Legenda Barong Landung di Bali, Dipercaya untuk Penolak Bala
Dikenal sebagai perwujudan Raja Penguasa Bali dan permaisuri
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Belakangan ini publik dihebohkan dengan munculnya kebiasaan mengadopsi boneka sebagai anak angkat. Hal ini menjadi fenomena baru di masyarakat dan bahkan diikuti oleh beberapa publik figur di Tanah Air.
Sesungguhnya bukanlah hal yang aneh apabila ada yang menganggap bahwa boneka memiliki nilai spiritual, khususnya di Bali. Misalkan saja Barong Landung. Hampir setiap desa di Pulau Dewata memiliki kepercayaan dan meyakini nilai spiritualnya sehingga disakralkan oleh masyarakat.
Barong Landung menyerupai sepasang boneka yang tinggi menjulang. Satu barong bersosok laki-laki wana hitam dan satu barong wanita berwarna putih dengan mata sipit. Bagi masyarakat Bali, Barong Landung dikenal sebagai perwujudan dari Raja Penguasa Bali pada zaman Bali Kuno, yakni Sri Jaya Pangus, dengan permaisurinya asal Tiongkok, Kang Ching Wie. Dikutip dari berbagai sumber, berikut sejarah Barong Landung di Bali.
Baca Juga: 10 Lawan Kata dalam Bahasa Bali, Belajar Yuk!
1. Kisah Barong Landung bermula pada masa Kerajaan Bali Kuno Balingkang
Kisah Barong Landung bermula saat zaman Kerajaan Bali Kuno, Balingkang dengan Raja Sri Jayapangus. Pada masa pemerintahannya, sang raja banyak menjalin kerjasama dengan para pedagang asal Tiongkok. Perekonomian masyarakat sangat baik, mereka hidup sangat makmur dan tentram. Mulai dari ketahanan militer hingga perdagangannya.
Dari hubungan dagang dengan Tiongkok inilah, Raja Jaya Pangus bertemu dengan seorang wanita Tiongkok bernama Kang Ching Wie yang merupakan putri dari seorang saudagar kaya raya.
Kecantikan Kang Ching Wie membuat Raja Jaya Pangus memutuskan untuk meminangnya. Pernikahan Jaya Pangus dan Kang Ching Wie ini bahkan dirayakan dengan suka cita oleh masyarakat Balingkang.
Bertahun-tahun menjadi pasangan suami dan istri, Raja Jaya Pangus dan Kang Ching Wie tidak kunjung dikaruniai anak. Hal ini membuat masyarakat turut sedih dan tidak membuat kegiatan berhura-hura. Kang Ching Wie dan Raja Jaya Pangus sangat sedih dengan kondisi itu. Raja Jaya Pangus memutuskan untuk mencari pencerahan, hingga terdampar di sebuah wilayah di kaki Gunung Batur. Raja Jaya Pangus pun memutuskan bermeditasi di sana.