian.

Baca Juga: Dianggap Mampu Tekan COVID-19 Tanpa PSBB, Bali Dirancang Jadi Contoh

Berita Terkini Lainnya