Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Mengucilkan Orang yang Kena COVID-19 Justru Memicu Penularan

Proses pemakaman tersebut tidak berlangsung lama, terhitung sekira 15 sampai 20 menit peti jenazah sudah dikubur petugas. (IDN Times/Candra Irawan)

Denpasar, IDN Times – Pandemik COVID-19 kini memicu munculnya stigma sosial hingga perilaku diskriminatif terhadap mereka yang kontak langsung dengan virus corona. Seperti perawat yang menangani pasien COVID-19, Orang dalam Pemantauan (ODP), dan Pasien dalam Pengawasan (PDP).

Menurut Psikolog Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar, Retno IG Kusuma, stigmatisasi COVID-19 ini seperti memberikan cap buruk kepada orang yang memeriksakan diri, orang yang mendapatkan hasil tes positif, termasuk anggota keluarganya dan petugas kesehatan. Sementara viktimisasi adalah memperlakukan orang lain secara tidak adil terhadap ODP dan PDP dengan menggunjingnya dan menyalahkan. Hal ini membuat mereka semakin terpuruk dan merasa bersalah. Berikut ini penjelasan lengkapnya kepada IDN Times, Selasa (12/5):

1.Dukungan sosial sangat membantu kesehatan mental dan proses penyembuhan

Ilustrasi tes swab. (ANTARA FOTO/Fauzan)

Menurut Retno, stigma ini muncul karena beberapa faktor. Di antaranya:

  • COVID-19 merupakan penyakit baru dan menular
  • Vaksin dan obat untuk penyakit ini belum ditemukan
  • Pemahaman masyarakat yang minim terhadap COVID-19
  • Ketidakpastian hidup akibat wabah.

Berangkat dari ketidaktahuan itulah kemudian muncul ketakutan. Sehingga masyarakat dengan mudah menyalahkan orang lain, terutama kepada mereka yang memiliki kontak dengan COVID-19.

“Kita sering takut pada sesuatu yang tidak kita ketahui. Sehingga mudah menyalahkan orang lain atas rasa takut tersebut. Jadi parno sehingga muncul stigma,” katanya.

Daripada memberikan stigma sosial seperti itu, dukungan sosial seperti menerima keadaan mereka, menurut Retno, akan sangat membantu kesehatan mental seseorang. Terutama dalam proses penyembuhan mereka.

2.Dampak stigma sosial COVID-19 ini mulai bermunculan. Seperti tidak jujur atas kondisi kesehatannya, hingga kabur ketika akan diperiksa

Hasil rapid test virus Corona atau Covid-19. IDN Times/Nofika Dian Nugroho

Retno menjelaskan beberapa point dampak negatif stigma sosial COVID-19 ini. Yaitu:

  • Membuat orang lain menyembunyikan status kesehatannya
  • Enggan memeriksakan diri
  • Sulit menerapkan pola hidup bersih dan sehat (PHBS)
  • Kabur ketika akan diperiksa, diobati dan dikarantina.

“Stigma sosial juga berisiko meningkatkan kemungkinan penularan di masyarakat,” ucapnya.

3.Cara menghindari beberapa stigma sosial COVID-19:

Ilustrasi (IDN Times/Sukma Shakti)

Untuk melawan dan mengurangi stigma sosial di masyarakat, menurut Retno, berarti kita juga harus berusaha memahami pikiran, perasaan serta perilaku orang lain. Meskipun asumsi yang mendasarinya bisa juga menjadi keliru. Berikut cara menghindari beberapa stigma COVID-19:

  • Lebih baik menggunakan istilah COVID-19 atau virus corona. Bukan virus China atau virus Wuhan
  • Tidak memberikan label terhadap orang, etnis, ras tertentu sebagai penyebab atau penyebar COVID-19
  • Berikan apresiasi kepada tenaga medis yang sedang bekerja keras membantu para pasien
  • Orang yang terjangkit COVID-19 adalah pasien. Mereka bukan penderita atau korban
  • Memberikan dukungan kepada mereka yang terdampak, baik pasien, keluarga pasien atau masyarakat sekitar
  • Pilah-pilah informasi mengenai COVID-19 dan mencari sumber informasi yang akurat
  • Menghindari perilaku stigmatisasi, viktimisasi, perilaku tidak etis dan melanggar hukum
  • Lakukan solidaritas sosial, pro sosial, disiplin, kemampuan mengelola ketakutan dan kecemasan, serta patuh dan bertanggung jawab.

4.Tips bagi perawat yang menangani pasien COVID-19 dalam menghadapi stigma sosial:

Dok.IDN Times/Istimewa

Retno juga memberikan beberapa tips menghadapi stigma COVID-19 bagi para perawat pasien COVID-19. Yakni:

  • Membangun sumber daya positif dengan cara tugas melayani sebagai perawat adalah panggilan jiwa, memahami risiko sosial dan emosi.
  • Meningkatkan toleransi dan empati
  • Menguatkan imunitas jiwa dengan aktivitas
  • Interaksi sosial dan pikiran positif maupun menulis daftar syukur.

“Jadi dengan membuka wawasan masyarakat dulu, mengedukasi bahwa perawat sebagai contoh langsung dan figur yang dihormati,” terangnya.

Namun jika stigma tersebut tetap tidak bisa dihilangkan, maka satu-satunya sarannya adalah menenangkan diri dulu. Karena masyarakat memerlukan waktu dan pembuktian. Terus berlatihlah untuk memiliki sikap mindfulness dengan Satesyuliradamakse (SAdari TErima SYUkuri mengaLIR ADAptasi MAKnai SEnyum), dan yakini bahwa badai pasti berlalu.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ayu Afria Ulita Ermalia
Irma Yudistirani
Ayu Afria Ulita Ermalia
EditorAyu Afria Ulita Ermalia
Follow Us