Mengenal Sanksi Adat di Bali, Bisa Dikucilkan hingga Dikeluarkan
Kalau di Bali nama istilahnya adalah sanksi kasepekang
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Sanksi adat kasepekang (Dikucilkan) untuk masyarakat di Bali kerap menuai kontroversi. Terlebih ketika sudah masuk dalam ranah persoalan penguburan jenazah dan atau penggunaan setra (kuburan). Berbagai anggapan muncul, bahkan ada pula penilaian bahwa sanksi kasepekang ini ternyata tidak menyelesaikan masalah, melainkan justru menimbulkan masalah-masalah baru lainnya.
Apa sesungguhnya kasepekang itu? Sanksi adat kasepekang merupakan pemberhentian sementara sebagai anggota banjar dan desa pakraman, sehingga yang terkena sanksi kasepekang tidak berhak mendapatkan penyanggran (Pelayanan atau bantuan) banjar dan desa pakraman, yang ditandai dengan tidak mendapatkan arah-arahan (Suara kulkul). Sementara itu, ada pula istilah kanorayang yakni warga yang diberhentikan secara permanen sebagai krama banjar dan desa pakraman. Sehingga segala hak yang sebelumnya didapat dari banjar dan desa pakraman menjadi gugur.
Agar tidak keliru memahami tentang sanksi kasepekang ini, kamu bisa menyimak isi lengkapnya dalam penjelasan di bawah ini. Adapun penjabaran ini berdasarkan Keputusan Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman Bali yang ditentukan di Kota Denpasar pada Jumat 15 Oktober 2010.
Pihak yang menandatangani adalah Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali yakni Bendesa Agung, Jero Gede Putu Suwena Upadesa SH, dan Penyarikan Agung, I Ketut Sumarta.
Baca Juga: 7 Fakta Perempuan Bali dalam Keluarga, Mereka Punya Hak Waris
1. Beberapa sanksi untuk krama yang di-kasepekang
Berdasarkan Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman Bali, diputuskan beberapa hal berikut ini:
- Sanksi kasepekang atau istilah lain yang mengandung arti dan makna sama dengan pemberhentian sementara sebagai krama desa, dapat dikenakan berdasarkan paruman (Rapat) banjar atau desa pakraman kepada krama desa yang terbukti secara meyakinkan membangkang (Ngatuwel) terhadap awig-awig, pararem, dan kesepakatan banjar atau desa pakraman, setelah usaha penyelesaian melalui prajuru (Kertha desa) yang dilakukan dianggap gagal, dan setelah beberapa sanksi lain yang juga dikenakan berdasarkan paruman tidak membuahkan hasil. Sanksi yang dimaksud, seperti: a) Peringatan lisan dan tertulis pleh prajuru (Pimpinan) banjar atau desa pakraman; b) Arta denda (Denda materi) berdasarkan awig-awig yang berlaku.
- Selama masa kasepekang, yang bersangkutan tidak berhak mendapatkan panyanggran (Pelayanan/bantuan) seluruh anggota banjar dan desa pakraman yang ditandai dengan tidak mendapatkan suara kulkul, dalam segala aktivitas yang dilakukan di desa pakraman setempat, baik dalam suasana suka (Syukuran), kasucian (Upacara agama), kalayusekaran (Kematian), maupun kapancabayan (Tertimpa musibah).
- Sanksi adat kasepekang berlaku untuk jangka waktu paling lama tiga paruman banjar atau paruman desa pakraman yang mengagendakan pembahasan perihal pengenaan sanksi kasepekang tersebut.
- Apabila dalam masa tiga paruman tersebut pihaknya tidak memenuhi segala kewajiban yang dibebankan, maka yang bersangkutan dapat diberhentikan (Kanorayang) sebagai krama desa, dan tidak berhak menggunakan segala fasilitas milik desa pakraman. Kecuali yang bersangkutan kembali menjadi krama desa, setelah memenuhi segala persyaratan sesuai dengan awig-awig yang berlaku.
- Melarang pengenaan atau penjatuhan sanksi adat kanorayang atau istilah lain yang memiliki arti dan makna yang sama dengan pemberhentian penuh sebagai krama desa, secara langsung sebelum tahapan-tahapan sanksi lain yang bersifat pembinaan diterapkan.
- Desa pakraman yang melaksanakan sanksi adat kanorayang secara langsung, dianggap sebagai desa pakraman yang bermasalah.
Baca Juga: 6 Alasan Orang Bali Mencocokkan Weton Sebelum Nikah, Ada Rumusnya Lho